Mongabay.co.id

Segudang Masalah Nelayan Kecil di Negara Maritim

 

Nasib nelayan kecil terus mengalami banyak masalah di tanah air ini. Persoalan-persoalan lama tidak kunjung selesai. Hal itu disampaikan oleh beberapa pembicara dalam diskusi daring Ocean Solutions Indonesia, 15 April 2023 lalu.

Diskusi dimulai dengan pemaparan catatan refleksi kondisi nelayan kecil di Indonesia yang disampaikan Komisioner Ocean Solutions Indonesia Moh. Abdi Suhufan.

Perhatian pemerintah terhadap nelayan harus diutamakan kata Abdi, karena 96 persen jumlah kepemilikan kapal di Indonesia dikategorikan sebagai pelaku usaha kategori skala kecil yaitu kapal dibawah 10 grosstone (GT). Kemudian, sebagian besar rantai pasok ikan di Indonesia itu berasal dari nelayan kecil.

“Nelayan kecil sangat rentan karena aksebilitas terhadap sumberdaya pembangunan terbatas, ada beberapa permasalahan yang dihadapi mereka untuk bertahan hidup dan mencari nafkah,” kata Abdi.

Diantaranya, nelayan kecil terdesak pembangunan seperti penambangan dan reklamasi yang mencemari laut dan mengganggu nelayan kecil. “Seperti yang terjadi di Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Manado, banyak aktifitas disana yang mengganggu nelayan kecil,” katanya.

Di Kepulauan Riau, pencemaran laut tidak disebabkan oleh tambang tetapi pembuangan minyak hitam atau limbah oleh kapal internasional yang melintas di perairan Selat Malaka. Kondisi itu membuat mata pencaharian nelayan terganggu.

baca : Nasib Abu-abu Nelayan Tradisional dan Kecil

 

Seorang nelayan kecil tengah melaut di perairan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Nelayan kecil sampai saat ini masih terbatas dalam akses jaminan sosial. Peraturan Pemerintah No.27/2021 tentang Penyelenggara Kelautan dan Perikanan, disebutkan nelayan mendapatkan lima item asuransi. Sayangnya turunan PP, dalam Peraturan Menteri Kelautan No.33, malahan disebutkan implementasi asuransi nelayan dipotong menjadi tiga asuransi. “Ini menimbulkan pertanyaan bagi teman-teman nelayan kecil,” katanya.

Masalah berikutnya adalah ketersediaan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terbatas untuk nelayan. Ia mengaku sudah banyak mendapatkan laporan nelayan tidak mendapatkan BBM. “Ternyata saat ini, BBM yang diakses nelayan sama saja dengan masyarakat umum biasanya, tidak ada skema BBM khusus untuk nelayan,” kata Abdi.

Begitu juga terkait skema pembiayaan untuk nelayan baik itu Kredit Usaha Rakyat (KUR) ataupun Badan Layanan Umum (BLU) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Catatan Abdi, tahun 2022 realisasi KUR untuk nelayan sebanyak Rp9 triliun, meningkat dibandingkan tahun 2018 hanya Rp7 triliun. Tetapi, skema itu masih didominasi non perikanan tangkap, perikanan tangkap hanya sekitar 24 persen dari total KUR yang disalurkan.

Jika dilihat lebih jauh lagi, dari 24 persen total KUR yang diberikan kepada nelayan perikanan tangkap, hanya sebagian kecil akses untuk nelayan kecil.

baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

 

Seorang nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Abdi mengatakan, harus ada solusi yang komprehensif untuk masalah-masalah nelayan kecil. Pemerintah diharapkan lebih konsisten dalam implementasikan kebijakan berdasarkan UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. “Selain itu kami menyarankan perkuat kolaborasi antar semua pihak baik pemerintah, swasta maupun NGO,” katanya.

Abdi juga menyoroti keterlibatan pemerintah daerah dalam perlindungan nelayan kecil. Salah satunya di sektor anggaran. Perlu ada desentralisasi program dan anggaran pemberdayaan nelayan oleh pemerintah daerah.

Sekarang ini anggaran juga diurus oleh pemerintah pusat. Padahal urusan nelayan kecil berada di pemerintah pusat.

Jika program dan anggaran diurus pemerintah pusat biaya manajemen akan lebih besar. Dari 70 persen APBN KKP akan terserap oleh kegiatan manajemen, seperti kegiatan koordinasi, rapat, perjalanan dinas dan lainnya.

Terakhir kata Abdi, perlu ada integrasi data nelayan kecil. Saat ini katanya, data nelayan masih tersebar berbagai instansi seperti BPS, Data Kusuka, data realisasi TDKP. “Semua data itu berbeda-beda, Sehingga sulit mengatur skema bantuan dan subsidi,” katanya.

Pemaparan dilanjutkan oleh Hamdan N Huda dari KKP. “Saya tidak bicara banyak soal nelayan kecil, hanya saja menjelaskan konsep penangkapan ikan terukur (PIT),” kata Hamdan.

Sebanyak 60 persen perikanan tangkap di Indonesia adalah nelayan kecil. Namun, tidak serta merta membuat masyarakat sejahtera. Di kebijakan baru KKP, penangkapan perikanan terukur nelayan kecil menjadi prioritas.

Dalam aturan PIT, nelayan kecil diperbolehkan menangkap ikan disemua jalur. Tetapi, harus memiliki izin usaha seperti mengurus NIB dan aturan pemenuhan standar.

Selain itu menurut Hamdan, penangkapan terukur juga mendukung keberadaan nelayan kecil. Misalnya saja terkait aturan setiap hasil laut akan didaratkan di pelabuhan asal. Kebijakan itu juga untuk perkembangan ekonomi masyarakat sekitar. “Kita berharap dengan regulasi seperti ini (PIT), maka wilayah perikanan tersebut tumbuh, sehingga berimbas kepada nelayan kecil,” katanya.

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Seorang nelayan sedang memisahkan berbagai jenis ikan tangkapannya di Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Indonesia Negara Maritim yang Gagal?

Menurut Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Dr. Ir. Rignolda Djamaludin, nelayan kecil selalu menjadi korban. Sampai saat ini sulit mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi nelayan kecil. “Yang pasti bahwa kita negara maritim yang sangat gagal,” kata Rignolda.

Rignolda mengatakan, nelayan kecil di Indonesia berkurang secara kuantitatif. Padahal dalam UU No.7/2016, Pemerintah harus mendorong perlindungan nelayan. Tidak hanya perlindungan di laut, tetapi juga pemukiman nelayan yang ada di pesisir agar nelayan kecil terus berkembang.

“Pemukiman nelayan menjadi satu kesatuan nelayan yang harus dilindungi, sampai sekarang menjadi konflik, sekarang nelayan berada di posisi lemah,” katanya.

Ia sudah melakukan beberapa riset terkait kondisi nelayan kecil di Indonesia ini. Riset itu bahkan sudah disampaikan kepada instansi terkait. Namun, nelayan kecil tak kunjung diperhatikan. “Dalam kasus Teluk Manado misalnya, dulunya nelayan kecil berjumlah 5.000 nelayan, sekarang hanya tinggal 200 nelayan saja,” katanya.

“Saya nitip kalimat, orang tua nelayan mengatakan, biarlah kami jadi nelayan, tidak untuk anak-anak kami. Artinya orang-orang tua nelayan menganggap nelayan tidak memberikan harapan untuk masa depan, ini menjadi berat,” katanya.

Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Budi Laksana mengatakan, permasalahan nelayan kecil tidak kunjung selesai. Meskipun Indonesia kaya tetapi kemiskinan tetapi ada di kampung-kampung nelayan.

Senada dengan Abdi, Budi menjelaskan beberapa masalah nelayan, mulai dari BBM, perizinan dan lainnya. “Sekarang ini, siapa sebenarnya yang berwenang menangkap nelayan kecil di laut kita, selama ini nelayan dikriminalisasi melalui penangkapan, ini juga menjadi masalah,” katanya.

Abdi melihat, negara hanya berkutat pada produksi dan pendapatan. Sepertinya halnya aturan penangkapan ikan terukur. Karena tujuannya pendapatan negara, akan ada peluang penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

 

 

Exit mobile version