Warga Mentawai menolak hutan tanaman industri (HTI) kaliandra PT Biomass Andalan Energi (BAE) karena mengancam wilayah adat mereka dan khawatir bencana lingkungan seperti banjir.
Tudingan berbeda muncul dari perusahaan atas penolakan warga ini. Mereka bilang, gara-gara ada ada bioenergi lain akan dibangun.
“Ini skenario yang hebat,” kata Syamsu Rizal Arbi, Direktur Utama PT. Biomass Andalan Energi.
Dia merasa rencana pembukaan hutan tanaman energi—sebutan Rizal untuk HTI kaliandra—di Siberut Tengah dan Utara, Mentawai, jadi kambing hitam untuk mengadu domba masyarakat.
Baca juga: Kala Hutan Mentawai Terus jadi Incaran Pemodal (Bagian 2)
Dia mengklaim, dapat banyak dukungan dari tetua adat dan mahasiswa di Saibi sampai Sipora untuk bangun HTI ini.
Rizal menuding, sikap Pemerintah Mentawai menutup diri pada investor membuat masyarakat adat berontak.
“Masyarakat tempatan kita udah mau berontak, udah mau ribut. Kita siap demo tandingan, kita siap mau ngapain saja, perang, perang!” katanya, dalam sambungan telepon.
“Kalau kita support masyarakat, kita ajak ke Jakarta, kan mereka akhirnya (perang).”
Hasil penelusuran dia, penolakan Pemerintah Mentawai bukan murni masalah masyarakat adat ataupun lingkungan, tetapi ada proyek listrik bio massa bambu di Siberut yang dikembangkan PT.Charta Putra Indonesia (CPI), lewat dana hibah millenium challenge account (MCA) Indonesia, senilai US$12,4 juta.
Rizal menuding, Pemerintah Mentawai ikut menggelontorkan dana negara untuk proyek listrik itu.
CPI merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga bio massa (PLTBM) bambu 700 KW di Desa Madobag, Matotonan, Siberut Selatan dan Saliguma, Siberut Tengah, untuk 1.200 pelanggan. CPI memerlukan, 1.000 hektar lahan untuk pengembangan bambu bahan PLTBM.
“Kalau kita runut lagi ke belakang, beliau-beliau itu pernah mengajukan hal sama ke kementerian,minta lokasi, tapi gagal,” katanya.
Di Jakarta, Rizal mengaku pernah ketemu Jaya Wahono, Presiden Direktur CPI. Keduanya sepakat saling bantu memuluskan proyek di Siberut. Wahono akan menjembatani pengurusan izin biomass agar disetujui bupati. Rizal akan menyediakan lahan 300 hektar di setiap desa yang masuk konsesi biomass untuk Clean Power. Lahan itu, katanya, untuk penanaman bambu.
HTI biomass mencakup enam desa, yakni, Saliguma, Saibi Samukop, Cimpungan, Sirilogui, Bojakan dan Sat Boyak. Artinya, 1.800 hektar harus siap untuk CPI. “Kita sudah setujui, tapi mereka tak ada hubungi kita lagi.”
Sedang Biomass berencana investasi lebih Rp1 triliun di Siberut untuk energi terbarukan dengan membangun PLTBM berdaya 10 MW berbahan kaliandra.
Proyek ini, kata Rizal, mendukung pemenuhan 5,5 GW energi terbarukan dari bioenergi. Sesuai rencana umum energi nasional (RUEN) menargetkan bauran energi terbarukan 23% sampai 2025.
Pada 2017, pembangkit energi terbarukan biomassa beroperasi hanya 0,3% atau 154,4 MW dari 51.860 MW daya seluruh pembangkit listrik di Indonesia.
PLN berencana, menambah pembangkit listrik biomassa di Sumatera 274 MW. Keperluan listrik Sumatera bakal naik jadi 92 TWh pada 2026.
Biomass berencana membuka 9.000-10.000 hektar hutan produksi di Siberut untuk kaliandra dan tanaman energi lain atau separuh luas izin lingkungan dari Gubernur Sumbar.
“Sisanya untuk barrier, hutan lindung, daerah aliran sungai dan hutan kemasyarakatan seluas 3.400 hektar,” katanya.
Dia bilang, Biomass akan mengelola hutan lestari dan mematuhi kearifan lokal masyarakat adat Mentawai. “Malahan nanti ada perjanjian di notaris untuk hak adat masyarakat atas wilayah.”
Proyek energi ini, katanya, diperkirakan menyerap 700-1.000 orang lokal sebagai tenaga kerja. Masyarakat Siberut, bisa manfaatkan peluang usaha pembibitan kaliandra dan peternakan sapi. “Hasil penelitian, daun kaliandra mengandung protein baik untuk ternak,” katanya.
Menurut Rizal, jika kaliandra ditanam dengan jarak satu meter, dan ditebang satu meter di atas muka tanah agar tetap hidup 20-25 tahun.
Cara penanaman rapat, dan sistem pemanenan bergilir bisa mencegah erosi dan banjir. “Jadi jelas dampak yang ditimbulkan tak separah yang digembar-gemborkan.”
Sewaktu pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), YCM, Walhi dan mahasiswa ikut diundang. Mereka tetap menolak HTI masuk Siberut. “Alasannya, paru-paru dunia.”
“Mereka membandingkan banjir sekarang. Itu daerah sudah banjir, kita belum pernah menyentuh hutan udah banjir duluan, seakan tuduhannya kita, ini akibatnya,” katanya terdengar kesal.
Kaliandra, katanya, akan menghasilkan energi terbarukan menggantikan energi fosil. Justru, katanya, biomassa bambu akan memicu penebangan ilegal saat pasokan bambu masyarakat tersendat.
“Jadi nanti masyarakat disuruh nyuri kayu di hutan untuk mengganti bambu. Itu lebih parah lagi,” katanya, tanpa jelaskan detil itu.
Kortanius Sabeleake, Wakil Bupati Mentawai, membantah tudingan ada proyek lain di balik penolakan HTI.
Dia mengatakan, penolakan izin Biomass tak ada kaitan dengan proyek listrik CPI di Siberut.
“Polanya berbeda. Biomassa bambu tak mengurus HGU (hak guna usaha-red) pengalihan tanah puluhan ribu hektar ke perusahaan. Polanya, bambu ditanam masyarakat di tanah mereka sendiri, status tanah tak berubah.”
Pemerintah Mentawai, katanya, tak ada campur tangan soal pendanaan, investasi PLTBM murni dari dana hibah MCA.
Korta bilang, pemerintah hanya mengeluarkan anggaran buat keperluan operasional dalam pengawasan dan pendampingan masyarakat. Sekalipun proyek biomassa bambu akan didorong untuk kerjasama dengan BUMD.
Uslaini, Direktur Walhi Sumatera Barat, curiga Biomass tak fokus mengembangkan energi terbarukan di Siberut. Pelanggan di Siberut, sedikit dan pertumbuhan juga tak signifikan.
“Itu yang kita curigai, sebenarnya jadi target mereka mau memproduksi woodpile untuk ekspor. Kita gak yakin bakal bangun pembangkit listrik.”
HTI kaliandra, katanya, hanya untuk memenuhi kebutuhan energi di luar Siberut, bahkan luar Indonesia. “Dia habisin hutan Mentawai, lalu usir masyarakat yang berladang di. Diekspor barang keluar untuk menerangi wilayah lain. Untungnya buat masyarakat Mentawai apa?”
Pada 1970-an, hutan mentawai dieksploitasi HPH, tetapi tetap jadi kabupaten termiskin di Sumatera Barat. Jadi, alasan kesejahteraan rakyat kala investor masuk, cuma angin surga.
Pasca Koperasi Andalas Madani, hutan Siberut Tengah dan Utara, mulai digarap jadi perladangan masyarakat. Sebagian jadi pemukiman, kantor, dan gereja. Sebagian lagi jadi hutan. Kedatangan HTI, katanya, akan memicu konflik karena menghilangkan hak tanah warga.
Wilson Novarino, Dosen Biologi Universitas Andalas menilai, rencana Biomass menanam kaliandra perlu kaji ulang. Kaliandara, katanya, tanaman invasif yang bisa mengganggu tanaman sekitar. “Mulanya hanya ditanam beberapa, akhirnya pernah menutupi pinggiran Tahura, perlu usaha cukup besar untuk membersihkannya.”
Invasi kaliandra bisa terlihat sepanjang jalur Alahan Panjang ke Solok Selatan. Kaliandra, katanya, lebih cocok di lahan kritis. Meski demikian perlu pengkajian matang.
Rifai Lubis, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) khawatir, HTI kaliandra bakal mengancam ragam hayati di Taman Nasional Siberut. Kaliandra juga akan merusak ladang cengkih masyarakat dalam konsesi Biomass.
“Di Tahura, kaliandra jadi hama. Tanaman sekitar mati, kalah dengan kaliandra. Invasif ini akan mengancam taman nasional dan kebun masyarakat.”
Biomassa bambu
Gelap masih menyelimuti Dusun Rogdok, Desa Madobag, Siberut Selatan. Rumah-rumah tanpa listrik. Hanya pijar lampu minyak tergantung di dinding. Sejak pertengahan 2017, di sana dibangun satu dari tiga pembangkit Listrik tenaga biomassa (PLTBM) bambu dari CPI.
Hendrikus Bentar Samonganuot, wartawan asal Madobag, kenalan saya, bilang warga Madobag, ada yang bingung mau tanam bambu di mana. Ladang-ladang warga sudah berisi sagu, coklat, cengkih juga pisang.
Setiap keluarga di Rogdok, mendapat 100 bibit bambu dari perusahaan untuk mendukung PLTBM. Bibit bambu dibagikan di Saliguma dan Matotonan. Nantinya, bambu-bambu ini jadi setrum dan mengaliri rumah warga.
Sebagian warga menolak menanam bambu. Mereka protes dana bantuan CPI dianggap terlalu kecil. Bentar bilang, bantuan CPI Rp400.000 untuk warga yang tanam bambu..
Di Saliguma, Siberut Tengah, konstruksi PLTBM tersangkut masalah lingkungan. Gara-gara, saat memindahkan posisi power plant, pekerja proyek pakai alat berat meratakan tanah dan mendorong dari bukit ke laut. Akibatnya, banyak mangrove di pinggir pantai tertimbun. CPI juga belum mendapatkan izin UKL-UPL saat memindahkan power plant.
Bonaria Siahaan, Direktur Eksekutif MCA-Indonesia, meminta konstruksi di Saliguma setop sementara. CPI juga dituntut kaji mendalam tentang dampak kerusakan mangrove.
Alasan CPI memindahkan power plant di Saliguma karena lokasi terlalu dekat dengan pemukiman dan sekolah, khawatir mengganggu.
Soal warga bingung tak punya lahan, kata Bonaria, sudah ada kesepakatan antara CPI dengan masyarakat terkait lahan dan biaya tanam bibit. Di juga bilang, sebagian besar lahan di Siberut dimiliki suku bukan perorangan.
Dari catatan MCA, sampai 16 Januari proyek biomassa sudah 74,66%. Dua pembangkit listrik di Desa Saliguma dan Madobag target operasi 31 Maret 2018, di Desa Matotonan dibiayai CPI perkiraan operasi Mei 2018. Kalau melebihi jadwal, katanya, CPI wajib menyiapkan sumber pendanaan tambahan untuk membiayai kegiatan yang belum selesai, setelah proyek compact berakhir 2 April 2018.
Saya menghubungi Farouk, Koordinator MCA Sumbar. Dia pernah ribut dengan Jaya Wahono. Dia bilang, Jaya pernah berniat menjual listrik ke PLN. “Itu dana hibah, terus mereka bisniskan ke PLN, kan kurang ajar jadinya,” kata Farouk, kesal. “Kalau dijual ke PLN kan dia yang terima uang, padahal uang dari kita (MCAI-red).”
Farouk bilang, pernah tegur Jaya karena melangkahi aturan Pemerintah Mentawai. “Dia justru bilang sama saya, bahwa, ‘saya tidak perlu pemkab, saya hanya perlu bupati,” kata Farouk, menirukan ucapan Jaya. Farouk tidak tahu seberapa dekat hubungan keduanya.
Saya jadi ingat apa kata Rifai. Jaya memang dekat dengan Yudas Sabaggalet, Bupati Mentawai. Kedekatan keduanya diduga berawal ketika Bupati Mentawai mencanangkan program Mentawai Terang sekitar 2015.
Yudas ingin elektrifikasi di Siberut—baru 25%– bisa meningkat. Dia tak ingin mengandalkan PLN karena dinilai lambat.
Jaya datang pada waktu tepat, saat Yudas perlu solusi. Jaya menawarkan proyek listrik biomassa bambu, energi ramah lingkungan, 1.200 rumah di Siberut, bisa terang dengan daya 700 KW. Saya coba konfirmasi kepada Yudas, tetapi tak merespon.
Dengan alasan gotong-royong untuk listrik bersama, proyek biomassa meminta masyarakat terlibat. Warga diminta sukarela menanam bambu di ladang.
Jaya perlu 1.000 hektar lahan untuk mencukupi kebutuhan 6.000 ton bambu setiap tahun. Cara itupun efektif , karena tak perlu repot mengurus izin untuk lahan penanaman bambu.
Hubungan keduanya diduga makin dekat, ketika MCA Indonesia ikut andil dengan menggelontorkan dana hibah US$12,4 juta. Kesepakatan ditandatangani 20 Maret 2017, sebulan kemudian pembangunan konstruksi mulai.
MCA Indonesia mengalirkan dana US$973.000 untuk bantuan teknis persiapan proyek.
CPI kemudian menggandeng PT Inti Karya Persada Teknik sebagai kontraktor dan PT. Indopower International untuk konsultan penyusun UKL/UPL serta Ekologika sebagai konsultan feedstock, pembibitan dan penanaman bambu.
Di laman website Clean Power Indonesia disebutkan, setelah proyek biomassa bambu di Madobag, Matotonan, dan Sliguma berhasil, Jaya selaku Presiden Direktur Clean Power Indonesia dikabarkan berniat membangun proyek hal sama pada 13 desa di Siberut.
Dia perlu ribuan hektar lahan bambu dan dana proyek US$30-US$40 juta. Kerjasama dengan Biomass, akan memuluskan niat itu.
Saya coba menghubungi Jaya lewat telepon berulang kali tetapi tak ada jawaban. Saya kirimkan pesan singkat dan Whatsapp untuk wawancara, tak juga dibalas. Usaha saya konfirmasi buntu.
Saya menghubungi Ian O Malana, Direktur Pelaksana CPI, namun menolak komentar. Katanya, yang berhak komentar MCAI, karena biomassa bambu dari dana hibah.
Proyek pariwisata
Kepemimpinan Yudas Sabaggalet dan Kortanius Sabeleake di Mentawai, menetapkan sektor pariwisata sebagai penggerak utama pembangunan dan ekonomi daerah.
Salah satu program kawasan ekonomi khusus (KEK) di Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya. Di areal penggunaan lain 2639 hektar ini akan dibangun bandara, pelabuhan, hotel, lapangan golf dan banyak fasilitas modern lain guna menunjang wisata di Mentawai.
Saat ini, rencana pembangunan KEK masih menunggu amdal dan rekomendasi gubernur.
Celakanya, lokasi rencana KEK di Taileleu berupa kebun sagu, cengkih, coklat dan pemukiman masyarakat. Menurut Rifai, KEK bisa memicu konflik.
“Mungkin konflik baru terjadi ketika KEK beroperasi, kalau tahap persiapan masih belum, karena ladang masyarakat belum ditebang.”
Dia khawatir, jika pariwisata berbasis pemodal, masyarakat lokal yang tak kuat ekonomi akan tersingkir. Sedangkan, hutan adat sudah banyak dikuasai pengusaha lewat izin pengelolaan hutan.
Korta sadar, jika rencana pengembangan pariwisata merupakan kebun dan pemukiman masyarakat.
“Pasti akan terjadi pro kontra, kita mengajak untuk tak menghilangkan mata pencaharian masyarakat.”
Untuk itu, katanya, semua warga terkena KEK baik tanah, rumah dan kebun, harus masuk dan ambil bagian dalam pembangunan itu.
“Apapun peran mereka. Anak-anak mereka masa datang jadi pengisi utama tenaga kerja dengan cara membantu membiayai studi sesuai kebutuhan perusahaan,” katanya.
Sejak 1969, pemerintah mulai mengkapling hutan Mentawai. Sebagian besar hutan adat masyarakat Mentawai dan perkampungan lama di hutan produksi, dan tanam nasional. Hanya sedikit di areal penggunaan lain.
Rapot Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai mengatakan, Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat yang sah November lalu, bisa jadi modal masyarakat Mentawai mendapatkan legalitas wilayah adat.
Pada 2018, AMAN Mentawai menyiapkan usulan hutan adat untuk Suku Saureinuk, Rokkot, Matobek dan Goisokoinan, di Pulau Sipora, seluas 13.000 hektar.
Tantangan berat di lapangan guna mendapatkan legalitas hutan adat. Di sebagian tempat, masalah muncul dari masyarakat adat yang menolak wilayah dipetakan jadi hutan adat.
“’Kami tahu dimana batasnya, kami yang punya, kami tahu sejarahnya, tidak perlu lagi dipetakan. Begitu kata mereka,” ucap Rapot. “Kalau mereka nolak dipetakan, kita tidak bisa memaksa.”
Elit politik yang ikut bermain mendukung perusahaan masuk, membuat upaya penyelamatan hutan adat makin sulit.
Rapot bilang, AMAN harus pandai ‘bermain ombak’ saat tahun politik seperti sekarang. Sebab, pihak yang mulanya mendukung bisa berbalik menentang.
“Namanya politik susah ditebak, semua bisa berubah.”
AMAN mendorong pemerintah desa membuat peraturan desa (perdes) soal pengelolaan sumber daya alam sesuai hukum adat, sebagai upaya penyelamatan hutan. Menurut dia, suku-suku di Mentawai punya kearifan lokal dalam menjaga alam sejak dulu.
“Kalau suku kuat menolak, perusahaan tak bisa masuk.” “Kalau mereka setuju, ya sudah habislah itu.”
***
Dingin menyekap perkampungan Bekkeiluk akhir November lalu. Merambat 3,5 kilometer jauhnya sampai ke Salappa. Air sungai meluap, beberapa hari Siberut diguyur hujan berkepanjangan. Kapal-kapal laut, dihantam badai gelombang.
Di antara pepohonan di hutan di Dusun Salappa, saya bertemu Darmanto Salimu dan Stefanus Salimu. Mereka mengenakan kabit. Keduanya sedang mencari duan obat untuk Mateus Salaisek yang pringisan karena remumatik. Sesekali dia meraba dan terkadang mengendus. “Ini daun mumunen,” katanya.
Dia pakai daun mumunen dan ngitit-ngitit untuk obat reumatik. “Kalau makan daun ini bisa sembuh.”
Sudah 24 tahun Darmanto jadi sikerei (tabib). Lelaki 67 tahun ini mewarisi ilmu sikerei dari mendiang bapaknya, Sibeleng Salimu. Dia bilang, hampir semua penyakit dan gangguan roh jahat bisa disembuhkan sikerei.
Bagaimana tanggapan sikerei atas kehadiran perusahaan? Menurut Darmanto, perusahaan akan memusnahkan banyak tanaman obat. Makin lama, hutan Mentawai dijarah, makin jauh para sikerei mencari tanaman penyelamat.
Awal Desember, sepulang dari Bekkeiluk, saya kembali datang ke Uma Sabulukkungan di Puro. Babi di depan uma tumbuh gemuk dengan kulit kemerahan, tanda kemakmuran.
Riko Tatebburuk, Maksi Tatebburuk, dan Senei Sapumaijat, berlarian kesana-kemari di dalam uma, bercanda. Ketiganya lalu tertawa.
Anak-anak pewaris hutan di Saliguma dan Saibi itu tak mengerti kerisauan para tetua adat yang takut kehilangan hutan.
Di depan uma, berdiri satu rumah kayu tak cukup luas. Di sana Mansinar Samaruro, duduk melantai menemani Emilianti Sakekle yang masih sibuk merajut manik-manik.
Mansinar sebelumnya tinggal di Sakelo, pemindahan sistemtis lewat program pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing (PKMT) membawa dia sampai ke Puro. Kabar kedatangan Biomass ke Siberut Tengah dan Utara, sampai ke telinganya.
Keputusan pemerintah terlalu kuat untuk dia lawan. Kepada saya, Mansinar bilang, hutan adalah sumber penghidupan. Jika diambil, dia tak punya apa-apa lagi, dan tak bisa apa-apa lagi, selain mati.
Lima hari perjalanan saya di Siberut, mengunjungi masyarakat adat di Puro, lalu ke Bekkeiluk di Silaoinan. Saya temukan, orang-orang Mentawai ini, ingin hidup damai di alam dan hutan mereka. (Selesai)
Keterangan foto utama: Air Terjun Bojokan, di Siberut, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia