Mongabay.co.id

Ketika Perlindungan Masyarakat Adat Minim, Hutan Belum Ada buat Rakyat

 

 

 

 

Hutan terbabat.  Lapang tak ada sebatang pohon pun. Kiri kanan pepohonan  hutan nan rapat. Alat berat terlihat  di beberapa sudut.  Begitu pemandangan hutan adat di Desa Kasieh, Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, yang terancam jadi tambang marmer.  Hutan sumber kehidupan  masyarakat adat itu terancam hitang.

“Pemerintah seakan mengabaikan kita selaku pemilik hak ulayat di Seram Bagian Barat. Dengan ada gunung marmer ini seakan-akan kita ditindas,” kata Safi Masihoi, Tetua Adat Desa Kasieh.

Masyarakat adat melawan. Mereka menyetop pembongkaran dan meminta para pekerja perusahaan berikut alat berat keluar hutan adat.

“Tanah ulayat Masyarakat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat sudah diambil pertambangan,” kata Yustinus Papuling, Ketua Adat Desa Saolat (Para-para) di Halmahera, Maluku Utara.

Hutan adat yang jadi tempat hidup Yustinus berangsur jadi tambang nikel.

Di Kabupaten Jayapura, Papua, masyarakat adat juga berjuang agar hutan adat mereka tak jadi kebun sawit.

”Saya tidak setuju ada perkebunan sawit di tanah ini. Jadi,  saudara-saudara yang pasang portal saya sudah peringatkan harus jaga hutan, tanah, kali, lestarikan hutan,” kata Abner Tecuari, Kepala Suku Tecuari.

Di berbagai penjuru nusantara ini, masyarakat adat banyak menghadapi persoalan karena hutan maupun  ruang hidup mereka terampas. Di Papua, Maluku Utara, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lain keterancaman ruang hidup masyarakat  terus terjadi. Mereka sulit jaga hutan ketika berhadapan dengan pemodal maupun negara. Pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat atau lokal  jauh panggang dari api.

“Pemerintah seharusnya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat untuk menguasai, mengatur, mengelola dan memanfaatkan hutan adat,” kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dalam rilis kepada media 21 Maret lalu, bertepatan dengan Hari Hutan Sedunia.

 

Baca juga: Kala Masyarakat Kasieh Protes Was-was Hutan Adat jadi Area Tambang Marmer

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

Dia bilang, dalam berbagai percakapan pembangunan seringkali hutan dipandang sebagai tegakan pohon dan kayu. Dengan begitu, katanya, isi dapat dikuras sebatas komoditi ekonomi kayu, perdagangan karbon atau dialih fungsi untuk usaha perkebunan, pertambangan dan lain-lain.

Paradigma dan praktik pembangunan pemanfaatan hasil hutan sebagai komoditi komersial ini, katanya,  sudah menghancurkan dan menghilangkan hutan dalam skala luas, menimbulkan bencana ekologi, maupun perubahan iklim. Ujungnya, menyingkirkan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup di sekitar maupun di dalam kawasan hutan hingga terjadi pelanggaran HAM.

Perusakan dan penggundulan hutan di Indonesia, katanya,  masih terus terjadi untuk kepentingan bisnis komersial dan lahan usaha perkebunan.

Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka 2023,  memperlihatkan deforestasi di Papua pada 2022 seluas 19.426 hektar dari aktivitas pembalakan kayu dan perkebunan sawit.

Deforestasi di Papua,  berpotensi bertambah luas seiring rencana pemberian izin baru, perluasan areal usaha perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Selain itu, katanya, penegakan hukum juga lemah kalau terjadi pelanggaran maupun kebijakan pengembangan daerah otonomi baru.

“Tren cenderung meningkat dari tahun sebelumnya karena kebijakan terkait Papua yang tidak diinginkan masyarakat,” kata Amelia Puhlil, peneliti Pusaka.

 

Baca juga: Kala Hutan Orang Tobelo Dalam Terus Tergerus Tambang Nikel

Hutan adat di Desa Kasieh, Seram, Maluku, mulai terbabat untuk akses tambang marmer. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Perlindungan masyarakat adat minim

Erasmus Cahyadi, Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan,  pengakuan dan perlindungan negara minim menyebabkan masyarakat adat terus terancam. “Perampasan wilayah adat, kekerasan hingga kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi,” katanya.

Dia perkirakan isu masyarakat adat kembali jadi komoditas dalam pemilihan umum 2024. Namun janji-janji pengakuan dan perlindungan berjalan lamban.

RUU Masyarakat Adat, kata Erasmus, hingga saat ini tak ada kejelasan. UU ini, katanya, diharapkan bisa mengurai persoalan hukum dalam konteks perlindungan masyarakat adat berserta hak tradisionalnya, seperti hak tanah, wilayah adat atas ruang hidup.

Rikardo Simarmata, pakar hukum agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mengatakan, pengesahan UU Masyarakat Adat mandek karena kurang ada intensi DPR terhadap urgensi Undang-undang ini.

“Ini sudah proses politik, bagi mereka ini tidak ada manfaatnya. Perlu ada juga desakan dari presiden. Atau bisa juga pertimbangan opsi hukum, seperti melapor ke Ombudsman,” katanya.

Senada dikatakan Agung Wibowo,  Direktur Eksekutif HuMa. Dia bilang, RUU Masyarakat Adat mendesak disahkan.

Dalam rancangan itu antara lain mengamanatkan pembentukan satuan tugas (satgas), peninjauan ulang dan harmonisasi konflik di tapak. Sayangnya, regulasi ini tak juga disahkan. Bahkan,  Agung  khawatir, draf RUU ini melenceng dari roh pengakuan masyarakat adat.

Sementara mengenai  pengakuan wilayah adat dalam produk hukum daerah berbanding terbalik dengan penetapan hutan adat. Hingga kini, ada 401 produk hukum daerah tentang masyarakat hukum adat, sekitar 275 terbit pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/2012.

 

 

Data HuMA, ada 1.041.892,82 hektar luas wilayah adat melalui produk hukum daerah baik perda provinsi, peraturan gubernur, perda kabupaten,kota, peraturan maupun keputusan bupati dan walikota.

“Data produk hukum meningkat tapi tidak menambah luasan pengakuan hutan adat. Yang baru penetapan 76.270 hektar saja,” katanya.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merilis cakupan luasan registrasi wilayah adat dan status pengakuan oleh pemerintah pada 17 Maret lalu.  Dalam enam bulan terakhir, ada 124 peta wilayah adat teregistrasi di BRWA dengan luas 4,4 juta hektar. Sampai saat ini, BRWA meregistrasi 1.243 peta wilayah adat seluas 25,1 juta hektar tersebar di 32 provinsi dan 154 kabupaten/kota di Indonesia.

Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, dari data itu ada 3.206.703 hektar atau 184 wilayah adat sudah mendapatkan status penetapan pengakuan wilayah adat dari pemerintah daerah.

“Berarti, baru 12,7% wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya,” kata Ariya Dwi Cahya,  Kadiv Data Informasi BRWA, dalam rilis kepada media.

Pemerintah daerah, katanya, masih punya pekerjaan besar bikin peraturan daerah (perda). Karena, katanya, ada sekitar 18.828.794 hektar atau 792 peta berada pada daerah yang telah menerbitkan Perda Pengakuan Masyarakat Adat.

Ada 3.127.750 hektar atau 253 peta berada pada daerah yang belum ada kebijakan daerah soal pengakuan masyarakat adat.

Dalam rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022, penetapan hutan adat 19 surat keputusan dengan luas 77.185 hektar.

“Jadi, pengakuan hutan adat yang mulai sejak 2016 sampai Maret 2023 ini ada 108 surat keputusan hutan adat dengan luas 153.322 hektar, atau rata-rata 21.903 hektar pertahun.

“Pengakuan hak masyarakat adat atas tanah ulayat tidak ada kemajuan sama sekali,” kata Kasmita.

Dia bilang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum menunjukkan langkah konkret pendaftaran atau penatausahaan tanah ulayat.

“Padahal, ada sekitar 3,2 juta hektar wilayah adat sudah mendapat penetapan pengakuan oleh pemerintah daerah, semestinya ATR/BPN bisa melanjutkan dengan proses pengukuran, pemetaan dan pencatatan dalam daftar tanah.”

Seharusnya, KATR/BPN, tak hanya menggelontorkan anggaran untuk proyek pendaftaran tanah sistematis lengkap terhadap bidang-bidang tanah juga untuk pendaftaran tanah ulayat.

Dia bilang, pemerintah sampai saat ini pun belum mengintegrasikan peta-peta wilayah adat yang sudah ditetapkan pemerintah daerah dalam kebijakan satu peta dan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi maupun kabupaten/kota.

“Ruang hidup masyarakat adat tak terlindungi dari dampak buruk investasi dan proyek-proyek nasional seperti pembangunan Ibukota Negara IKN Nusantara. Pemerintah masih sangat lemah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan dan sumberdaya alam di wilayah adat,” kata Kasmita.

 

 

Hutan Ake Jira, ruang hidup Orang Tobelo Dalam yang gundul untuk tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Belum buat rakyat

Secara umum, hutan di Indonesia dinilai belum ada buat rakyat.  Hutan lestari pun terkesan ramai dalam konsep tanpa ada wujud nyata. Begitu dikatakan Agus Setyarso,  Deputi Direktur Pusat Sains Sawit Institut Pertanian Stiper Yogyakarta, dalam diskusi di Jakarta.

Dia mengatakan, kelestarian dan keberlanjutan hutan, hanya bisa terwujud ketika tata kelola terhantar ke tingkat tapak. Hutan lestari, katanya,  bisa terwujud ketika hutan mampu menyediakan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial terus menerus. Hal ini, katanya,  bisa terwujud ketika ada manajemen atau tata kelola yang baik dan bisa dirasakan publik.

Sayangnya, tidak ada pernah ada alat ukur menghitung berapa besar kepentingan publik yang sudah dihadirkan lewat manajemen pengelolaan hutan selama ini. “Kepentingan publik hanya jadi jargon dalam pengelolaan kawasan hutan,” katanya.

Satu contoh, program perhutanan sosial yang digadang-gadang Pemerintahan  Joko Widodo sebagai sistem pengelolaan hutan lestari. Program ini,  kata Agus hanya terjebak pada pemberian akses pengelolaan berupa sertifikat pada masyarakat.

Tak ada definisi dan bentuk pengelolaan hutan lestari yang jelas pada masyarakat penerima perhutanan sosial. Selain itu, tak ada perhitungan jelas keuntungan masyarakat yang melakukan praktik pengelolaan hutan lestari dalam perhutanan sosial.

“Harusnya kan ada perhitungan masyarakat akan dapat apa. Berapa keuntungan yang bisa didapat masyarakat. Bukan hanya pemberian sertifikat lalu setop,” kata Agus.

Pemerintah juga disebut Agus kerap mengglorifikasi pencapaian yang tak sesuai kenyataan lapangan.  Kritik penting, katanya, soal klaim deforestasi berkurang.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut berhasil menurunkan deofrestasi hingga 75,03% periode 2019-2020 atau sebesar 115.460 hektar. Pada 2018-2019, deforestasi tercatat 262.460 hektar.

“Apakah karena hutan tumbuh? Tidak! Yang ada, deforestasi turun karena hutan yang bisa terdeforestasi sudah tidak ada.”

Sementara itu, tidak ada kejelasan terkait lahan terdeforestasi yang menurut catatan dia sudah mencapai 30 juta hektar. Langkah pemerintah merehabilitasi lahan pun hanya berfokus pada angka pohon yang tertanam, tidak pada efektivitas dalam pemulihan lahan.

Hal ini menunjukkan kalau tata kelola kehutanan di Indonesia masih belum bisa mengakomodir kepentingan lingkungan dan masyarakat. “Karena kata ‘lestari’ masih sangat sedikit disebut dalam berbagai Undang-undang kita.”

 

Baca juga: Bencana Datang di Tengah Orang Kinipan Terhalang Jaga Hutan Adat

Longsor di Pulau Serasan, Natuna, lebih 50 orang diduga tertimbun. Foto: tangkapan dari video

 

Bencana

Chay Asdak, Guru Besar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Universitas Padjadjaran (Unpad) mengatakan, tata kelola kehutanan buruk secara tak langsung berdampak pada peningkatan bencana di satu daerah.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sekitar 4.603 bencana hidrometeorologi pada 2020. Naik pesat dari 2015 sekitar 1.642 kejadian. Sekitar 95% bencana sampai November 2022 merupakan hidrometeorologi basah, yaitu banjir dan longsor.

Dalam penelitian Chay menyebut, kalau kerapatan hutan sangat memengaruhi besarnya runoff dan erosi di suatu wilayah.

Runoff dan erosi bisa ditahan dengan kerapatan hutan yang baik,” katanya.

Buruknya rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR) juga memainkan peranan penting terhadap alih fungsi kawasan hutan. Daerah yang mengalami bencana hidrometeorologi umumnya memiliki RTRW buruk, seperti terjadi di Bogor belakangan ini.

Kalau ditarik di skala provinsi, Jawa Barat seperti tuan rumah dari bencana ini. Lebih 60% bencana hidrometerologi terjadi di provinsi yang bersebelahan dengan Jakarta ini.

Untuk menangkal bencana ini, katanya, seharusnya setiap daerah memiliki minimal 30% tutupan hutan guna meminimalisasi bencana hidrometerologi. “Akan lebih efektif jika tutupan hutan 40%,” kata Chay seraya bilang, sulit untuk  Pulau Jawa karena luasan hutan di pulau dengan populasi tertinggi di Indonesia ini tinggal 9%.

Pesatnya pertumbuhan penduduk berimplikasi pada kebutuhan ruang yang besar. Kondisi ini, mengorbankan kawasan hutan dan area yang seharusnya bisa menjadi tangkapan hujan hingga bencana bisa diminimalisir.

Untuk mengakali itu, kata Chay, dengan mendorong petani dan pemilik lahan di Jawa menanam tumbuhan fast growing dan pemulihan ekosistem. Skema insentif harus bisa dikembangkan supaya petani tertarik melakukan ini.

Agroforestri pun salah satu cara mendorong pemulihan kawasan hutan yang bisa meminimalisasi bencana hidrometeorologi.

Agus justru menilai Pulau Jawa tidak bisa lagi dipulihkan. Menurut dia, kebutuhan lahan dan ruang tak bisa direm, hingga kawasan hutan dan DAS akan terus dikorbankan.

“Dari sekarang harus dipikirkan supaya anak-cucu kita tidak perlu lagi hidup di Jawa di masa depan.”

Indonesia, kata Agus,  sebetulnya memiliki regulasi yang mengatur setiap daerah harus memiliki minimal 30% kawasan hutan. Ia termaktub dalam Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Sayangnya, ketentuan ini hilang dalam UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja ataupun Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Cipta Kerja yang sudah disahkan jadi Undang-undang.

Agus menyebut, UU Cipta Kerja hanya menguntungkan pihak-pihak perusak lingkungan. Setiap pasal dalam UU ini disebut hanya titipan dari masing-masing sektor itu.

“Pasal-pasal dalam peraturan turunan hanya titipan. Peraturan ini hanya menguntungkan si penitip, bukan masyarakat.”

Padahal, untuk mewujudkan kehutanan lestari dan lingkungan yang baik harus berdasarkan regulasi yang kuat. Tata kelola kehutanan juga harus mencakup tata kebijakan dan tata instrumentasi pelaksanaan kebijakan.

“Hari Hutan Internasional ini jadi refleksi kita, bahwa Kehutanan Indonesia masih mengkhawatirkan.”

 

*****

 

Exit mobile version