Mongabay.co.id

Hutan Tergerus, Songkok Resam Bangka Belitung Terancam Hilang

 

 

Saimi [73] masih terampil menganyam resam [Dicranopteris linearis] menjadi songkok atau kopiah, warisan budaya tak benda [2015] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dia sudah mahir menganyam sejak usia 12 tahun.

“Butuh waktu berbulan agar terampil membuatnya,” kata Saimi, keturunan Suku Ketapik di Dusun Belit, Desa Dendang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [18/02/2023].

Suku Ketapik merupakan sub Suku Melayu yang tersebar di sejumlah desa di Kecamatan Kelapa, seperti Desa Dendang, Desa Kacung, dan Desa Tuik.

Menurut Saimi, dahulu masyarakat Suku Ketapik tinggal di sekitar aliran Sungai Selan, anak Sungai Jerieng yang bermuara ke Selat Bangka. Namun seiring waktu, banyak warga pindah dan membentuk sejumlah perkampungan baru, seperti Dusun Belit.

“Jika Suku Jerieng terkenal dengan anyaman dari tumbuhan kuang, Suku Ketapik terkenal dengan songkok resam. Kami sering barter hasil kerajinan dengan mereka,” jelasnya.

Baca: Tumbuhan Sapu-sapu, Harapan Pulihnya Lahan Bekas Tambang di Bangka Belitung

 

Aliah, perempuan Suku Ketapik di Dusun Belit menganyam songkok resam sore hari. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Proses membuat songkok resam cukup sulit dan melelahkan. Dimulai dari mencari resam di hutan, lalu membuang kulit luarnya untuk diambil seratnya. “Serat terbaik pada lapisan ketiga.”

Selanjutnya, serat direndam dengan kulit pohon samak [Syzygium muelleri Miq.] hingga menghasilkan warna cokelat keemasan. Berikutnya dijemur, dihaluskan, dan terakhir dioleskan lilin terbuat dari madu hutan atau minyak kelapa agar mengkilap dan tahan lama.

“Perlu waktu 2-3 hari untuk proses persiapan bahan baku. Untuk menganyam serat kasar butuh sehari, sedangkan serat halus seperti benang memakan waktu 2-3 bulan,” lanjutnya.

Menurut Saimi, jika ingin variasi warna putih, tinggal menggabungkan anyaman resam dengan akar pohon sulor. Lama proses, kerumitan motif, serta halus dan kasarnya serat resam menentukan harga songkok.

“Dari pengrajin, songkok resam berserat kasar kisaran 50 hingga 200 ribu Rupiah. Untuk yang halus bisa mencapai satu hingga dua juta Rupiah.”

Dalam kebudayaan masyarakat Melayu Bangka Belitung, songkok resam biasa digunakan saat perayaan hari-hari besar Islam, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad, Tahun Baru Islam, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

“Bisa juga digunakan saat “nganggung” atau kegiatan adat. Songkok resam bisa dipakai semua kalangan, mulai dari ketua adat hingga masyarakat biasa,” jelasnya.

Seiring waktu, anyaman resam mulai dikembangkan menjadi tas, dompet, topi, dan sebagainya.

Baca: Lumut yang Sering Kita Pandang Sebelah Mata

 

Songkok resam yang sudah dianyam, kemudian dijemur di bawah terik matahari. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Turun-temurun

Bagi Suku Ketapik, kerajinan resam merupakan warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya. Sejak kecil, laki-laki dan perempuan generasi Suku Ketapik di Dusun Belit, wajib memiliki kemampuan menganyam resam.

“Menganyam sudah jadi kebiasaan harian. Kalau tidak ada yang beli, bisa disimpan atau dibarter dengan kebutuhan hidup,” terang Idah [38], keturunan ketujuh dari keluarganya yang konsisten menganyam songkok resam.

Dari segi kualitas serta kerapian, songkok resam dari Dusun Belit juga terkenal bagus.

“Kami berharap kerajinan ini tetap ada, malu bila tidak melanjutkan budaya leluhur,” lanjutnya.

Baca: Binturong dan Kearifan Masyarakat Pulau Bangka Menjaganya

 

Serat resam yang sudah melalui proses pewarnaan dan pengeringan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hutan tergerus

Suku Ketapik mengenal dua jenis bahan baku songkok resam, yakni resam padi yang tumbuh di sekitar ladang padi darat, serta resam bulin yang tumbuh di hutan rimba. Kedua jenis tersebut sama, hanya tempat tumbuhnya yang berbeda.

Dikutip dari situs IUCN Red List, populasi resam tergolong stabil. Sebagai jenis paku-pakuan [Pteridophyta], jenis ini terkenal invasif dan sering dijuluki sebagai gulma [penganggu]. Sifatnya mendominasi, dapat menghambat perkembangan tumbuhan lain.

Di Pulau Bangka, resam banyak ditemui di sekitar kawasan hutan sekunder atau di sekitar kebun warga.

“Resam dewasa yang layak dijadikan bahan baku. Kulit batangnya cokelat gelap, sebesar telunjuk orang dewasa, seratnya kuat dan lentur, tumbuh di kawasan hutan yang belum terganggu,” kata Saimi.

Baca juga: Burung Jembang, Penghuni Sejati Hutan Pulau Bangka

 

Resam yang mulai tergerus akibat pembukaan lahan perkebunan serta penambangan timah di sekitar Dusun Belit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kini, resam dewasa mulai sulit ditemukan.

“Kami harus menempuh perjalanan puluhan kilometer menuju kawasan hutan di sekitar Kecamatan Jebus dan Parit Tiga,” kata Aliah [40], penganyam resam di Dusun Belit.

Menurut Saimi, peralihan warga dari berkebun menjadi penambang serta peluasan perkebunan sawit berkontribusi terhadap sulitnya memperoleh resam di sekitar Dusun Belit.

“Bahkan hutan larangan kami yang berada di sekitar Sungai Selan mulai dirambah aktivitas tambang. Jika terus begini, bisa jadi songkok resam ikut hilang,” tandasnya.

 

Hutan larangan di sekitar Sungai Selan di Dusun Belit yang sudah tersentuh aktivitas penambangan timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version