Mongabay.co.id

Kritik dan Kekhawatiran “Solusi Berbasis Alam”: Dari Hilangnya Kehati hingga HAM

 

Konsep ‘Solusi Berbasis Alam’ (NbS, Nature-based Solutions) menjadi perhatian para pihak dan menjadi bahasan hangat di tingkat global. Khususnya, pasca keputusan akhir KTT Iklim PBB pada COP27 di Mesir, akhir 2022 lalu.

Pro dan kontra berkisar pada implementasi NbS. Apalagi, sejak topik ini jadi target bahasan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (GBF) di Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB COP15/2022 di Kanada.

Di satu sisi, para pembuat kebijakan yang pro melihat NbS sebagai sarana potensial yang memungkinkan alam digunakan membantu manusia dalam mengatasi krisis iklim global, menyetop hilangnya keanekaragaman hayati, dan masalah lingkungan lain di dunia.

Sebaliknya, pihak kontra memandang NbS dapat menjadi bahaya bagi ekologi dan komunitas lokal. Mereka khawatir instrumen NBS akan menjadi legitimasi pihak perusahaan, lembaga keuangan, dan organisasi lain sebagai sarana pencucian uang (greenwashing), pencapai profit semata.

“Seharusnya keanekaragaman hayati (kehati) tidak boleh hanya dianggap sebagai ‘manfaat bersama’, tapi sebagai faktor dasar penting kesuksesan NbS,” ucap Kepala Delegasi COP15 Universitas Oxford Audrey Wagner kepada Mongabay.

 

Burung migran di Singapura. Para ahli mengatakan NbS tidak akan memberikan manfaat jika tidak didukung oleh keanekaragaman hayati. Gambar oleh Shashwatjha melalui Wikimedia Commons (CC BY-SA 4.0).

Baca juga: Bappenas: Kehati Harus Jadi Modal Penting Pembangunan Indonesia

 

Perjalanan NbS

Dalam laporan UNEP “Decent Work in Nature-based Solutions 2022”, disebutkan bahwa NbS akan menjadi cara untuk memenuhi tujuan dari beberapa perjanjian global. Ia akan mengisi ‘ruang-ruang’ yang tersedia dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC); Konvensi Keragamah Hayati (CBD); Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD); serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDG 8, terkait pertumbuhan ekonomi; SDG 15, tentang perlindungan kehidupan di darat; dan SDG14, tentang perlindungan kehidupan perairan).

Pada bulan Maret 2022, Majelis Lingkungan PBB (UNEA) mengeluarkan resolusi yang mengadopsi NbS yang disepakati para pihak, dengan definisi sebagai berikut:

 

“Sebuah tindakan untuk melindungi, melestarikan, memulihkan, menggunakan dan mengelola secara berkelanjutan ekosistem darat, air tawar, pesisir, dan laut alami atau yang dimodifikasi, yang mengatasi tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara efektif dan adaptif, sekaligus memberikan kesejahteraan bagi manusia, layanan ekosistem, dan ketahanan dan manfaat keanekaragaman hayati.”

 

Dalam resolusi ini UNEA wanti-wanti meminta Program Lingkungan PBB (UNEP) untuk mendukung penerapan NbS yang memberi perlindungan bagi hak komunitas dan masyarakat adat.

Dalam perjalanannya, di akhir pertemuan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)/ COP-15, NbS dimasukkan dalam dua target yang diadopsi oleh para pihak dari total 196 negara.

Terlepas dari adopsi ini, negara-negara selatan seperti Bolivia dan India, terus bersikap skeptis. Mereka khawatir dengan pencantuman NbS dalam teks CBD. Ia akan dapat membuka ‘kotak pandora’ bagi perampasan tanah dan komodifikasi alam di negara-negara dunia ketiga.

Pada COP15, Audrey Wagner misalnya, meminta para pihak untuk berkomitmen dan hati-hati dalam menggunakan definisi NbS yang melibatkan inisiatif pengembangan proyek monokultur (seperti perkebunan kayu yang disebut-sebut sebagai restorasi hutan), perampasan tanah, atau pelanggaran hak asasi manusia. Dia berharap ini tidak diberi label sebagai NbS.

“Kita harus membatalkan proyek-proyek ini, untuk menghindari NbS dikooptasi. Kita harus meminimalkan pengorbanan dan belajar dari kesalahan masa lalu,” sebutnya.

Manuel Pulgar-Vidal, perwakilan WWF International yang juga menghadiri COP15, sependapat dengan pemikiran Wagner.

“NbS bukanlah upaya untuk menjadikan alam sebagai komoditas yang bebas untuk diperdagangkan kepada para pembeli yang dapat merusak alam. Bukan perkebunan monokultur, atau sarana untuk mencabut hak masyarakat adat dan komunitas lokal,” sebutnya.

Suneetha M. Subramanian, penulis utama dan koordinator pada penilaian the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), mengatakan kepada Mongabay bahwa ‘kewaspadaan itu perlu dilakukan’.

“Perkebunan monokultur spesies tunggal dilakukan untuk penghijauan, tetapi pada akhirnya menciptakan lebih banyak [kerusakan] ekologi dan sosial budaya,” jelas Subramanian. Dia juga peneliti di United Nations University’s Institute for the Advanced Study of Sustainability.

 

Patroli di Hutan Adat. Perlindungan terhadap komunitas lokal dan adat menjadi penting dalam NbS. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

Baca juga: Aturan Kian Sulitkan Lingkungan, Makin Rawan Kriminalisasi?

 

NbS dan penciptaan lapangan pekerjaan

Laporan yang diterbitkan bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan IUCN, menyebut hampir 75 juta orang saat ini telah bekerja secara global di NbS, dengan sebagian besar (96 persen) tinggal di negara berpenghasilan menengah ke bawah di Asia dan Pasifik. Adapun 14,5 juta diantaranya bekerja dalam penuh waktu, dan sisanya dalam paruh waktu.

Meski demikian, laporan tersebut juga menyebutkan, tidak semua pekerjaan dalam NbS dapat dianggap sebagai pekerjaan yang layak, dan hanya sebagian yang masuk kriteria pekerjaan ramah lingkungan. Laporan juga menggarisbawahi bahwa perlunya rancangan kerja transisi yang adil agar tidak ada kalangan manapun yang tertinggal.

Menurut laporan PBB “State of Finance for Nature 2021”, diperkirakan investasi di NbS akan meningkat tiga kali lipat di tahun 2030 dan membuka 20 juta pekerjaan tambahan di seluruh dunia.

 

Nelayan memanen rumput laut di Filipina. Laporan “State of Finance for Nature 2021” menyebut investasi NbS akan meningkat tiga kali lipat di tahun 2030 dan menciptakan 20 juta pekerjaan. Foto: ILCP (IDB) melalui Flickr (CC BY-NC-SA 2.0).

 

Suara dari Gerakan Masyarakat Sipil dan Adat

Selama diskusi panel di minggu awal COP15, Thomas Joseph, anggota Masyarakat Adat Hupa menyebut NbS “hanyalah kelanjutan dari kolonialisme untuk mengkomodifikasi Ibu Bumi kita” dan “upaya lain untuk mengakses wilayah masyarakat adat yang belum terjajah.” Dia menyatakan NbS bukanlah solusi final untuk iklim, tapi lebih pada skema hubungan baru dengan masyarakat.

“Ketika kita terus mengkomodifikasi Ibu Bumi kita sebagai mekanisme untuk menyelesaikan krisis iklim yang kita hadapi, atau untuk melindungi keanekaragaman hayati, kita menggunakan konsep dan langkah yang sama yang telah membawa kita ke dalam [krisis] kekacauan iklim.”

Global Forest Coalition (GBF) dalam siaran persnya, bahkan lebih lugas dalam menyatakan posisinya. Mereka menyebut bahwa NbS bakal menjadi pintu secara luas bagi pembiayaan sektor swasta untuk kebijakan keanekaragaman hayati, termasuk melalui solusi palsu seperti penggantian kerugian keanekaragaman hayati dan apa yang disebut ‘solusi berbasis alam’, atau bahasa kode sebagai pasar penggantian kerugian karbon.

Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Wagner. Dia melihat bahwa NbS dapat ‘dibajak’ untuk kepentingan lain. Sementara di sisi lain potensi mitigasi iklim kadang-kadang dibesar-besarkan.

“NbS untuk adaptasi iklim memiliki potensi yang lebih besar daripada NbS untuk mitigasi iklim. Proyek NbS untuk adaptasi iklim tidak ada hubungannya dengan penyeimbangan [karbon], apalagi pembiayaan alam,” ungkapnya.

Dia pun menyebut bahwa hanya sebagian kecil dari NbS yang dapat digunakan dalam proyek carbon offset.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Biodiversity, human right safeguards crucial to nature-based solution: Critics. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

***

Foto utama: Hutan mangrove. NbS harus memberi perlindungan bagi komunitas lokal dan keragaman hayati. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version