Mongabay.co.id

Katak Pohon Kutil Palsu, Spesies Baru dari Pulau Nusa Kambangan

 

 

Seekor katak jenis baru ditemukan di hutan dataran rendah Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Ciri fisiknya mirip kulit kayu. Ketika fase remaja warnanya krem-putih terang dengan bercak hitam, dilengkapi kutil yang masih belum berkembang.

Pada fase dewasa, warnanya cenderung cokelat tua dengan bercak hitam dominan, dilengkapi kutil yang telah berkembang. Persis kulit kayu yang ditumbuhi lumut.

Spesies baru itu diberi nama katak pohon kutil palsu [Theloderma pseudohorridum].

Baca: “Katak Setan” Punah karena Perubahan Iklim?

 

Warna katak pohon kutil palsu ketika fase remaja lebih terlihat krem-putih terang dengan bercak hitam dilengkapi kutil yang belum berkembang. Foto: Luhur Septiadi

 

Para peneliti herpetofauna dari Universitas Brawijaya, Universitas Palangka Raya, dan Chulalongkorn University [Thailand] yang berhasil mengidentifikasi spesies baru itu, awalnya menduga spesies tersebut sebagai katak lumut [Theloderma horridum]. Jenis ini tersebar luas di Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Singapura, dan Sabah.

Nia Kurniawan, peneliti herpetofauna dari Jurusan Biologi, Universitas Brawijaya, menuturkan penemuan katak ini saat Ekspedisi Pulau Nusa Kambangan, dari 2015 hingga 2020.

“Spesies ditemukan tahun 2020. Sebelumnya, tim lapangan tertipu dengan ciri fisiknya yang sangat mirip dengan batang pohon kulit kayu,” ujar Nia melalui keterangan tertulis kepada Mongabay Indonesia, Selasa [11/04/2023].

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di Jurnal Asian Herpetological Research, edisi 27 Maret 2023.

Baca: Terpecahkan, Rahasia Tubuh Katak Kaca yang Transparan

 

Spesies baru, katak pohon kutil palsu [Theloderma pseudohorridum] ditemukan di hutan dataran rendah Pulau Nusa Kambangan, Jawa Tengah. Foto: Luhur Septiadi

 

Ahmad M. Kadafi, dosen Jurusan Biologi, Universitas Palangka Raya, anggota tim riset menjelaskan bahwa sejak survei pertama, dia tidak begitu detil memperhatikan katak ini. Hanya fokus memotret saja.

“Katak ini ditemukan pada kantong pohon berisi air keruh,” katanya.

Saat di Kota Malang, dia mengecek kembali dokumentasi itu. Dugaan awal Kadafi, katak ini merupakan spesies katak lumut atau Theloderma horridum. Namun, setelah dikonfirmasi dan dibandingkan dengan spesimen lainnya, tim peneliti sepakat ini jenis berbeda.

“Kami baru menyadari, spesies baru ini tidak pernah tercatat di Jawa.”

Baca: Lebih 100 Tahun Hilang, Peneliti Indonesia Temukan Kembali Katak Pelangi di Gunung Nyiut

 

Katak ini sering ditemukan pada kantong pohon berisi air yang keruh. Foto: Ahmad M. Kadafi

 

Pola kutil lebih halus

M. Fathoni, lulusan Jurusan Biologi, Universitas Brawijaya, anggota tim yang terlibat, menjelaskan ciri fisik individu jantan dan betina katak tersebut yang memiliki pola kutil lebih halus dibandingkan Theloderma horridum.

“Secara molekuler, katak ini memiliki garis keturunan atau lineage terpisah dari Theloderma horridum,” ujarnya.

Berdasarkan bukti-bukti inilah, katak dari Pulau Nusa Kambangan ini dipastikan sebagai jenis baru yang belum memiliki nama.

Foto: Bentuk Aneh Tengkorak Kepala Katak

 

Katak pohon kutil palsu pada fase dewasa cenderung berwarna cokelat tua dengan bercak hitam dominan, dilengkapi kutil yang telah berkembang. Foto: Luhur Septiai.

 

Luhur Septiadi, herpetolog yang terlibat dalam penemuan ini, menegaskan bahwa teridentifikasi spesies baru tersebut menunjukkan Pulau Jawa masih menyimpan biodiversitas yang belum terungkap.

Namun Luhur juga khawatir, sebab perubahan fungsi hutan terus terjadi sehingga akan mengancam keberlangsungan populasinya di masa mendatang.

“Katak ditemukan pada hutan produksi yang berdekatan permukiman warga. Ancaman terhadap populasinya cukup jelas, yaitu kerusakan habitat dan alih fungsi hutan untuk pertanian, permukiman, dan fungsi lahan lainnya.”

Luhur memperkirakan, status konservasi katak pohon kutil palsu bisa saja terancam [Vulnerable] berdasarkan IUCN [The International Union for Conservation of Nature Red List of Threatened Species]. Sebab, sebaran dan kemunculannya terbatas, meski masih diperlukan data tambahan.

“Upaya perlindungan amfibi yang tergolong rentan dan sensitif terhadap perubahan lingkungan ini harus dilakukan,” paparnya.

 

Exit mobile version