Mongabay.co.id

Ekosistem Lahan Basah, Terancam dan Diancam Krisis Lingkungan

 

 

Tiga krisis lingkungan kini sedang mengancam kehidupan manusia dan bumi hingga masa mendatang. Ancaman itu bisa meluluhlantakkan tatanan kehidupan, karena ada dampak sangat besar yang akan terjadi nanti.

Apa saja tiga ancaman yang dimaksud? Ketiganya adalah perubahan iklim; polusi dan kerusakan lingkungan; dan kehilangan keanekaragaman hayati. Krisis yang terus bertambah luas dari waktu ke waktu itu, mengancam banyak aspek kehidupan di bumi.

Salah satunya, adalah ekosistem lahan basah yang meliputi ekosistem mangrove dan gambut tropis. Keduanya akan terkena dampak jika tiga krisis lingkungan tidak diantisipasi dari sekarang dan memicu banyak dampak negatif lainnya.

Lebih luasnya, ketiga krisis juga bisa mengancam ketercapaian target-target pembangunan yang sudah ditetapkan oleh dunia, termasuk Pemerintah Indonesia. Salah satunya, adalah target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Kementerian PPN/BAPPENAS Vivi Yulaswati membeberkan bagaimana dampak dari tiga krisis lingkungan tersebut bisa mengancam kehidupan manusia dan bumi, utamanya ekosistem lahan basah.

Pertama, dampak yang akan terjadi pada ekosistem lahan basah adalah munculnya ancaman terhadap siklus hidrologi. Ancaman ini akan memicu terjadinya perubahan suhu udara dan tata guna lahan.

Kedua, akan memicu terjadinya pencemaran sumber air dan lahan. Dampak ini terjadi karena adanya penggunaan pupuk kimiawi dan limbah industri. Ketiga, akan meningkat kerentanan pesisir, pencemaran dan kerusakan kawasan pesisir dan laut.

Keempat, munculnya resiko peningkatan kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Kelima, tiga krisis lingkungan memicu ancaman meningkatnya frekuensi kebakaran pada ekosistem gambut.

baca : Sepenting Apa Ekosistem Lahan Basah untuk Kehidupan?

 

Lahan gambut yang harus arif dikelola. Foto: Dok. WikiGambut

 

Lahan basah sendiri meliputi daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut.

Vivi Yulaswati belum lama ini menambahkan, ancaman yang sedang dihadapi ekosistem lahan basah harus segera dicarikan jalan keluar. Mengingat, ekosistem tersebut menyimpan potensi cadangan karbon yang besar, khususnya dari mangrove dan gambut.

Dia menyebutkan, dengan luasan mangrove di Indonesia mencapai 3,2 sampai 3,3 juta hektare, maka ada potensi sebesar 950-968 ton C/ha untuk bisa menyimpan karbon. Sementara, dengan luas 13,4 juta ha gambut, ada potensi sebesar 558-2.740 ton C/ha untuk menyimpan karbon.

Di sisi lain, saat ekosistem lahan basah terancam oleh krisis lingkungan, di saat yang sama kondisi ekosistem mangrove dan gambut juga sudah mengalami degradasi. Selama kurun waktu dari 2010 hingga 2020, Indonesia sudah kehilangan tutupan mangrove seluas 195.014 ha.

Menurut dia, penyebab terjadinya kondisi tersebut, karena ada alih fungsi lahan yang sebagian besar menjadi tambak, lahan pertanian/perkebunan, dan permukiman. Itu berarti, dalam setahun selama periode 2010-2020, tutupan mangrove kehilangan lahan seluas 19.501 ha.

Sementara, kehilangan yang sama juga dialami tutupan gambut yang luasannya mencapai 1,82 juta ha sepanjang periode dari 2000 hingga 2019. Atau mencapai 95.790 ha per tahun tutupan gambut harus menghilang.

Adapun, penyebab terjadinya kehilangan tutupan gambut seluas itu, juga diakibatkan karena adanya alih fungsi lahan menjadi pertanian dan perkebunan. Kondisi tersebut juga mengancam potensi cadangan karbon akan terus menurun.

baca : Riset: Perlindungan Lahan Gambut dan Mangrove Kunci Mencapai Tujuan Iklim Indonesia

 

Kanal primer eks PLG di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang ditutup secara permanen. Nantinya ditengah hanya disisakan salurah air untuk jalur transportasi warga. Foto: Indra Nugraha

 

Agar tidak terus mengalami penurunan kapasitas, Vivi Yulaswati mengatakan kalau ekosistem lahan basah harus dilakukan pengelolaan dengan baik. Termasuk, pengelolaan melalui strategi nasional (Stranas) yang sudah diluncurkan pada Februari lalu.

Dia menerangkan bahwa Stranas dijalankan untuk mendukung capaian target Indonesia menuju Visi 2045, net zero emission 2060 atau lebih cepat, serta SDGs. Stranas juga akan mengintegrasikan operasional lahan basah ke dalam dokumen perencanaan di tingkat nasional.

Sebut saja, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045, RPJ Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, hingga dokumen perencanaan tingkat daerah dari berbagai pemangku kepentingan.

Selain kebijakan di level nasional, Stranas juga akan diimplementasikan dalam dokumen rencana pembangunan di tingkat bawah, mulai dari provinsi hingga kabupaten atau kota. Dengan demikian, pengelolaan ekosistem gambut dan mangrove diharapkan bisa lebih baik lagi.

“Dokumen stranas ekosistem lahan basah perlu ditindaklanjuti oleh para pihak terkait, serta berperan sebagai dokumen panduan dalam mengimplementasikan aksi pengelolaan ekosistem lahan basah,” urai dia.

baca juga : Merangkai Khazanah Gambut Secara Kolektif di Kalimantan Barat

 

Lahan Basah Mesangat Suwi [LBMS] di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan Terencana

Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa pada kesempatan sebelumnya mengatakan, degradasi ekosistem mangrove dan gambut menjadi pelajaran penting yang harus dipahami. Mengingat, ada banyak tantangan yang harus dihadapi, di luar degradasi lahan.

Misalnya, ketiadaan sinkronisasi perencanaan pengelolaan yang memicu semakin berkurangnya kelestarian ekosistem gambut dan mangrove. Kata dia, melaksanakan sinkronisasi menjadi penting karena itu akan memberi hasil maksimal dalam pengelolaan ekosistem gambut dan mangrove.

Tanpa ada pengelolaan yang baik, ekosistem gambut dan mangrove akan mengalami penurunan daya tampung dan daya dukung sebagai penyangga pembangunan dan kehidupan. Juga, kedua ekosistem bisa melepaskan kembali emisi karbon ke atmosfer.

“Kondisi tersebut secara keseluruhan menjadi tanggung jawab multi stakeholder, baik di tingkat nasional maupun subnasional,” ungkap dia.

Menurut dia, pengelolaan dua ekosistem perlu dilakukan dengan pendekatan menyeluruh, agar fungsi dan peran ekosistem bisa tetap terjaga dengan baik. Dengan demikian, pemeliharaan tutupan lahan bagi kelestarian keanekaragaman hayati, penurunan emisi karbon, dan peran ekosistem lahan basah untuk penyangga aspek perekonomian bisa terus berlanjut.

Namun, agar kedua ekosistem bisa menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, maka diperlukan Stranas dengan baik. Tujuannya, agar dokumen strategi tersebut bisa menjadi salah satu rujukan dalam menyusun kebijakan, rencana, dan program pengelolaan kedua ekosistem bagi semua pemangku kepentingan.

“Baik Pemerintah maupun non Pemerintah,” ucap dia.

Sekretaris Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Utari Dewi menjelaskan bahwa untuk melaksanakan pengelolaan ekosistem mangrove dan gambut yang baik, maka diperlukan kerja sama dan kolaborasi yang kuat.

Dia menyebut demikian, karena tugas untuk melaksanakan pengelolaan tidak mudah. Terlebih, Presiden RI Joko Widodo memberi amanat kepada BRGM untuk bisa melaksanakan rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu ha.

“Hal ini akan mustahil dilakukan tanpa kolaborasi” tegas dia.

menarik dibaca : Capung, Lahan Basah, dan Helikopter

 

Sekumpulan jenis burung kuntul yang berada di Wonorejo, Surabaya. Foto: Alfa Hardjoko

 

Selain mangrove yang sudah berhasil dilakukan rehabilitasi menggunakan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) dan swasta dengan luas 146 ribu ha, BRGM juga berhasil melaksanakan restorasi gambut sejak 2016.

Ayu Utari katakan, total sudah ada lahan seluas 1,4 juta ha gambut yang berhasil dilakukan restorasi. Diharapkan, total seluas 2 juta ha bisa diselesaikan rehabilitasi, sesuai dengan target yang sudah ditetapkan Pemerintah.

“Hasil ini dapat dicapai melalui kolaborasi dan peran aktif dari berbagai pihak,” ucap dia.

Namun demikian, walau kolaborasi menjadi penting, dia menekankan bahwa poin utama dari restorasi dan rehabilitasi adalah bagaimana bisa melaksanakannya dengan cara berkelanjutan. Itu berarti, kegiatan tersebut bersifat jangka panjang waktunya dan bukan sementara.

Tegasnya, rehabilitasi ekosistem lahan basah merupakan sebuah upaya untuk memulihkan, meningkatkan, dan mempertahankan ekosistem tersebut. Mangrove misalnya, tidak hanya sekedar menanam bibit tanaman baru.

“Selalu saya katakan di mana-mana yang namanya restorasi dan rehabilitasi itu pekerjaan jangka panjang, mungkin disebut investasi,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version