Mongabay.co.id

Siapa Pelindung Utama Keanekaragaman Hayati di Laut Indonesia?

 

Indonesia adalah negara dengan kekayaan hayati terbanyak di dunia. Sampai sekarang, banyak pihak yang mengakui bahwa keanekaragaman hayati di laut Indonesia tidak tertandingi oleh negara mana pun. Termasuk, kekayaan terumbu karang, ikan, dan biota laut lain di Nusantara.

Namun, di balik fakta tersebut Indonesia sebenarnya sedang menghadapi tantangan berat bagaimana bisa melakukan pengelolaan semua keanekaragaman hayati di laut dengan tepat dan bijaksana.

Di antara tantangan itu, adalah pengelolaan kawasan konservasi perairan yang saat ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, baik dikelola oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), atau oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Terlebih, Pemerintah juga di saat yang sama menargetkan luas kawasan konservasi perairan bisa mencapai 30 juta hektare pada 2030 mendatang. Capaian itu melengkapi capaian target 20 juta ha yang sudah berhasil dilaksanakan pada 2020 lalu.

Dengan tantangan yang terus meningkat, maka kesadaran Pemerintah untuk senantiasa melibatkan masyarakat di sekitar tempat keanekaragaman hayati laut berada, menjadi sangat penting. Tanpa keterlibatan masyarakat, pengelolaan juga dinilai akan berjalan sangat berat.

Demikian disampaikan Manager Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari (YPL) Rayhan Dudayev pekan lalu di Jakarta. Dia mengatakan, masyarakat pesisir mempunyai peran sangat penting sebagai garda terdepan dalam perlindungan keanekaragaman hayati dan ketahanan pangan.

baca : Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Jika ingin mengelola semua potensi yang ada dengan baik, maka diperlukan kerja sama antara semua pihak terkait. Utamanya, adalah Pemerintah Indonesia dengan masyarakat yang menjadi aktor utama pengelolaan di pesisir.

Itu berarti, diperlukan kerja sama yang baik agar tercipta sinergi antara Pemerintah dengan masyarakat untuk menjaga keanekaragaman hayati yang berkelanjutan di laut. Kerja sama yang apik akan bisa mewujudkan konservasi kolaboratif.

Masyarakat pesisir yang dimaksud, termasuk di dalamnya adalah nelayan kecil dan tradisional yang sebagian besar mendiami kawasan tersebut secara alamiah. Keberadaan mereka, menyumbang 60 persen dari total produksi perikanan secara nasional.

“Atau, lebih dari 50 persen konsumsi protein kita yang berasal dari makanan laut,” ungkap dia.

Menurut Rayhan Dudayev, dalam konteks konservasi yang dibicarakan, masyarakat menjadi entitas paling dekat dengan wilayah konservasi dan memiliki peran sentral untuk bisa berpartisipasi dalam menjaga serta mengelola kawasan secara efektif.

Itu artinya, keterlibatan masyarakat akan mewujudkan konsep konservasi kolaboratif yang secara paralel tidak hanya melindungi ekosistem pesisir secara inklusif dan berkelanjutan saja, namun juga ikut menjaga ketahanan pangan bagi nelayan kecil dan masyarakat Indonesia.

Bagi dia, konsep pengelolaan konservasi kolaboratif memiliki tujuan yang sejalan dengan konsep yang dijalankan Pemerintah pusat dan daerah, yaitu untuk mengoptimalkan potensi sumber daya yang berkelanjutan.

“Yang menjadi pembedanya adalah pelibatan para pihak secara setara untuk melakukan, saling menguatkan dan mendukung pengelolaan konservasi,” terang dia.

baca juga : KKP Tetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan Baru di Maluku

 

Perairan di Pulau Gelasa yang memiliki nilai konservasi tinggi harus dijadikan kawasan konservasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Selain nelayan kecil dan tradisional, penyebutan obyek masyarakat pesisir bisa jadi merujuk kepada komunitas atau kelompok masyarakat yang secara turun temurun sudah menjalankan hukum sendiri. Mereka itu, tidak lain adalah masyarakat hukum adat (MHA).

Keberadaan MHA, sejak lama sudah menjadi bagian dari proses konservasi di kawasan perairan. Sebagai contoh, ada praktik Parimpari di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara yang menjadi model pengelolaan dan konservasi berbasis adat.

Praktik tersebut biasanya dilakukan dengan menutup suatu wilayah tertentu dan/atau melarang penangkapan spesies ikan dan/atau tanaman dalam kurun waktu yang sudah ditentukan melalui musyawarah adat.

“Di Maluku dan Papua, praktik dengan model pengelolaan yang sama biasa disebut sebagai Sasi,” sebut dia.

 

Peran Masyarakat Adat

Dia mengatakan, area laut yang dikelola secara lokal atau locally managed marine areas (LMMA) sudah menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 PUU VIII 2010 yang dinilai menjadi momen perlindungan hak ruang kelola masyarakat pesisir.

Dengan putusan MK tersebut, maka masyarakat pesisir akan mendapatkan kemudahan dalam pengelolaan pesisir dan laut sesuai dengan pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang tertera dalam pasal 20 UU 1 Tahun 2014.

“Itu pasal mengenai tindak afirmasi atau affirmative action,” jelas dia.

baca juga : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal

 

Proses identifikasi terumbu karang oleh DKP Kota Tidore di kawasan konservasi perairan Mare, Foto : Abdul Khalis

 

Kedua, putusan MK menegaskan kembali bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, penguasaan oleh Negara memperhatikan hak individu dan kolektif.

Ketiga, merujuk pada pasal 33 ayat (4) UUD 1945, prinsip demokrasi menyangkut kesetaraan hubungan antara Pemerintah dengan rakyat, termasuk pengelolaan sumber daya alam (SDA) kelautan secara bersama.

Tegasnya, kenapa LMMA menjadi penting untuk dijalankan, adalah tidak lain karena pengelolaan secara lokal sudah menjadi bagian dari sejarah identitas Indonesia dan hukum yang historis. Kemudian, secara tradisional juga sistem pengelolaan perikanan/SDA laut di tingkatan lokal sudah ada sejak dahulu (sebelum kemerdekaan), mirip dengan pengelolaan SDA lain.

Di sisi lain, Rayhan Dudayev mengakui kalau melindungi ekosistem pesisir secara inklusif dapat ditempuh dengan memberikan dasar hukum dan dukungan anggaran bagi pengelolaan pesisir berbasis masyarakat melalui other effective area based conservation measures (OECM).

Kemudian, mengakui pengetahuan lokal sebagai dasar penyusunan kebijakan konservasi, dan memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat untuk menjadi bagian penting dari pengelola kawasan konservasi.

Akan tetapi, sampai sekarang pengaturan mengenai OECM masih belum komprehensif untuk mengintegrasikan kolaborasi masyarakat dalam mencapai target community based development (CBD) atau pendekatan pembangunan berbasis masyarakat.

baca juga : Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Harus Dilakukan Tepat, Seperti Apa?

 

Seorang penyelam diantara keindahan terumbu karang di perairan di perairan,Raja,Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Langkah integrasi OECM sendiri sudah dijabarkan oleh KKP dalam visi kawasan konservasi perairan 2030. Pertama, adalah pengembangan definisi dan kriteria OECM yang jelas sesuai dengan konteks Indonesia. Kedua, identifikasi wilayah-wilayah kelola masyarakat.

Keempat, mengembangkan dan mendiseminasikan acuan standar operasional bagi wilayah kelola masyarakat agar dapat diakui sebagai kontribusi terhadap target. Adapun, integrasi OECM dilakukan melalui rumusan RUU KSDAHE dan diharapkan mampu menjadi katalisator untuk terwujudnya praktik konservasi kolaboratif yang lebih luas di Indonesia.

Ajakan kepada publik dan pengambil kebijakan untuk memberikan ruang yang lebih luas pada pendekatan konservasi yang berbasis hak asasi manusia (HAM), mengusung semangat kolaborasi dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat serta lokal, termasuk di wilayah pesisir, juga disuarakan oleh Working Group ICCAs Indonesia (WGII).

Program Manager WGII Cindy Julianty menyebut kalau pemulihan dan pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati tidak bisa dilakukan sendirian oleh Pemerintah saja. Namun juga, memerlukan keterlibatan banyak pihak.

Itu kenapa, masyarakat harus senantiasa dilibatkan saat mengelola kawasan konservasi di pesisir atau perairan. Konsep tersebut tidak lain adalah ICCA, yaitu indigenous and community conserved area atau kawasan yang dilestarikan oleh masyarakat adat dan komunitas.

“Tentu pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, dibutuhkan kolaborasi dan perubahan pendekatan terhadap tata kelola keanekaragaman hayati di Indonesia,” ungkap dia.

 

Kawasan konservasi perairan (KKP) Gura Ici, kecamatan Kayoa, Halmahera Selatan, Maluku Utara yang terancam oleh maraknya aktivitas destruktif fishing seperti pengeboman ikan. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Peluang terbaik untuk bisa melaksanakan LMMA dan ICCA, adalah melalui penyempurnaan draf rancangan UU tentang konservasi SDA hayati dan ekosistem (RUU KSDAHE). Menurut dia, masih perlu penyempurnaan terkait partisipasi bermakna, pengakuan hak-hak masyarakat dan praktik konservasinya.

Penyempurnaan harus dilakukan, karena seharusnya praktik konservasi lokal bisa berjalan lebih mudah dan berbiaya murah. Kemudian, harus ada penerapan prinsip Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (PADIATAPA) dalam penetapan kawasan konservasi dan akses terhadap pengetahuan tradisional.

“Faktanya, masyarakat adat dan lokal sudah mempraktikkan konservasi sebelum adanya UU Nomor 5 Tahun 1990,” tegas dia menyebut UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya itu.

Komitmen untuk melibatkan masyarakat pesisir dan MHA dalam pengelolaan SDA laut, menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk mendukung implementasi Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dalam COP-15 Convention on Biological Biodiversity yang diadakan Desember 2022.

Cindy Julianty menyebut, kesepakatan Kunming-Montreal Biodiversity Framework telah membawa intensi yang baik dalam melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, sumber daya, dan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh komunitas tersebut.

WGII mencatat, seluas 470.000 ha wilayah yang dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat dan lokal, dengan estimasi potensi luasan mencapai 4,2 juta ha. Angka bisa bertambah, karena angka wilayah adat yang didaftarkan di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sudah seluas 24 juta ha.

Dia menambahkan, berbagai laporan global yang diterbitkan ICCA Consortium menyebutkan kalau masyarakat adat dan lokal melindungi sekitar 21 persen wilayah bumi, dan ada di sekitar 22 persen wilayah dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi.

“Bahkan, 80 persen sisa keanekaragaman hayati berada di wilayah yang mereka kelola. Maka, sudah sepantasnya kontribusi masyarakat adat dan lokal juga diakui dan dihitung sebagai bagian dari upaya konservasi keanekaragaman hayati, dengan mekanisme pengakuan yang lebih layak,” tegas dia.

 

 

Exit mobile version