Mongabay.co.id

Batu Loncatan ASEAN untuk Ratifikasi Konvensi ILO 188

 

Labuan Bajo menjadi saksi lahirnya Deklarasi ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran. Penerbitan dokumen tersebut menjadi sejarah di Asia Tenggara, karena sebelumnya belum pernah ada bentuk perlindungan kepada awak kapal perikanan (AKP).

Deklarasi tersebut ditetapkan secara bersama oleh negara anggota ASEAN dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 yang digelar awal Mei 2023 di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Lahirnya deklarasi tersebut, menegaskan bahwa profesi AKP menjadi salah satu profesi paling beresiko di Asia Tenggara. Profesi tersebut diakui harus mendapatkan perlindungan penuh dari setiap negara ASEAN, karena banyak warganya yang menjadi AKP.

Tingginya resiko yang harus dihadapi para AKP di ASEAN, mendorong semua negara anggota untuk sama-sama memberikan perhatian dan perlindungan kepada warganya yang memilih untuk bekerja sebagai AKP pada kapal perikanan, di masing-masing negara ataupun negara lain.

Greenpeace Indonesia menyebut kalau keberhasilan tersebut menjadi kemenangan monumental yang patut diperingati banyak pihak. Sebabnya, karena negara-negara di Asia Tenggara yang statusnya masih negara berkembang, menjadi pemasok terbesar AKP ke seluruh dunia.

Dengan kata lain, industri perikanan dunia sebagian besar masih banyak mendatangkan AKP dari negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina. Itu kenapa, deklarasi perlindungan menjadi sangat penting bukan untuk negara ASEAN dan AKP saja, namun juga untuk para aktivis hak pekerja migran.

baca : Membangun Komitmen Banyak Pihak untuk Melindungi AKP dengan Penuh

 

 

 

Senior Oceans Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution menyampaikan bahwa ada dua hal penting dari deklarasi tersebut. Pertama, adalah munculnya pengakuan kontribusi positif dari AKP migran terhadap ekonomi negara di Asia Tenggara.

Melalui deklarasi tersebut, ditegaskan bahwa AKP secara alamiah diakui harus mendapatkan perlindungan hak asasi manusia (HAM) seperti halnya termaktub dalam deklarasi universal HAM yang berlaku di dunia saat ini.

Tak lupa, deklarasi juga menyebut bahwa tugas untuk melindungi dan memenuhi hak-hak para AKP migran di keseluruhan siklus migrasi, menjadi tanggung jawab bersama di antara negara-negara anggota ASEAN.

“Deklarasi ini menjadi sebuah pertanda signifikan meningkatnya kesadaran di antara para pemimpin ASEAN terhadap urgensi masalah ini,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.

“Kami sangat menghargai para pemimpin negara anggota ASEAN yang meningkatkan komitmen mereka untuk mengakhiri praktik kerja paksa dan perdagangan manusia dalam perekrutan dan penempatan AKP migran Asia Tenggara di rantai industri perikanan global,” tambah dia.

Mengingat deklarasi sudah ada, Arifsyah Nasution meminta semua badan yang ada di ASEAN bersama para pemangku kepentingan bisa bersama-sama mengambil langkah lebih taktik dan strategis untuk menerapkan isi dari deklarasi tersebut.

“Jangan biarkan deklarasi menjadi janji manis belaka. Mari pastikan implementasinya efektif untuk masa depan nelayan migran dan perlindungan laut kita,” tegas dia.

baca juga : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Agar deklarasi bisa diterapkan dengan maksimal, maka Greenpeace mendesak para pemimpin ASEAN untuk memperhatikan dua hal. Pertama, dengan melibatkan lebih banyak organisasi masyarakat sipil untuk melaksanakan perlindungan terhadap AKP migran.

Desakan di atas dikemukakan, karena beberapa tahun terakhir sejumlah organisasi masyarakat sipil di Asia Tenggara aktif melakukan kajian dan memberikan pendampingan atau advokasi bagi AKP migran. Karenanya, pemimpin ASEAN harus berkolaborasi dengan organisasi-organisasi tersebut di setiap negara.

Kedua, melalui Deklarasi ASEAN tentang Penempatan dan Perlindungan Nelayan Migran, negara di Asia Tenggara harus bisa sepakat untuk segera melaksanakan ratifikasi Konvensi ILO 188 atau ILO C-188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Ketetapan internasional tersebut adalah norma perlindungan bagi AKP yang dibuat Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) dan disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss. Sampai sekarang, negara satu-satunya di Asia Tenggara yang sudah melaksanakan ratifikasi adalah Thailand.

Arifsyah Nasution mengatakan, ILO C-188 instrumen hukum internasional yang mengatur secara rinci langkah-langkah untuk pelindungan pekerja di sektor perikanan, mulai dari perekrutan hingga penempatan dan pemulangan.

Bersamaan dengan deklarasi tentang penempatan dan perlindungan nelayan migran tersebut, pertemuan akbar juga mengadopsi dua deklarasi lain tentang hal serupa. Pertama, adalah Deklarasi ASEAN tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarga dalam Situasi Krisis.

“Kedua, adalah Deklarasi Pemimpin ASEAN tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia Disebabkan oleh Penyalahgunaan Teknologi,” sebut dia.

baca juga : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Sekelompok AKP Indonesia di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Agensi Perekrutan

Selain desakan untuk ratifikasi Konvensi ILO 188, salah satu yang harus diperhatikan saat perlindungan terhadap AKP migran diterapkan, adalah peninjauan kembali keberadaan agensi perekrutan AKP dari Indonesia untuk ditempatkan pada kapal perikanan di luar negeri.

Lembaga perekrut yang biasa disebut manning agency, selama ini memang diketahui ada yang bertindak curang dan tidak jujur saat melaksanakan perekrutan calon AKP. Akibatnya, tidak hanya ancaman saat berada di kapal perikanan saja, AKP juga menghadapi resiko saat sebelum keberangkatan.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Warsito Eko Putro belum lama ini. Menurut dia, agensi yang melaksanakan perekrutan banyak menggunakan cara kotor demi mendapatkan calon AKP.

Selain menawarkan gaji yang tinggi, agensi juga menawarkan syarat kerja yang mudah, penempatan dan pemberangkatan dalam waktu yang singkat. Tak pelak, banyak anak muda dari berbagai daerah di Provinsi Jawa Tengah yang tergiur dengan sejumlah tawaran dan kemudahan itu.

Kemudian, dia juga mengatakan kalau praktik kotor yang diterapkan agensi, biasanya adalah legalitas status calon AKP yang akan diberangkatkan. Sampai sekarang, masih ada AKP migran dari Jateng yang diberangkatkan oleh agensi secara ilegal.

“Para manning agencies ini merekrut AKP Migran baik secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui media sosial ataupun calo,” jelas dia.

baca juga : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

 

Para ABK nelayan cantrang di Lamongan melakukan bongkar muatan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Satu lagi, Warsito Eko Putro mengingatkan kalau manning agency juga berbahaya karena tidak berbadan hukum yang terdaftar dan tidak diawasi oleh Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, saat terjadi hal-hal yang merugikan AKP Migran di atas kapal, manning agency ilegal tidak akan bertanggung jawab.

“Keberadaan manning agency ilegal juga meningkatkan resiko terjadinya perbudakan dan perdagangan manusia atau terlibat dalam transnational organized crime,” tegas dia.

Sepanjang periode 2019-202, Greenpeace Asia Tenggara menemukan fakta bahwa AKP migran dari Indonesia yang bekerja di kapal perikanan luar negeri, sebanyak 80 persen mengeluh bahwa mereka menjadi korban praktik penipuan.

Mereka yang mengeluh, rerata menyebut ada ketidaksesuaian waktu keberangkatan dan lokasi penempatan kerja, gaji yang tidak dibayarkan oleh pemilik kapal perikanan, dan terjadinya penahanan dokumen milik AKP oleh pemilik kapal perikanan.

Seperti diketahui, profesi AKP adalah profesi berbahaya dan dikenal masuk dalam kategori pekerjaan dirty, dangerous, and difficult (3D) atau pekerjaan kotor, berbahaya, dan sulit. Pengelompokan itu merujuk pada resiko yang sering muncul saat bekerja sebagai AKP migran.

Mereka yang bekerja menjadi AKP migran, harus mempertaruhkan nyawa di atas kapal ikan dan menyeberangi lautan demi mendapatkan rupiah. Kondisi tersebut membuat pekerjaan tersebut rawan mendapatkan praktik eksploitasi dan sering memakan korban jiwa.

 

 

Exit mobile version