Mongabay.co.id

Hutan Larangan Kedoy, Penjaga Mata Air Suku Besemah

 

 

Baca sebelumnya: Tata Kelola Air, Wujud Harmonis Suku Besemah dengan Alam

**

 

Di Desa Tanjung Kurung Ulu, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, terdapat sebuah kawasan hutan larangan. Secara adat Suku Besemah, kawasan hutan ini dilarang untuk diakses, seperti diambil kayu atau dijadikan kebun dan permukiman. Uniknya, di kawasan hutan ini didominasi pohon kedoy atau tapos [Elateriospermum tapos Blume].

Pohon kedoy yang ditemukan di sebagian besar wilayah di Sumatera Selatan, seperti di Lahat, Pagaralam, dan Semende, biji dari buahnya umumnya beracun atau mengandung sianida, sehingga tidak dapat dikonsumsi.

“Tapi biji dari buah kedoy di sini dapat dimakan. Dikonsumsi, setelah direbus, dibakar atau digoreng. Rasanya seperti kacang tanah,” kata Iriana [52], warga Desa Tanjung Kurung Ulu, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [13/05/2023].

 

Pohon kedoy atau tapos, tanaman yang mendominasi di hutan larangan Kedoy, Desa Tanjung Kurung Ulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Foto: Aghi Rahmat Auzan

 

Sutarni [82], tokoh adat Suku Besemah di Desa Tanjung Kurung Ulu menuturkan, “Menurut kisah di desa kami, dulunya biji buah dari pohon kedoy itu beracun. Tapi berkat kesaktian puyang [nenek moyang] kami, yakni puyang Penjalang, biji dari buah kedoy ini dapat dimakan. Tidak perlu diolah khusus sebelum dimakan, seperti gadung. Cukup direbus, dibakar atau digoreng.”

Dr. Edwin Martin, periset dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, yang pernah melakukan sejumlah penelitian flora dan fauna di wilayah Besemah menjelaskan, pada masyarakat yang menetap di sejumlah wilayah dataran tinggi, biji dari buah kedoy dikonsumsi.

“Selain di Tanjung Kurung Ulu, juga di Desa Muara Danau [Semende] dan Seluma [Bengkulu].”

Hanya, sebelum dimakan, seperti di Desa Muara Danau [Semende], dilakukan perendaman dan perebusan berulang kali untuk mengurai sianidanya.

“Kalau tidak bersih dapat memabukkan,” katanya.

Terkait biji buah kedoy di Desa Tanjung Kurung Ulu yang dapat dikonsumsi dengan cukup direbus, dipanggang atau digoreng, Martin mengatakan tidak tahu.

“Tapi, kandungan asam sianida pada tumbuhan berbeda antarlokasi. Pada satu tempat kandungannya tinggi, tapi di lokasi yang lain bisa rendah.”

Dikutip dari asianplant.net, disebutkan ada beberapa ras tanaman tapos [kedoy] yang tidak mengandung sianida. Tapi tidak disebutkan nama ilmiahnya. Dijelaskan pula, bagi sejumlah masyarakat di Sumatera, biji buah tapos dapat dikonsumsi. Setelah direbus dan dimasak, dijadikan campuran sambal.

 

Biji buah kedoy atau tapos di hutan larangan kedoy dapat dikonsumsi tanpa perlu diolah secara khusus. Foto: Yulion Zalpa

 

Resolusi konflik

Hutan larangan yang luasnya kisaran 50 hektar ini, dulunya adalah sebuah dusun. Dusun pertama Suku Besemah di Tanjung Kurung, yang kini terbagi menjadi Desa Tanjung Kurung Ulu dan Tanjung Kurung Ilir.

Dusun ini namanya “Seluai Betubuk”. Dusun yang dikelilingi tiga siring [saluran air]; siring ampuh, siring air lembak, dan siring sungsang.

Diceritakan Sutarni, di masa lalu pernah terjadi “keributan” terkait warisan lahan di masyarakat. Keributan dikarenakan lahan tidak luas, tapi semua keturunan menginginkan [warisan] lahan yang luas.

Akhirnya, puyang Penjalang bersama warga sepakat lahan tersebut tidak diwariskan perorangan. Diputuskan, dijadikan hutan larangan milik bersama. Tapi tidak boleh dijadikan kebun dan permukiman.

Agar tidak terjadi konflik lain, pohon yang ditanam pada lahan tersebut adalah kedoy. Buahan hutan yang dapat dikonsumsi, tapi tidak memiliki nilai ekonomis, seperti durian, jengkol dan petai.

“Tapi setiap kali musim, warga [khususnya perempuan] mengumpulkan buah yang jatuh ke tanah. Sebelumnya mereka membersihkan rumput di bawah pohon. Sekarang, tradisi ini sudah hilang,” kata Sutarni.

Hutan larangan yang sudah ditetapkan sebagai hutan adat oleh pemerintah Desa Tanjung Kurung Ulu pada 2017 lalu, pada akhirnya menjadi hutan yang menjaga air tanah desa ini.

Sebab, hutan larangan tersebut dikelilingi sejumlah siring. Sepanjang tahun siring itu tidak pernah kering. Selain mendapat pasokan air dari sungai [Sungai Mate Lintang], juga air tanah dari hutan larangan,” jelas Efriza Tria Prayudha, Kepala Desa Tanjung Kurung Ulu.

Sungai Mate Lintang berhulu di hutan larangan Bukit Runcing di Kota Agung, Kabupaten Lahat.

 

Hutan larangan kedoy merupakan upaya resolusi konflik warisan. Sejumlah warga yang memiliki lahan di lokasi ini sepakat dijadikan hutan larangan, sebab jika diwariskan tidak akan cukup. Foto [drone]: Yulion Zalpa

 

Dirambah

Sepuluh tahun terakhir, hutan larangan Bukit Runcing yang masuk kawasan hutan lindung [HL] di Kecamatan Mulak Ulu, ini sebagian dirambah. Selain diambil kayunya, juga dijadikan perkebunan kopi. Para perambah adalah para pendatang atau masyarakat dari luar desa atau dusun.

Dikutip dari Sriwijaya Post, pada 2015 lalu, sekitar 10 hektar kawasan hutan tersebut terbuka. Dampaknya, sekitar 40 hektar persawahan di Desa Muara Gula dan Tanjung Bulan, Kecamatan Kota Agung, Kabupaten Lahat, mengalami kekeringan saat kemarau panjang 2015.

“Saat itu, volume air Sungai Mate Lintang menurun, sehingga air yang masuk ke sejumlah siring di Tanjung Kurung Ulu berkurang. Tapi, hutan larangan ini turut memberikan pasokan air ke siring di sekitarnya, sehingga persawahan masih dapat dialiri air,” kata Efriza.

Menghadapi kemarau panjang 2023 ini, jelasnya, pemerintah Kabupaten Lahat sudah membuat empat sumur di sekitar persawahan yang luasnya sekitar 150 hektar.

“Gunanya, untuk membantu perairan sawah saat musim kemarau panjang. Tapi sebenarnya, dibutuhkan sedikitnya 10 sumur untuk lebih menjamin air persawahan.”

 

Makam puyang Penjalang yang menggagas adanya hutan larangan kedoy. Puyang ini juga yang memimpin warga membuat tata kelola air. Foto: Aghi Rahmat Auzan

 

Menata warisan

Tata kelola air di Desa Tanjung Kurung Ulu, seperti permukiman Suku Besemah lainnya di Sumatera Selatan, cukup baik. Dimulai denagn terjaganya mata air dan sungai di hutan larangan, ada tebat [danau], siring [saluran air], hingga pauk [kolam] di sekitar rumah warga.

Saat ini, terdapat sembilan tebat yakni tebat lembak, tebat penyakit, tebat pelawi besak, tebat pelawi kecik, tebat pungkutan, tebat rimba, tebat lebuai, tebat patah, dan tebat danau abang.

Serta delapan siring; siring agung, siring terkau, siring curup, siring air cawang, siring air lembak, siring air ampuh, siring air salak, dan siring air sungsang.

“Kami bersyukur mendapatkan warisan pengetahuan menata air dari para leluhur,” kata Efriza, yang baru beberapa bulan menjabat kepala desa.

“Tapi ada sebagian tebat dan siring tidak lagi berfungsi secara baik. Misalnya, karena tertimbun tanah longsor dan pendangkalan. Bahkan ada beberapa rumah tidak ada lagi pauk.”

 

Meskipun tata kelola air di Desa Tanjung Kurung Ulu berjalan dengan baik, tapi kedepan terancam kekeringan di musim kemarau. Sebab hutan larangan Bukit Runcing, sebagai sumber air dirambah para pendatang. Foto: Aghi Rahmat Auzan

 

Alumni Universitas Pancasila Jakarta, ini berencana menata kembali keberadaan tebat, siring, dan pauk, sehingga fungsinya menjadi lebih optimal.

“Perubahan iklim memang sudah kita rasakan. Suhu terus panas dan musim selalu ekstrim, baik kemarau dan penghujan. Jadi, desa kami harus siap menghadapinya. Caranya, mengoptimalkan pengetahuan tata kelola air yang diwariskan kepada kami tersebut.”

“Kami juga akan melakukan penanaman pohon di sekitar dusun dan persawahan, serta menjaga hutan larangan kedoy. Kami tampaknya tidak harus bergantung dengan kawasan hutan yang selama ini menjadi pemasok air ke desa kami,” tegasnya.

 

Exit mobile version