Mongabay.co.id

Mengenang Muhannis: Karya Buku dan Perjuangannya untuk Masyarakat Adat Sinjai

 

Senin sore (8/5/2023), Muhannis, sejarawan dan budayawan, –cum pejuang masyarakat adat di Sinjai, Sulawesi Selatan, berpulang setelah sepekan dirawat di RSUD Sinjai. Kepergian Muhannis yang tiba-tiba membawa kesedihan tersendiri bagi pecinta budaya dan sejarah di Sulsel.

Sepanjang hidupnya almarhum telah menorehkan banyak karya, termasuk upayanya mendukung perjuangan masyarakat adat di Kabupaten Sinjai.

Sejak tahun 2020 hingga saat ini Muhannis terlibat menjadi panitia masyarakat adat di Kabupaten Sinjai yang bekerja melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi untuk pengakuan masyarakat adat.

Sebelumnya Muhannis juga terlibat dalam tim penyusun naskah akademik Perda No. 1 tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat di Kabupaten Sinjai.

 

Muhannis, budayawan dan sejarawan Sulsel dikenal atas karyanya yang mendukung masyarakat adat di Kabupaten Sinjai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Pertama di Indonesia, Sulsel Segera Miliki Sistem Informasi Wilayah Adat

 

“Pak Muhannis sangat berperan dalam gerakan masyarakat adat di Sinjai. Beliau sejak dulu banyak menulis dan mendokumentasikan kearifan-lokal di komunitas,” ungkap Solihin, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinjai.

“Bagi teman-teman AMAN Sinjai, beliau merupakan teman diskusi mengenai pemajuan kebudayaan. Kepergian beliau merupakan kehilangan besar bagi kami di gerakan masyarakat adat di Sinjai, dan saya kira kehilangan besar bagi gerakan kebudayaan di Sulsel,” tambah M Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN memuji dedikasi Muhannis dalam perjuangan masyarakat adat.

Muhannis dikenal paham dan dekat dengan masyarakat adat. Bahkan berperan dalam mengenalkan masyarakat adat Karampuang Sinjai yang dulunya sangat tertutup hingga tingkat internasional. Begitu dekatnya dengan pemangku adat Karampuang sehingga ia diberi akses untuk naskah-naskah lontara Karampuang.

Tidak hanya Karampuang, dia pun paham hampir seluruh sejarah masyarakat adat di Sinjai, Bulukumba hingga Bone. Kekayaan pengetahuannya ini karena kemampuannya membaca naskah-naskah kuno yang sebagian sudah berumur ratusan tahun.

Kelebihan lainnya dari Muhannis adalah kemampuannya dalam berbahasa. Dari bahasa lokal, seperti Makassar, Bugis dan Konjo, hingga bahasa asing seperti Inggris, Jerman dan sedikit bahasa Belanda.

 

Karya masterpiece Muhannis, Hanua Sinjai yang berisi tentang sejarah dan budaya masyarakat Sinjai, yang ditulis Muhannis selama 30 tahun. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: Berharap Pengakuan Hutan Adat Barambang

 

Muhannis dilahirkan pada 5 Juni 1959 di Ara Bulukumba yang terkenal sebagai desa pembuat perahu pinisi. Dia menyelesaikan jenjang Sarjana S1 di IKIP Makassar 1985 dan Pascasarjana S2 di ABI Surabaya tahun 2013.

Pada 2003 dia mengikuti pendidikan Deutschforbildungkurs di Goethe Institute Munchen Jerman, yang dilanjutkan ke Goethe Institute Gottingen Jerman (2011) dan Goethe Institute Born Jerman (2016).

Muhannis pun pernah menjadi pengajar di SMAN 1 Sinjai sebagai guru bahasa Jerman dan pembina seni dan karya tulis (1985-2009). Pada tahun 2009-2015 dia menjadi kepala SMAN Sinjai Timur, selanjutnya sebagai pengawas SMA/SMK Sulsel dari 2015-2019.

Dia juga tercatat sebagai dosen Ilmu Budaya Dasar di Universitas Muhammadiyah Sinjai dan Akademi Kebidanan Madani Sinjai.

Pada tahun 2005, Muhannis menerima Celebes Award bidang kebudayaan dari Pemda Sulsel sebagai budayawan berprestasi dan mendapat sertifikat sebagai ahli cagar budaya nasional dan badan nasional sertifikat profesi tahun 2016.

Kiprahnya di dunia internasional adalah menjadi pembicara terkait budaya dan masyarakat adat serta tim penetapan perahu pinisi sebagai warisan dunia.

 

Pengunjung yang berkunjung ke Kampung Karampuang. Berkat jasa Muhannis, Masyarakat Adat Karampuang yang dulunya tertutup kini dikenal luas bahkan ke dunia internasional. Dalam bukunya Muhannis bercerita tentang sejarah, budaya dan adat istiadat di Karampuang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Karya Muhannis

Muhannis sepanjang hidupnya banyak menciptakan lagu hymne dan mars, termasuk Sinjai Bersatu, mars sejumlah kampus, serta menciptakan sejumlah lagu daerah seperti Laha Bete, Maliang ri Ara, Inung-inung Sinjai, Tulolonna tu Konjoa, Tellulompoe, Pituelompoe, dan lain-lain.

Muhannis juga seorang penulis novel dan puisi. Karya novelnya seperti Karruq ri Battilang Pinisi serta antologi puisi Kata-kata Tak Menua dan Kuantar Kau ke Makassar yang ditulis bersama penyair Makassar. Dia pun membuat kamus bahasa Konjo yang bisa diakses di playstore.

Karya masterpiece-nya adalah buku Hanua Sinjai yang berisi tentang sejarah dan budaya masyarakat Sinjai, yang dia tulis selama 30 tahun.

Buku setebal 670 halaman ini sempat tertunda penerbitannya, dan baru bisa diterbitkan setelah urunan biaya dari sejumlah aktivis budaya di Sinjai dan Makassar.

Buku yang diterbitkan penerbit Ininnawaberisi perjalanan sejarah lokal Sinjai abad XVI-XXI yang memuat beberapa kisah keterkaitan Sinjai dalam lingkaran Perang dan Traktat, dan pengaruh kehadiran agama Islam bagi kondisi perpolitikan di Sinjai.

Beberapa bab khusus membahas sejarah dan budaya masyarakat adat Karampuang yang telah puluhan tahun didampinginya.

Ketertarikan Muhannis dengan budaya, dimulai sejak kecil. Diawali dengan pertemuannya dengan seorang budayawan eksentrik yang ada di kampungnya. Dari dialah, Muhannis belajar banyak budaya, termasuk cara membaca lontara dan kearifan kebijaksanaan lokal.

Selama hidupnya, Muhannis tidak pernah berhenti belajar. Saat berkunjung ke perpustakaan Leiden University, Belanda, dikarenakan tak memiliki cukup biaya untuk membeli kopian dokumen, dia mencatat setiap dokumen yang bisa mendukung referensinya. Catatan itulah yang akhirnya dicurahkan dalam buku Hanua Sinjai.

 

Exit mobile version