Mongabay.co.id

Edukasi Generasi Muda Lewat Sensus Burung Air Asia

 

Rintik hujan tidak menyurutkan semangat Tiurma Rosita (29) dalam mengikuti kegiatan Asian Waterbird Census (AWC) atau Sensus Burung Air Asia yang diadakan oleh Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Berbekal smartphone, perempuan bermata sipit dan berkulit cerah itu nampak antusias merekam burung-burung berterbangan dari atas tower berketinggian 15 meter itu. Selain digunakan sebagai tempat pemantauan burung penetap, menara yang terbuat dari besi tersebut juga berfungsi untuk pengamatan burung migran.

Bukan hanya merekam, bersama sejumlah anak muda lain satu tim, perempuan berambut panjang itu juga bertugas menghitung dan mengidentifikasi burung-burung yang ia lihat. Sedangkan yang lainnya ada yang bertindak mencatat, memotret, dan meneropong dengan bantuan teropong binocular.

Dengan dipandu pengamat burung profesional, para peserta dari latar belakang yang berbeda-beda ini terlihat akrab melakukan sensus burung air di atas menara yang dibangun sejak tahun 1983 itu.

“Wah, seru sekali. Lewat kegiatan pengamatan ini saya jadi tahu spesies burung air seperti burung bluwok dan pecuk padi hitam,” kesan dara yang mengaku pernah melakukan kegiatan serupa di Riau ini, Sabtu (29/01/2023).

Bagi dia, meski kegiatannya sama. Namun, kedua tempat yang pernah ia kunjungi ini karakternya berbeda. Waktu di Riau tempat pengamatannya lebih dominan di ekosistem gambut, sementara di Pulau Rambut ekosistem hutannya lebih dominan hutan mangrove.

baca : Hutan Lindung Angke Kapuk, Tempat Asik Pengamatan Burung di Jakarta

 

Dari atas menara pemantauan burung di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Jakarta, peserta pengamatan burung berbagi tugas, ada yang bertindak mencatat, memotret, dan meneropong dengan bantuan alat binocular. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menjaga Etika

Bukan hanya di menara, sensus burung air yang dilakukan selama dua hari itu juga dilakukan di dermaga tempat pintu masuk Pulau Rambut. Selain itu, untuk mengetahui aktivitas burung air yang sedang bersarang, sebagian dari peserta juga ada yang diajak masuk ke dalam hutan mangrove.

Dengan didampingi oleh petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, para peserta diminta untuk tetap menjaga etika, pantang mengusik burung bersarang. Terpenting lagi tidak boleh mengganggu burung demi mendapatkan foto yang menarik.

Kevin Drasyanto Cahyadi (29), peserta lain mengaku bangga bisa mengikuti kegiatan sensus burung air yang melibatkan citizen science. Baginya, aktivitas tersebut merupakan pengalaman baru dalam mendata burung. Apalagi burung yang ada di pulau yang luasnya mencapai 45 hektare ini perawakannya besar-besar. Sehingga bisa dilihat dengan jelas.

Selain burung Bluwok (Mycteria cinerea), pecuk padi hitam (Phalacrocorax sulcirostris), Kevin juga tertarik mengamati burung cangak abu (Ardea cinerea) dan cangak merah (Ardea purpurea).

Meskipun dari kejauhan perawakannya sama. Namun, begitu dilihat menggunakan teropong kedua burung satu famili ini rupanya berbeda.

baca juga : Citizen Science, Gerakan Berbasis Masyarakat untuk Pelestarian Burung Liar

 

Burung cangak abu (Ardea cinerea) bertengger di pohon mangrove di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

“Bagi saya ini bekal, kalau jalan-jalan ke alam lagi jadinya bisa lebih peka melihat burung-burung,” jelas Kevin, disela-sela melakukan pengamatan. Kepekaan yang dia maksud itu meliputi karakteristik warna, jenis burung, dan habitatnya.

Ia berterus terang, sebelum mengikuti kegiatan sensus burung ini ketika melakukan pendakian di gunung dia tidak begitu peduli dengan keberadaan hewan berdarah panas yang berkembang biak dengan cara bertelur itu.

Namun, ia akhirnya terbuka berdasarkan klasifikasinya rupanya habitat burung itu berbeda-beda. Selain itu, ternyata keberadaan burung juga memiliki peran yang vital sebagai penyeimbang lingkungan dalam komponen ekosistem.

Hal ini karena burung mempunyai peran sebagai pemecah biji, penyerbuk, predator hama dan pemangsa puncak. “Daripada dipelihara, sebaiknya burung itu dibiarkan hidup di alam bebas,” tegasnya.

 

Tempat Mencari Makan Terganggu

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2023 ini anak-anak muda selain diedukasi cara menyensus burung, sebagaian peserta juga diajak mengambil sampel feses burung untuk diteliti apakah ada kandungan mikroplastik atau tidak.

Sebelum itu, para peserta juga terlebih dulu diajak diskusi tentang bahayanya sampah plastik bagi ekosistem laut. Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia mengatakan, sekarang ini permasalahan yang dihadapi burung air sangat beragam.

Selain perburuan, pemeliharaan manusia, keberadaan sampah plastik yang mencemari pesisir dan lautan juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh burung penetap maupun migran.

baca juga :  Burung Air, Kenapa Harus Disensus?

 

Selain melakukan sensus burung air, sebagaian peserta yang mengikuti kegiatan AWC itu juga diajak mengambil sampel feses burung untuk diteliti adanya kandungan mikroplastik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Tantangan lainnya yaitu lansekap lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) yang menjadi tempat burung-burung air mencari makan juga sudah banyak yang berubah menjadi pemukiman. Perubahan kawasan ini mengakibatkan burung bisa berpindah tempat.

Yanthi mencontohkan, burung air yang ada di Pulau Rambut misalnya. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, berdasarkan pendataan yang dilakukan selama dua hari jumlah spesies maupun populasi burung berkurang.

Ia menduga, penurunan spesies maupun populasi burung di pulau yang berdampingan dengan Pulau Untung Jawa itu dikarenakan lahan yang digunakan mencari makan sekarang ini berubah menjadi kawasan terencana Pantai Indah Kapuk (PIK).

“Untuk mengetahui lebih lanjut sebenarnya diperlukan penelitian yang lebih mendalam,” jelas dia.

menarik dibaca : Andai Burung Air Hilang, Apa yang Terjadi pada Lingkungan?

 

Peserta dan pemerhati burung profesional saat melakukan pengamatan dan pendataan burung di dermaga pintu masuk Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menanggapi hal itu, Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, perubahan merupakan fenomena alami. Meskipun begitu, menurut dia di PIK mestinya juga dibangun ekosistem buatan yang ramah terhadap burung maupun satwa lain.

Agar burung-burung tidak keluar dari habitatnya maka yang perlu dilakukan yaitu menjaga ekosistem kawasan. Selain itu, penting pula melakukan upaya pengembalian pakan alaminya.

 

 

Exit mobile version