Mongabay.co.id

Multidimensi Daya Rusak Tambang, Bercermin dari Kasus Lumpur Lapindo

 

 

 

 

“Lawan kolonialisme industri ekstraktif” “Jokowi, stop tipu-tipu transisi energi” “Negara hadir melindungi oligarki.

Sejumlah poster, spanduk dan miniatur lumpur Lapindo dipajang para aktivis lingkungan dan warga korban di pagar Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Jakarta 29 Mei lalu. Aksi itu sebagai peringatan Hari Anti Tambang (Hatam) sekaligus mengenang tragedi semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, 17 tahun silam, tepatnya, pada 29 Mei 2006.

Tragedi ini diperingati organisasi lingkungan dan masyarakat sipil sebagai penanda atas daya rusak industri pertambangan yang tak berhenti menuai bencana sosial ekologis.

Dari catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), tragedi Lapindo menenggelamkan 1.143 hektar lahan di 19 desa dan memaksa 22.214 warga mengungsi. Hingga kini, area semburan panas dari pengeboran tambang milik PT Lapindo Brantas tak terpulihkan.

 

Aksi HATAM di Jakarta, 29 Mei lalu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Herwati, warga penyintas lumpur Lapindo mengatakan, derita warga korban berlangsung hingga kini. Sumber-sumber air mereka tercemar logam berat dan warga setiap hari menghirup gas beracur dari lumpur panas Lapindo.

“Sampai sekarang negara nggak memberikan solusi bagaimana mereka menangani pemulihan ekonomi penduduknya. Yang itu aja,” kata Herwati, dalam peringatan Hatam di Gudskul, Jakarta Selatan, beberapa hari lalu sebelum aksi.

Warga korban Lapindo, kata Herwati, tak punya kepastian hidup mulai dari pendidikan anak-anak, pemulihan ekonomi, tempat tinggal, penyakit dan kesehatan warga, hingga nomor kartu tanda penduduk dihapus pemerintah.

Mereka juga terancam kehilangan hak sipil dan politik karena rencana penghapusan administrasi empat desa yang terdampak semburan lumpur Lapindo.

 

Baca juga: Riset Sebut Lumpur Lapindo Sumbang Emisi Gas Metan Terbesar

Warga tengah melintas membawa pakan ternak di tepian tanggul lumpur Lapindo. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Jamil, Pengurus Nasional Jatam mengatakan bencana sosial ekologis yang muncul dari industri ekstraktif pertambangan, tak hanya terjadi pada kasus Lapindo.

Bencana serupa, katanya, juga terjadi dan makin meluas di berbagai tempat. Tak peduli pemukiman warga, kawasan lindung-konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam catatan Jatam,  ekstraksi nikel atas nama kendaraan listrik, misal, dipromosikan oleh negara sebagai energi bersih dan ramah lingkungan. Praktiknya,  menghancurkan ruang hidup warga di pedesaan.

Sebagaimana bahaya dalam industri panas bumi atau tambang geothermal di Sorik Marapi, Sumatera Utara, di Wae Sano dan Pocok Leok, Flores, di Padaricang, Serang. Penghancuran ruang hidup, katanya,  juga oleh industri batubara di Kalimantan hingga industri nikel di Indonesia bagian timur.

Dalam catatan Jatam ekstraksi nikel atas nama kendaraan listrik misal, dipromosikan sebagai energi bersih dan ramah lingkungan. Praktiknya,  kerusakan lingkungan dan menghancurkan ruang hidup warga.

Batubara juga terus dikeruk dan dipasok ke smelter-smelter di kawasan industri pengolahan nikel, yang disebut memperparah penghancuran ruang di Kalimantan.

Operasi produksi industri nikel di Pulau Obi, Maluku Utara dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara,  yang terhubung dengan korporasi tambang di Indonesia, Harita Group, dikatakan meninggalkan daya rusak panjang dan tak terpulihkan.

“Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggungnya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal.”

 

Aksi HATAM di depan Kantor ESDM Jakarta, 29 Mei lalu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif malah ada yang mendompleng narasi-narasi krisis iklim, krisis yang jelas-jelas tercipta dari operasi industri ekstraktif ini.

Operasi-operasi industri tambang ini, kata Melky, dibungkus dengan jargon transisi energi, ekonomi rendah karbon, teknologi ramah lingkungan, hingga klaim energi bersih dan berkelanjutan.

Bagi Jatam, industri tambang merupakan ekonomi ekstraktif dengan daya rusak tak terpulihkan dan tak berkelanjutan. Namun, katanya, model ekonomi keruk ini disebut masih dominan, bahkan menguat. Hal ini tercermin dari kelahiran berbagai regulasi yang memperkuat kendali oligarki atas negara.

Investasi industri ekstraktif, katanya, jadi pilihan yang dianggap paling mudah oleh negara.

Dengan begitu, katanya, peraturan yang terbit justru menyasar kepentingan industri ekstraktif. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) No.142 tentang Kawasan Industri, kemudian PP No 24 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau dinekal online single submission (OSS).

 

Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]

Dampak paparan zat-zat dari lumpur Lapindo, diduga memicu terjadi gangguan tumbuh kembang anak. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Jamil menyebut,  karpet merah investasi ini juga ditandai dengan revisi Undang-undang No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No.3/2020, maupun UU Cipta Kerja hingga turunannya.

“Infastruktur hukum bias kepentingan seperti ini, kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri, memiskinkan warga dan merusak lingkungan,” katanya

Ujung-ujungnya, pembangunan nasional lebih identik dengan pertumbuhan ekonomi justru makin jauh dari pemerataan.

Konsep pembangunan seperti ini, katanya, hanya melahirkan konglomerasi baru yang terisolasi dari sebagian besar masyarakat serta tak ramah keberlanjutan lingkungan.

Pada Hatam ini, Jatam menyerukan kepada warga di seluruh kepulauan Indonesia terus melawan dan menandingi kolonialisme industri ekstraktif.

Mereka juga menuntut kepada negara menghentikan segala “tipu-tipu narasi trasisi energi” untuk memuluskan ekstraksi tambang dan penghancuran ruang hidup warga.

“Bila mana kawan-kawan tidak berjuang dari titik ini, itu akan terjadi sama kawan-kawan. Tidak mungkin tidak, pasti saja (terjadi) itu,” kata Herwati.

 

Jangan sampai transisi energi ditunggangi kepentingan ekstraktif yang ingin menguras bumi nusantara. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur semburan lumpur Lapindo meninggalkan jejak luka dan trauma pada warga. Mereka,  harus terusir dari kampung dan hidup penuh kerentanan.

Sampai saat ini, katanya,  industri ekstraktif terutama pertambangan paling brutal dan banyak memicu konflik sosial.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, misal, warga bernama Budi Pego yang menyuarakan tolak tambang emas Tumpang Pitu mengalami kriminalisasi dituduh komunis.

Industri ekstraktif menimbulkan daya rusak multidimensi dari kerusakan lingkungan sampai konflik sosial. Industri ekstraktif, juga penyumbang emisi besar karena mengeruk tanah yang merupakan penyimpan karbon dan membabat hutan serta lahan hijau yang jadi pengikat karbon.

Korban keracunan di dalam posko di rumah sakit. Terpaksa dibangun tenda karena korban lebih 80 orang. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Kehancuran Jawa Timur

Jawa Timur merupakan salah satu wilayah di Indonesia, yang banyak industri ekstraktif, terutama pertambangan. Ancaman pertambangan antara lain tercermin dalam RTRW Jatim.

Konsesi pertambangan di Jawa Timur,  hampir tersebar di setiap titik wilayah baik Pesisir Utara Jawa, kawasan hutan dan Pesisir Selatan Jawa.

Wahyu mengatakan, penting menyoroti dan menyuarakan persoalan makin meluasnya industri ekstraktif di provinsi ini, baik legal maupun ilegal.

Dari catatan Akhir Tahun Walhi Jatim 2018,  data Dinas ESDM Jatim menyebutkan, IUP di provinsi ini pada 2012 dari 378 izin jadi 347 izin pada 2016. Pada 2017, naik lagi jadi 379 izin, berkurang satu pada 2018, tinggal 376 IUP.  Jumlah ini bertambah kalau merujuk data wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) sejak 2018, tercatat 268 izin.

“Apalagi jika melihat rancangan Perda Tata Ruang dan Tata Wilayah Jawa Timur, sangat mengkhawatirkan. Kami menemukan potensi peningkatan tambang terutama di kawasan hutan yang difasilitasi melalui perencanaan tata ruang,” katanya, kepada Mongabay, 29 Mei 2023.

Hal itu, katanya, dapat dilihat pada pasal 12 Perda RTRW Jawa Timur, di mana pertambangan masuk kategori kawasan budidaya. Hal ini, katanya,  tentu berbahaya karena tambang adalah kegiatan ekstraksi yang mengeruk saripati bumi. Sedang budidaya secara definisi adalah upaya terencana untuk memelihara dan mengembangbiakkan tanaman atau hewan supaya tetap lestari hingga hasil dapat dimanfaatkan.

Parahnya,  tidak hanya tambang, perumahan, infrastruktur dan pertahanan keamanan masuk kategori ini.

 

 

Tambang Tumpang Pitu, Foto: Walhi Jatim

 

Dalam RTRW juga memperlihatkan, hampir semua wilayah di Jawa Timur adalah kawasan pertambangan mineral, logam, minyak, gas dan panas bumi. Perencanaan ruang ini, katanya,  juga tumpang tindih dengan poin soal pangan dan pengembangan holtikultura.

Selain itu, katanya, penetapan ruang pertambangan juga tumpang tindih dengan rencana kawasan lindung, maupun Kawasan konservasi.

Wahyu contohkan, di Trenggalek, pemerintah mengeluarkan IUP tambang untuk PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), tetapi lokasi berada dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan rakyat dan kawasan lindung karst. Selain itu,  juga beririsan dengan kawasan mata air, permukiman dan pesisir.

“Membaca dalam pola ruang di Jawa Timur yang terbaru IUP SMN tumpang tindih dengan budidaya perikanan, kawasan wisata, kawasan lindung dan konservasi.”

Kondisi tak jauh beda, katanya, dengan IUP pertambangan emas, PT Bumi Sukseindo dan PT Damai Suksesindo di Banyuwangi, juga tumpang tindih. “Parahnya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Meru Betiri.”

Menurut Wahyu, Walhi juga menemukan kecacatan tata ruang di Jawa Timur, dalam perda itu memfasilitasi pertambangan di kawasan hutan, termasuk hutan lindung. Lalu dipertegas lagi dalam poin arahan zonasi pertambangan dan energi. Di sana disebutkan, boleh dilakukan pengembangan kawasan pertambangan bersama penelitian dan pengembangan infrastruktur.

“Tentu ini rancu dan bias hingga membuka kran eksploitasi ekstraktif di semua tempat, tidak terkecuali kawasan lindung.”

Dia menilai, tata ruang Jawa Timur memfasilitasi industri ekstraktif  hingga mengundang kiamat ekologis. Karena semua ruang dikeruk, dihancurkan tanpa melihat keberlanjutan kawasan dan generasi yang akan datang.

“Pada Hari Anti Tambang 2023 ini kami tidak bosan mengingatkan betapa bahaya industri ekstraktif dan menunjukkan bagaimana political will dari pemerintah melalui kebijakan dan regulasi makin beringas dengan memperluas kawasan pertambangan.”

 

Kondisi sungai yang tercemai limbah dari operasi nikel di hulu. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

******

 

********* 

 

 

 

Exit mobile version