- Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai, kerja-kerja pembelaan atau perjuangan lingkungan hidup ke depan akan makin sulit. Terlebih dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru pengesahan pada penghujung 2022. Aturan ini pun dinilai berisiko memperburuk krisis lingkungan. Apalagi, pembangunan akan makin masif di tengah minim partisipasi publik.
- Tak hanya berisiko lemahnya penegakan hukum lingkungan, KUHP baru juga rawan kriminalisasi para pejuang atau pembela lingkungan hidup.
- Nur Wahid Satrio Kusuma, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional mengatakan, kehadiran KHUP bisa mengancam kelestarian alam dan lingkungan hidup dengan pengelolaan berbasis masyarakat.
- Catatan Auriga, sepanjang 2014-2022, ada 102 kasus menimpa pembela lingkungan di berbagai di Indonesia. Rinciannya, 16 kasus alami kekerasan fisik, delapan kasus pembunuhan, tujuh kasus intimidasi, tiga kasus imigrasi atau deportasi, dan satu perusakan properti.
Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai, kerja-kerja pembelaan atau perjuangan lingkungan hidup ke depan akan makin sulit. Terlebih, Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru pengesahan pada penghujung 2022. Aturan ini pun dinilai berisiko memperburuk krisis lingkungan. Apalagi, pembangunan akan makin masif di tengah minim partisipasi publik.
Nur Wahid Satrio Kusuma, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Nasional mengatakan, ada dua aspek yang jadi ancaman dalam KUHP. Pertama, KUHP tak ada jaminan menindak dan memberi efek jera kejahatan korporasi. Kedua, tak ada jaminan perlindungan bagi setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat.
“Ini bisa mengancam kelestarian alam dan lingkungan hidup dengan pengelolaan berbasis masyarakat,” katanya dalam diskusi KUHP dan Kelestarian Lingkungan.
Ketika masyarakat menjaga dan mengelola hutan, tetapi keluar izin-izin atau peruntukan lain di atasnya. Saat masyarakat menolak dan berupaya bertahan mempertahankan hutan atau lingkungan hidup mereka terjaga, bisa saja terjerat hukum dengan berbagai dalil.
Dia contohkan, Pasal 46-48 KUHP menunjukkan pelemahan aturan dalam menjerat korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan. Pada ketentuan ini, akan sulit pembuktian penjahat lingkungan yang mayoritas adalah korporasi.
”Pembuktian ini akan bergantung pada kesalahan pengurus, bukan kesalahan korporasi. Ini tidak akan memberikan efek jera,” katanya.
Baca juga: ‘Kado’ Tutup Tahun: KUHP Baru, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Makin Suram
Ketentuan dan definisi soal tindak pidana lingkungan hidup bagi korporasi dalam KUHP tumpang tindih dengan Pasal 116 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Maradona, pengajar hukum pidana Universitas Airlangga, mengatakan, pengakuan korporasi dalam KUHP ini tidak menjawab permasalahan terkait beragam pendekatan pemidanaan korporasi dalam sistem hukum di Indonesia.
“Setelah KUHP berlaku tiga tahun lagi, sistem pemidanaan korporasi hanya di ranah definisi. Definisi akan merujuk di KUHP, sementara UU lain gunakan definisi lain akan jadi perdebatan.”
Baca juga: Tolak Tambang Sungai Ilegal, Warga Sidrap Malah Dikriminalisasi
Rawan kriminalisasi
Tak hanya berisiko lemahnya penegakan hukum lingkungan, KHUP baru juga rawan kriminalisasi para pejuang atau pembela lingkungan hidup.
Roni Saputra, Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara mengatakan, ketentuan dalam KUHP baru bisa meningkatkan kriminalisasi para pejuang lingkungan hidup.
Dari hasil analisa, ada 19 pasal bisa untuk mengkriminalisasi pejuang lingkungan. “Dari 19 pasal itu, ancaman terendah ada pada pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal 10 tahun. Jelas, KUHP minim perlindungan hukum bagi pembela lingkungan,” katanya.
Catatan Auriga, sepanjang 2014-2022, ada 102 kasus menimpa pembela lingkungan di berbagai di Indonesia. Rinciannya, 16 kasus alami kekerasan fisik, delapan kasus pembunuhan, tujuh kasus intimidasi, tiga kasus imigrasi atau deportasi, dan satu perusakan properti.
Pasal karet dalam KUHP, katanya, makin berpotensi mengkriminalisasi masyarakat, tercantum dalam pidana makar, dan pidana penghinaan presiden dan wakil presiden. Juga, pidana penghinaan pemerintah atau lembaga negara, contempt of court dan penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan, pembangunan saat ini memiliki pola sama yakni mengancam ruang hidup masyarakat. “Lalu, posisi aparat dan penegakan hukum menjadi backing sebagai alat represif,” kata Muhammad Isnur, Direktur Eksekutif YLBHI dalam diskusi lalu.
Kriminalisasi para pembela lingkungan ini terlihat antara lain dalam konflik tambang atau pembangunan infrastruktur seperti di Wadas, Jawa Tengah, Parigi (Sulawesi Tengah), Kalasey, (Sulawesi Utara) dan banyak lagi.
Sikap represif apparat, katanya, terus berulang dalam penanganan konflik di wilayah tapak. Seharusnya, aparat menjaga keamanan. “Nyatanya malah berlanjut (kekerasan) dan pelanggaran meluas.”
Chenny Wongkar, dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, kebijakan makin memperkecil partisipasi publik. Padahal, posisi pembela HAM terutama perempuan dan masyarakat adat, rentan mengalami kriminalisasi. “Perlu ada peningkatan kebijakan baru anti-SLAPP, karena masalah lingkungan sangat multisektoral. Kebijakan anti-SLAPP ini juga diharapkan tidak hanya konteks lingkungan tapi menyeluruh.
*******