Mongabay.co.id

Hutan Tumpuan Hidup, Orang Mentawai Tak Ingin Ruang Hidup Terganggu

 

 

 

 

 

Rumah-rumah tersusun rapi di Desa Saibi Samukop,  Kecamatan Siberut Tengah,  Kepulauan Mentawai. Di halaman beberapa rumah terbentang tikar-tikar pandan sebagai alas jemur cengkih.

Saibi,  satu dari tiga desa di Kecamatan Siberut Tengah, Mentawai, Sumatera Barat dengan penduduk 3.434 jiwa.

Hari itu, saya ikut Ishak Simelekeu dan Ana, istrinya, ke kebun. Mereka memotong bambu, mencari sagu dan beberapa bahan makanan lain di hutan. Dia juga membawa tanaman obat namanya Ailelepet simabulau. Tanaman sebagai obat demam.

Mereka ke hutan hampir setiap hari. Ana bilang, di hutan mereka menanam pinang, kakao, ubi, tebu, pisang. Kalau cengkih punya tempat tanam berbeda.

Sepulang dari hutan Ana bikin sagu bakar. Dia memasukkan sagu dari hutan ke bambu yang sudah dipotong-potong. Selanjutnya, bakar di perapian belakang rumah.

Di belakang dapur, ada tumpukan buah pinang berwarna orange. Mereka juga bangun sarang burung walet. Mereka jarang bakar sagu di dapur khawatir sarang terganggu.  Bakar sagu pun pindah ke tempat lain.

Banyak sumber pangan tersedia seperti pisang, sagu, kelapa, pinang dan banyak lagi. Untuk obat-obatan pun mereka ambil dari hutan. Ishak menyebut beberapa nama seperti ailelepet simabulau, ailelepet simaingo, bekeu simabulau atau bunga sepatu warna putih, baku simaingo.  Semua tanaman itu disusun seperti kembang yang mekar dengan pangkal-pangkal dimasukkan ke bambu dan diisi air.

Setelah itu dibawa pulang ke rumah dan diberikan pada yang sakit. “Diminum sebagian dan disiramkan sebagian,” kata Ishak.

 

shak menunjukkan obat Ailelepet untuk demam dan mengusir roh jahat. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya dibacakan taipangorit, semacam mantra atau doa-doa,  supaya terhindar dari penderitaan. “Setelah air habis lalu dicabut daunnya. Bambu dibelah agar suara si sakit segar kembali, istilahnya simanene atau supaya orang sakit itu segar kembali,” katanya.

Ishak mengenang kala cucunya,  Juwita, sakit saat masih kecil. Dia bawakan tanaman-tanaman itu untuk mengobati demam Juwita dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu.

Dia khawatir, kalau sampai hutan hilang tentu tanaman-tanaman ini pun hilang atau sulit ditemukan. Hutan tempat biasa Ishak mengambil buah atau pangan lain an obat-obatan ini terancam masuk konsesi perusahaan biomassa.

“Ya kalau dikasih uang berapa rupiah. Paling itu habis dalam waktu singkat. Kalau habis uang itu terus mau dicari kemana lagi sumber penghidupan?” kata Ishak.

Tanah Ishak dan warga Saibi yang lain masuk dalam konsesi perusahaan hutan tanaman energi kaliandra PT Biomass Andalan Energi (BAE) yang mendapat izin 19.876,59 hektar atau sama dengan 3,5 kali Pulau Bali.

Izin keluar setelah BKPM mengeluarkan surat izin persetujuan prinsip nomor 19/1/S-IUPHHK-HTI/PNBN/2017 kepasa BAE seluas 20.030 hektar. Izin lingkungan kepada BAE sudah Gubernur Sumbar keluarkan untuk area seluas 19.876,59 hektar.

 

Nursi, penganyam tikar pandan di Saibi. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Konsesi kepada BAE mencakup Desa Saliguma, Saibi Samukop, Cimpungan, Sirilogui, Bojakan dan Sat Boyak. Perusahaan berinvestasi lebih dari Rp1 triliun untuk membangun PLTBm berbahan kaliandra dengan daya 10 megawatt (mw).

Ishak tak bisa hidup lepas dari hutan. Nursi, perempuan Saibi . pun serupa. Dia penganyam tikar dari daun pandan. Bahan itu akan tersedia kalau hutan terjaga.

Nursi juga tanam cengkih.  Tiap panen cengkih, masanya  warga meraup rupiah dari hasil bumi. Tikar pandan pun jadi alas menjemur cengkih-cengkih ini. Ada pula tikar untuk alas duduk. Tak jarang, katanya,  juga tetangga memesan tikar.

Kalau dijual, harga tikar pandan ini Rp60.000-Rp70.000 per lembar. Nursi belajar menganyam sejak kecil di tempat kelahirannya di Desa Sirilogui Kecamatan Siberut Utara. Di sana, anyamannya, lebih banyak untuk alas tidur.

Baru saat menikah pada 1999 dia pindah ke Saibi. Tikar anyaman pun banyak untuk tempat jemur cengkih.

Saat ini, pandan untuk anyaman masih mudah dia temui,lahan-lahan yang jadi kebun cengkih hidup pun masih tersedia.

Nursi maupun Ishak akan menjaga dan mempertahankan hutan dan lahan hidup mereka. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya hidup ketika ada perusahaan datang.

 

Seorang ibu memotong bambu di hutan Saibi untuk memasak sagu. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Penyedia segala

Rifai Lubis,  Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM)  mengatakan,  ekonomi hanya salah satu dari kebutuhan mereka terhadap hutan. Hutan juga apotek hidup karena di sana banyak tanaman obat. Hutan juga bernilai spiritual karena berkaitan dengan ritual adat mereka.

“Ketika bicara dalam konteks lingkungan Mentawai sesungguhnya bukan dampak lingkungan saja, seperti biofisik begitu seperti longsor, banjir tapi sangat luas. Karena kita bicara aspek sosial-budaya. Di situ ada sistem religius mereka, kesehatan dan juga ekonomi,” katanya.

Kalau masyarakat Mentawai mengonversi nilai uang dari pemenuhan kebutuhan dari hutan maka kemungkinan uang yang ditawarkan perusahaan untuk ganti rugi tak akan berarti. Secara kultural, masyarakat Mentawai sudah memenuhi berbagai kebutuhan dari hutan.

“Mereka punya konsep pumonean. Kalau dalam teori kehutanan itu disebut agroforestri,” katanya.

Dalam konsep itu semua kebutuhan dari ekonomi, sosial, kesehatan, energi mereka satukan semua. “Begitu perusahaan masuk semua akan dibabat dan hilang. Semua fungsi hilang otomatis.”

Kalau sampai terjadi, kehidupan bisa berubah. Sumber ekonomi didapat  dengan bekerja di perusahaan.  Kalau perusahaan tidak bisa menampung, katanya,  nilai ekonomi akan hilang selamanya.

Rifai bilang, ada dua jenis masyarakat yang tinggal disana terkait hubungan kepemilikan masyarakat dengan hutan. Warga Saibi sebagai pemilik lahan dan hutan dan bukan pemilik.

“Tidak semua hutan di Saibi dimiliki suku yang bermukim di Saibi. Bisa saja suku yang tinggal di tempat lain seperti Rogdok dan lainnya. Kalau pemiliknya bukan tinggal di Saibi biasa memang ada yang mengolah tanah dan hutan itu, disebut sipasijago,” katanya.

Keluarga atau suku yang menggarap tanah itu, katanya,  minta izin supaya lahan bisa diolah dan pemlik setuju.

Sipasijago, katanya,  tidak punya hak mengalihkan tanah itu tanpa persetujuan pemilik tanah tetapi bisa memanfaatkan dan berkewajiban menjaga.

“Situasi ini sering luput dipotret pemerintah atau pemrakarsa kegiatan dalam hal ini perusahaan. Mereka berpikir orang di Saibi itu lah pemilik tanah hingga yang diajak berundung orang di Saibi [saja].”

 

Memasak sagu di tungku. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Soal hubungan masyarakat adat dan hutan, senada dengan Eko Cahyono, sosiolog pedesaan juga peneliti Sajogjo Institut. Hubungan masyarakat adat dengan hutan, kata Eko,  tak bisa disederhanakan semata urusan ekonomi.

“Karena hakikatnya hubungan manusia dengan alam itu kompleks dan berlapis. Baik hubungan ekonomi, sosial, ekologi, politik sampai religius-magis atau spiritual,” katanya.

Dia contohkan bagaimana Suku Malin di Merauke menganggap sagu itu bukan sekadar makanan. Sagu juga totem.

“Secara antropologis itu identitas. Jadi, hilangnya sagu bukan semata hilangnya sumber karbohidrat dan ekonomi. Tapi di situ juga ada upacara, ritual budaya seperti nokok sagu, ulat sagu selain itu pelepahnya dibuat pakaian, rumbainya jadi atap dan seterusnya,” kata Eko.

Dia pun menyesalkan, kalau ada perusahaan baik sawit, tambang atau industri kehutanan lain seolah-olah sudah selesai dengan valuasi ekonomi lalu memberikan ganti rugi terhadap masyarakat, termasuk di Mentawai.

Bagi Eko,  ganti rugi itu manifestasi dari menyederhanakan hubungan manusia dengan tanah semata hanya hubungan ekonomi. Seolah-olah, katanya,  kalau tanahnya sudah diambil kemudian diganti dengan uang itu sudah setara.

“Kalau yang hilang identitasnya gimana? Kalau yang hilang peradabannya gimana? Kalau yang hilang Tuhan mereka karena hutan itu separuhnya ada kepercayaan, kalau yang hilang kepercayaannya gimana?”

 

 

*******

Exit mobile version