Mongabay.co.id

Indonesia-Malaysia Bahas Aturan EUDR, LSM: Saatnya Negara Produsen Serius Benahi Tata Kelola

 

 

Dua negara produsen sawit terbesar dunia, yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries (CPOC) adakan pertemuan bilateral antara menteri (bilateral ministerial meeting) di Jakarta, 9 Februari lalu.

Hadir dalam pertemuan itu, Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Dato Sri Fadillah Yusof dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartanto. Pertemuan itu  disebut untuk memperkuat industri sawit dan mengatasi diskriminasi terhadap komoditas ini, secara khusus karena merespon aturan anti deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR).

Dalam rilis kepada media, kedua menteri menunjukkan keprihatinan serius terhadap regulasi baru UE ini. EUDR disinyalir akan menimbulkan dampak negatif signifikan terhadap ekspor minyak sawit secara global dan terhadap negara berkembang lain.

Regulasi produk anti deforestasi ini diyakini akan menaikkan harga ekspor minyak sawit dan membuat komoditas ini kalah saing dengan minyak nabati lain dari dalam Uni Eropa. Kedua menteri menyayangkan tidak ada konsultasi dengan mitra dagang.

Indonesia dan Malaysia berencana kunjungan ke Uni Eropa untuk membicarakan konsekuensi yang tidak diinginkan dari EUDR.

Salah satunya, pengucilan petani kecil dalam rantai pasok sawit. Mereka akan berkomunikasi untuk menentukan jalan tengah terbaik bagi negara konsumen dan produsen sawit.

 

Baca juga: Uji Tuntas Uni Eropa, Momentum Perbaiki Tata Kelola dan Perhatikan Petani Swadaya

Tandan buah segar sawit yang baru dipanen. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Bukan diskriminasi

Sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, dalam Dialog Media bertajuk ‘The new EU Regulation on Deforestation: What is and What Does It Mean for Indonesia’ di Jakarta, baru-baru ini, mengatakan, EUDR bukan bentuk diskriminasi terhadap komoditas tertentu. Peraturan ini juga berlaku bagi komoditas dari dalam Uni Eropa.

“Ini akan ciptakan persaingan sehat bagi setiap komoditas yang beredar di pasar Uni Eropa,” katanya.

Lagipula, katanya, EUDR merupakan satu cara Uni Eropa untuk berkontribusi dalam pengendalian krisis iklim. Salah satunya,  menekan deforestasi dari produk-produk yang masuk ke Uni Eropa.

Uni Eropa mengutip perhitungan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menyebut deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 11% emisi gas rumah kaca. Lebih dari itu, 90% deforestasi dipicu ekspansi lahan pertanian.

Karena itu, EUDR penting menahan deforestasi yang disebabkan oleh konsumsi masyarakat Uni Eropa terhadap komoditas pertanian di negara-negara produsen.

Catatan Uni Eropa, regulasi ini akan mengatur impor produk senilai €85 miliar dan memotong 32 juta ton karbon per tahun yang dihasilkan dari produk itu.

“Regulasi ini menunjukkan kalau negara bisa paksa pasar untuk mengikuti standar mereka akan penanganan lingkungan dan krisis iklim,” katanya.

Dia mengimbau,  negara produsen jangan resistensi terlebih dahulu. Melainkan melihat tujuan lebih jauh dari EUDR untuk meningkatkan standar anti deforestasi tiap negara.

“Ini akan mendorong green trend, green supply chain di negara-negara produsen,” katanya.

Henriette Faergemann, First Conselor on Environment, Climate Action and ICT Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, menyebut, EUDR sebagai instrumen yang dapat mendorong Uni Eropa dan Indonesia menciptakan rantai pasok berkelanjutan.

Selain itu, Uni Eropa dan Indonesia bisa bertindak melawan deforestasi dan degradasi hutan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, Perjanjian Paris dan komitmen Internasional lain,” katanya.

Uni Eropa yakin kalau Indonesia sebenarnya tak akan kesulitan mengikuti regulasi ini. Pasalnya, sudah ada mekanisme uji tuntas serupa untuk produk kayu berupa FLEGT license yang sudah berjalan cukup lama.

“Kami akan kerjasama dengan negara konsumen lain untuk lihat apa yang bisa diperbaiki dari regulasi ini,” ucap Hernriette.

 

Baca juga: Kala Uni Eropa Sahkan UU Produk Bebas Deforestasi, Apa Artinya bagi Indonesia?

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Kesempatan kuatkan pembenahan

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menilai,  dialog konstruktif perlu antara Uni Eropa dan negara produsen, terutama Indonesia sebagai produsen sawit nomer satu dunia.

Hal ini, katanya  demi mencapai sawit berkelanjutan sebagaimana yang didorong kedua belah pihak.

“Baik produsen dan konsumen sebetulnya saling membutuhkan mendorong sawit berkelanjutan. Yang belum ada dialog konstruktif,” kata Rambo.

Dia menyayangkan resistensi yang kerap muncul dari Pemerintah Indonesia dan pengusaha sawit terhadap EUDR. Padahal, katanya, semangat regulasi ini jelas untuk mendorong sawit Indonesia jadi bersih dan berkelanjutan di pasar Uni Eropa.

Sikap pemerintah dan pengusaha sawit itu, kata Rambo,  secara tak langsung berimbas pada petani. Petani sawit di lapangan sudah bersemangat meningkatkan kapasitas hasil tanam dan perbaikan tata kelola mereka.

“Petani sudah semangat. Mereka mau ada perbaikan tata kelola, mendapat harga layak, good agricultural practices, serta pupuk tepat waktu. Ini kunci untuk dukung sustainability,” katanya.

Dia juga menilai,  EUDR sebagai momentum tepat untuk memperbaiki tata kelola sawit sebagaimana yang pernah dimunculkan dalam kebijakan moratorium sawit Pemerintah Indonesia.

Dengan tak ada kelanjutan regulasi Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

“Ini kesempatan untuk berbenah. Saya setuju dengan Pak Dubes Uni Eropa yang sebut ini jadi kesempatan meningkatkan standar anti deforestasi.”

Andre Barahamin, Senior Campaigner Kaoem Telapak, menilai,  gonjang-ganjing penolakan sektor sawit secara tak langsung menunjukkan ada masalah di sektor itu. Apalagi, tak ada respons serupa ditunjukkan komoditas lain yang juga diatur dalam EUDR.

Selain sawit, komoditas lain yang diatur dalam EUDR adalah kedelai, kayu, daging sapi, kakao, karet dan kopi serta produk turunannya. “Yang paling banyak ribut (tentang EUDR) itu kan dari sektor sawit. Karena pada dasarnya mereka sadar standar keberlanjutan mereka masih lemah.”

Menurut dia, komentar miring terhadap EUDR kerap muncul dari aktor sawit yang enggan mengakui perlu penguatan dan reformasi untuk peningkatan kualitas dan standar sektor sawit. Sedang di sektor kayu sudah ada pengalaman dan pemahaman terhadap regulasi anti deforestasi hingga membuat mereka lebih tenang menyikapi EUDR.

“Sektor palm oil ini keras kepala karena tak mau akui kekurangan. Bahwa masih butuh banyak penguatan.”

Syahrul Fitra, Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia, menilai,  EUDR harusnya tidak membuat sektor sawit takut. Dia menyoroti penerapan cut off date Uni Eropa pada 31 Desember 2020.

Tanggal ini, katanya,  dirasa aman terhadap produk dari deforestasi itu. “Kalau masih resistensi juga, ini menunjukkan kalau sektor sawit masih berniat buruk menghasilkan deforestasi,” katanya.

Luasan perkebunan sawit sekitar 16,32 juta hektar, kata Syahrul, seharusnya sudah cukup aman mengikuti ketentuan ekspor dalam EUDR. Lain hal jika ada rencana mengonversi hutan di masa mendatang untuk ekspansi perkebunan sawit.

“Kalau kita bisa penuhi, jangan ragu untuk meminta agar tidak ada pembatasan ekspor sawit lagi di masa mendatang.”

 

Exit mobile version