Mongabay.co.id

Kala Para Pakar Ingatkan Bahaya Tambang Emas dan Sinabar di Maluku

 

 

 

 

 

Tambang emas Gunung Botak, di Kabupaten Buru, dan pertambangan batu sinabar di Desa Luhu, Kecamatan Huamual, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, masih terus berlangsung. Pada Maret lalu, aparat kepolisian mengamankan lima orang yang sedang  mengeruk tanah d lokasi berbeda untuk diambil emasnya.

Tambang emas yang menggunakan bahan berbahaya, merkuri ini jadi ancaman bagi lingkungan, sampai kesehatan masyarakat.  Pertambangan emas Gunung Botak lebih banyak pakai bahan berbahaya yang dipasok langsung dari SBB, daerah penghasil batu sinabar,  bahan baku merkuri.

Sejumlah pakar dan peneliti memprediksi, kemungkinan kasus di Minamata, Jepang, bisa  terjadi di Maluku, kalau penambangan dengan bahan berbahaya seperti merkuri dan sianida tak segera dihentikan. Para pakar di Ambon, Maluku, duduk satu meja guna membahas dan menyuarakan ancaman di daerah bertajuk Seribu Pulau ini, beberapa waktu lalu.

Yusthinus T. Male,  Guru Besar Bidang Kimia Anorganik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon mengemukakan, pertambangan tidak ramah lingkungan di Pulau Buru maupun Seram Bagian Barat, tak boleh dipandang parsial karena akan berbahaya di kemudian hari.

Maluku, katanya,  secara geografis banyak pulau, sekitar 92% laut, 7% lebih daratan. Jadi, ekonomi 90% penduduk di Maluku bergantung pada laut. Jarak satu pulau dengan pulau lain sangat dekat sangat berisiko kalau salah kelola.

“Aktivitas terbanyak dipusatkan ke laut. Orang Maluku paling kurang dalam sehari itu mengkonsumsi ikan tiga kali, ini dalam sehari,” katanya.

Kegiatan merusak di daratan seperti pertambangan, berisiko terdampak ke perairan, dari sungai lalu mengalir ke laut.

 

Baca juga: Petaka Tambang Emas di Pulau Buru

Para pakar di Maluku membahas dampak kerusakan lingkungan akibat maraknya tambang emas ilegal dan penggunaan merkuri dan sianida. Foto: Edison Waas/

 

Dia meminta,  ada penanganan serius dari pemerintah berkaitan dengan ancaman kerusakan lingkungan. Menurut dia, usaha-usaha pertambangan di pulau kecil harus disikapi bijaksana, kalau alami kesalahan penanganan akan berdampak buruk, termasuk kelangkaan pangan, erosi, banjir dan pencemaran laut bahkan kesehatan masyarakat.

Penambangan dengan bahan berbahaya seperti sianida dan mercuri masih jadi pilihan utama bagi petambang ilegal di Pulau Buru. Setelah ditelusuri, katanya, zat berbahaya itu dipasok dari Seram Bagian Barat.

“Logam berat berupa emas, nikel atau bahan tambang itu diciptakan untuk disimpan di dasar bumi. Kurang lebih 30 meter di dalam bumi, ketika kita mengkonsumsi hasil dari tumbuhan atau tanaman itu tidak mengandung logam berat,” katanya.

Ketika pertambangan mengeruk perut bumi,  katanya, logam berat lepas ke lingkungan hingga menimbulkan masalah serius bagi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.

Sejak 2011,  tanpa sengaja masyarakat menemukan emas di Gunung Botak. Setelah itu, banyak warga dari luar berdatangan dan menambang.

Keadaan ini, katanya, seakan luput dari kontrol kebijakan, bahkan pemerintah seolah menutup mata. Akibatnya, masyarakat atau penambang emas leluasa beraktivitas dengan bahan berbahaya.

Male bilang, yang terjadi di Pulau Buru, khusus di Gunung Botak, para penambang pakai tromol dan merkuri. Pada 2012, setelah penelitian bahkan melalui proses uji laboratorium di Australia, hasilnya diketahui konsentrasi bahan kimia merkuri sudah sampai pada level menghawatirkan.

“Kita sudah publish, kita sudah usulkan namun proses penambangan masih berjalan hingga sekarang. Sudah 11 tahun dan tidak ada upaya, kecuali adalah penertiban fisik tetapi itu seperti main kucing-kucingan, layaknya seperti penjual di pasar. Setelah aparat pergi mereka aktivitas lagi, buka lagi rendaman, buka lagi tromol,” katanya.

 

Baca juga: Mereka Bertaruh Nyawa Demi Batu Sinabar [1]

Tambang emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku.Foto: Edison Waas

 

Kondisi makin diperparah setelah kewenangan mengeluarkan izin di pemerintah pusat. “Yang terjadi, lokusnya ada di kabupaten, sedangkan dinas dan anggaran tidak ada lagi.”

Anggaran minim ini, katanya, terkesan ada pembiaran oleh pemerintah daerah.

“Siapa yang bisa menangkap pelaku kriminal yang jumlahnya belasan ribu? Tentu butuh anggaran sangat besar. Dinas ESDM tidak ada lagi di kabupaten.”

Alhasil, tambang sinabar di Gunung Tembaga, Pulau Seram dan tambang emas di Pulau Buru, meski resmi ditutup, namun aktivitas masih tetap berjalan. Ratusan bahkan ribuan karung berisikan batu sinabar terus diolah.

Galian batu membentuk kolam-kolam. “Kolam yang terbuka setelah hujan penuh, ujung-ujungnya meluap dan mengalir ke laut. Demikian pula, proses pengolahan emas di Gunung Botak, Sungai Anahoni adalah penyalur limbah ke laut,” katanya.

Dari aktivitas penambangan ini, katanya,  kalau terjadi akumulasi bahan kimia di dalam tubuh mahluk hidup seperti ikan, kemudian akan terjadi bio maknefikasi atau pelipatgandaan.

“Contoh, satu ikan momar akan dimakan satu cakalang, lalu cakalang akan dimakan pemangsanya, dan akan tiba pada predator paling atas dalam sistem rantai makanan,” kata Male.

Senada dikatakan Daniel. D. Pelasula, ahli ekosistem dari Badan Riset dan Invasi Nasional (BRIN) menerangkan, dari hasil penelitian Prof Male, bisa jadi pintu masuk untuk riset-riset lanjutan. Kalau terbukti ekosistem terkontaminasi merkuri, katanya, perlu pengkajian biota laut, khusus di kawasan mangrove serta dampak pada rantai makanan.

Di Buru, khusus di Teluk Kayeli dalam pergerakan air laut, dia bilang, dipengaruhi pola arus dan masukan sedimen dari proses penambangan emas. Berikutnya, pada ekosistem lamun atau sigres, yang merupakan tempat mencari makanan dan biota laut bertelur.

“Jadi kalau merkuri itu lolos dari mangrove, akan masuk ke lamun. Jika lolos dari lamun maka akan masuk ke terumbu karang,” katanya.

 

Baca juga: Dulu Hidup dari Pala dan Cengkih, Berganti Nambang Sinabar [2]

Para penambang emas ilegal mengambil material emas, di Gunung Botak, Kepulauan Buru. Foto: Edison Waas.

 

Dari proses itu besar kemungkinan terjadi mutasi hingga perlu ada penanganan cepat dan serius serta penelitian lebih lanjut.

Maluku adalah provinsi kepulauan, terdiri dari ribuan pulau-pulau kecil. Kalau kerusakan daratan tak diantisipasi, katanya, akan berdampak pada laut dan  ekosistemnya.

Amos Killay, ahli Biologi Unpatti Ambon juga mengatakan, kalau merkuri sudah dikonsumsi ikan, ujungnya akan berdampak pada manusia. Kalau ini terjadi, manusia tak akan sehat karena fungsi protein sudah terganggu.

“Fungsi protein yang dimaksudkan adalah enzim, reseptor. Jika metil masuk akan langsung merusak. Kita sehat karena diatur oleh fungsi protein. Kalau sudah rusak, akan menggangu proses metabolisme tubuh manusia.”

Dari aspek ekonomi, Welem Waileruny, pakar Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpatti menerangkan, kalau ikan asal Maluku sudah terkontaminasi merkuri, kelayakan ekspor bisa dipertanyakan. Untuk itu, pemerintah tak bisa menutup mata atas persoalan ini.

Dia meminta, pemerintah daerah– Gubernur Maluku– bersama Polda Maluku lebih jeli melihat persoalan ini karena berpotensi jadi masalah serius di kemudian hari. Untuk itu, perlu ketegasan dari pemerintah untuk menyetop  tambang emas maupun tambang sinabar.

Dia sebutkan, kalau berlarut bisa berdampak pada sektor perikanan.

“Ekonomi sektor perikanan kita [bisa] hancur-hancuran karena mendapat penolakan ekspor, mari sama-sama menyelesaikan problema ini.”

 

Tambang emas ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Operasi penertiban dilakukan berulang kali tetapi belum juga berhenti secara keseluruhan. Edison Waas

 

*******

Exit mobile version