Mongabay.co.id

Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia

 

Pemerintah Indonesia saat ini sedang fokus menerapkan prinsip ekonomi biru dalam setiap pembangunan yang dilaksanakan di wilayah pesisir dan laut. Prinsip tersebut diklaim Pemerintah sebagai prinsip ideal dan terbaik untuk saat ini.

Melalui ekonomi biru, pembangunan dengan memanfaatkan segala sumber daya alam yang ada di laut dan pesisir diharapkan bisa berjalan secara beriringan antara kebutuhan untuk ekonomi dan ekologi.

Klaim tersebut berulang kali dikampanyekan oleh semua institusi dan pejabat Negara. Tak terkecuali, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang menjadi penggagas pembangunan di pesisir dan laut dengan prinsip ekonomi biru.

Dengan prinsip tersebut, dia menjanjikan bahwa masyarakat yang ada di wilayah pesisir akan mendapatkan manfaat banyak untuk bisa mendorong kehidupan ekonominya masing-masing agar bisa sampai ke fase sejahtera seperti yang diidamkan banyak orang.

Namun, belum juga prinsip tersebut membumi di Indonesia, sudah banyak kritik dan penilaian yang menyebut bahwa prinsip tersebut masih banyak mendapatkan penilaian yang tidak tepat. Hal itu, bisa memicu banyak dampak negatif jika tidak segera diluruskan.

Hal itu diungkap oleh Transparency International Indonesia melalui sebuah analisis atas kebijakan yang sudah dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tentang ekonomi biru. Analisis tersebut dibuat bersama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan Pusat Studi Agraria.

baca : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Menukil analisis tersebut, ekonomi biru adalah konsep ekonomi yang bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip alami dan lokal. Konsep ini lebih maju daripada ekonomi hijau, karena sepenuhnya berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan bertujuan untuk mentransformasi sistem ekonomi secara menyeluruh.

Konsep ini juga mencakup nilai spiritual dan filosofis yang dalam mengenai penghormatan terhadap lingkungan dan bumi, serta memperkuat subjek dan ekonomi lokal melalui pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.

Selain itu, keberhasilan implementasi Ekonomi Biru yang benar-benar adil dan berkelanjutan tergantung pada partisipasi organik dari subjek seperti nelayan kecil, masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, serta masyarakat adat dan perempuan nelayan yang diatur oleh UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Namun, untuk mewujudkan konsep ini, dibutuhkan ekosistem regulasi dan kebijakan yang mendukung, yang sejauh ini masih terbatas pada narasi pertumbuhan biru atau “Blue Growth” yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata.

Kebijakan semacam ini rentan terhadap praktik “Blue Grabbing” yang dapat merampas sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

Dalam rangka mewujudkan Ekonomi Biru yang sebenarnya, dibutuhkan kebijakan yang konsekuen dalam melaksanakan Pasal 33 UUD 1945, yang memprioritaskan pemerataan dan kemakmuran bagi rakyat bahkan prinsip dasar ekonomi biru yakni menerapkan ekonomi sirkuler.

baca juga : Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara

 

Sejumlah perahu nelayan tradisional ditambatkan di pantai timur Pangandaran, Jawa Barat. Foto : shutterstock

 

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menerangkan, jika praktik ekonomi biru masih terus didorong untuk diterapkan oleh Pemerintah, maka diperlukan koridor pemanfaatan dan tata kelola sumber daya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang transparan, adil, dan berkelanjutan.

Cara untuk mencapai tujuan tersebut, hanya bisa dilakukan jika Pemerintah mengikuti rambu-rambu kebijakan ekonomi biru. Pertama, bagaimana Pemerintah bisa mengutamakan subjek utama pelaku ekonomi biru adalah nelayan kecil, masyarakat lokal, dan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kedua, bagaimana Pemerintah bisa mengimplementasikan konsep ekonomi biru yang transparan dan adil melalui kemudahan akses data yang mutakhir, dan terintegrasi dengan sistem informasi. Mengingat, saat ini sumber data yang ada terkesan tidak bermuara pada satu pintu dan terintegrasi antar Kementerian/Lembaga serta pemangku kepentingan.

Dia mencontohkan, data jumlah nelayan di Indonesia sampai saat ini masih beragam, baik dari segi kualitas data maupun kuantitas detail data. Kemudian, pemutakhiran dan integrasi data juga harus berjalan dari Pemerintah hingga daerah dengan efektif dan tepat.

Ketiga, bagaimana Pemerintah bisa memastikan mekanisme pengawasan end to end yang partisipatif dan penegakan hukum dalam kebijakan ekonomi biru bisa berjalan baik. Rambu ini berjalan mulai dari pengawasan ketat terhadap pintu perizinan yang diberikan pada pelaku usaha dan investor dalam negeri maupun asing.

baca juga : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Kemudian, pengawasan terhadap prinsip ketertelusuran skema pajak yang adil bagi nelayan tradisional dan pelaku usaha skala besar, hingga proses evaluasi dan uji tuntas terhadap keberlanjutan tata kelola kelautan dan perikanan.

Keempat, bagaimana Pemerintah bisa mendorong tata kelola pemanfaatan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, sekaligus bisa mengakomodir kearifan lokal. Rambu ini merujuk pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan meminta Pemerintah untuk memastikan pembangunan ekonomi didasarkan pada asas pemerataan.

Itu berarti, pembangunan dilaksanakan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan kemakmuran rakyat. Bukan didasarkan pada kepentingan investasi dan prinsip pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif saja, lalu berujung munculnya perampasan ruang dan hak kearifan lokal.

Oleh karena itu, Moh Abdi Suhufan menyebutkan, implementasi ekonomi biru yang transparan perlu diterapkan melalui berbagai arah kebijakan pembangunan. Kemudian, ekonomi biru juga perlu berpihak pada keberlanjutan ekosistem, serta sumber daya kelautan dan perikanan tangkap maupun budi daya yang ada dengan prioritas kesejahteraan dan kearifan lokal.

Selain dia, kertas kebijakan yang berisi analisis tersebut juga disusun bersama dengan Peneliti Agraria Maritim dari Pusat Studi Agraria IPB University Ari Wibowo, dan Peneliti Transparency International Indonesia Bellicia A.

Ari Wibowo menerangkan, munculnya konsep ekonomi biru di Indonesia, bermula dari penetapan target Pemerintah untuk mendorong pengurangan emisi menjadi 31,89 persen pada 2030, dengan target dukungan internasional hingga 43,20 persen.

baca : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Tangkapan ikan yang-baru didaratkan oleh nelayan di Pelabuhan-Pendaratan Ikan (PPI) Dufa-dufa, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Target di atas ditetapkan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru. Untuk mendukungnya, KKP menetapkan lima program prioritas untuk penerapan ekonomi biru.

Kelimanya adalah perluasan target kawasan konservasi perairan; penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota; pengembangan budi daya perikanan ramah lingkungan, khususnya untuk komoditas unggulan ekspor seperti udang, kepiting, rumput laut, dan lobster.

Kemudian, pengelolaan berkelanjutan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan terakhir adalah penanganan sampah plastik di laut melalui program Bulan Cinta Laut. Semua program prioritas tersebut selalu dikampanyekan sejak setahun terakhir ini.

Bellicia A juga mengungkap kalau Pemerintah berani menyebutkan ekonomi biru sebagai kerangka kerja yang bisa menuntaskan permasalahan dalam tata kelola sektor kelautan dan perikanan. Kerangka tersebut menjadi penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia (RPJPN) 2020-2025, dan RPJ Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pada berbagai kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengumbar klaim bahwa ekonomi biru tak hanya akan memajukan subsektor perikanan tangkap saja. Melainkan juga, subsektor perikanan budi daya yang potensinya disebut masih sangat besar.

“Dampak ekonominya luar biasa, penyerapan tenaga kerjanya juga demikian, di mana kita tetapkan bahwa tenaga kerja di pelabuhan atau kapal-kapal harus mengutamakan ABK lokal, begitu juga di tambak-tambak yang dibangun,” ucap dia.

 

Exit mobile version