Mongabay.co.id

Hari Laut Sedunia: Ancaman Kerusakan Laut Semakin Sulit Dihindari

 

Ancaman industri ekstraktif masih terus menghantui masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh Nusantara. Situasi tersebut terus berlangsung, meski Negara selalu memperingati Hari Laut Sedunia setiap tahun yang jatuh pada tanggal 8 juni.

Setiap momen peringatan Hari Laut Dunia, Negara seharusnya bisa terus meningkatkan perlindungan kepada masyarakat di pesisir dan semua sumber daya alam yang ada di laut. Selain itu, di saat yang sama juga Negara wajib mengurangi beragam resiko lingkungan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai kalau ancaman yang muncul saat ini akan bisa menghancurkan laut dan memperparah dampak dari perubahan iklim. Padahal, laut adalah sumber kehidupan dan penghidupan bagi banyak warga pesisir dan seluruh warga dunia.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin menyebut kalau laut menjadi penentu keseimbangan planet bumi yang berperan sangat sentral bagi keberlangsungan kehidupan. Juga, laut sudah menjadi sumber pangan bagi banyak warga dunia.

Khusus untuk Indonesia, dia memaparkan kalau laut sudah menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan, dan menjadi sumber asupan protein hewani yang berasal dari laut untuk semua penduduk yang jumlahnya sekitar 200 juta orang.

Besarnya potensi kebutuhan asupan protein hewani dari laut, bisa dilihat dari data angka konsumsi ikan yang diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2020. Berdasarkan data tersebut, angkanya sudah mencapai 54,56 kilogram per kapita.

“Angka ini naik signifikan dari tahun 2015 yang tercatat hanya 41,11 kg per kapita. Namun, keberadaan laut terus terancam oleh ekspansi perusahaan multinasional yang memperluas industri ekstraktif, kebijakan nasional yang eksploitatif, dan krisis iklim,” ungkap Parid pekan ini di Jakarta.

baca : Peringati Hari Laut Sedunia: Nasib Segara di Tangan Sang Menteri

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Dia menambahkan fakta lain bahwa lautan dunia sejak lama sudah menjadi objek eksploitasi oleh raksasa industri ekstraktif. Utamanya, perusahaan yang bergerak pada kegiatan eksplorasi minyak dan gas, serta peralatan dan konstruksi laut, khususnya kapal-kapal yang melakukan penambangan pasir laut.

Bagi Walhi, para pemeran utama tersebut menjadi pihak paling bersalah karena terbukti sudah menguras dan menghancurkan kelestarian laut, juga memperparah krisis iklim. Nama-nama yang terlibat di antaranya adalah Shell Royal Dutch yang bermarkas di Belanda, Exxon Mobil yang bermarkas di Amerika Serikat, dan Boskalis yang bermarkas di Belanda.

Apa yang terjadi di dunia, kemudian merambat ke Indonesia. Hal itu terjadi, karena ada dukungan penuh dari Negara melalui kebijakan nasional yang disahkan melalui peraturan perundang-undangan. Akibatnya, kerusakan laut diprediksi akan semakin cepat terjadi di Tanah Air.

Parid menyebutkan, kebijakan nasional tersebut muncul dalam bentuk Undang-Undang (UU) tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut.

“Itu merupakan peraturan yang diproduksi oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI, yang akan menghancurkan laut,” tegasnya.

Salah satu contoh bentuk rencana penghancuran laut di Indonesia, kata dia adalah lahirnya PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Itu menjadi contoh sempurna, karena melegalkan pertambangan pasir laut dan bisa mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil serta desa-desa pesisir di seluruh Indonesia.

Walhi memiliki catatan tentang pertambangan pasir laut berdasarkan studi yang dilaksanakan pada 2021. Di antaranya, aktivitas tambang pasir menyebabkan air laut menjadi keruh; ketinggian air dan arus ombak berubah drastis jika tambang pasir laut dilaksanakan di sebuah perairan; perubahan arus ombak memicu kecelakaan sesama nelayan dan menenggelamkan perahu.

Kemudian, aktivitas tambang pasir laut merusak terumbu karang; memicu ketakutan berlebih pada nelayan karena abrasi yang dipicu oleh aktivitas tambang pasir laut; banyaknya nelayan beserta keluarganya yang memilih untuk keluar dari kampung karena kerusakan wilayah laut akibat tambang pasir laut.

perlu dibaca : Jokowi Buka Keran Ekspor Tambang Pasir Laut Setelah 20 Tahun Dilarang

 

Aktivitas penambangan pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis, Riau. Foto : independensi.com

 

Kerusakan ekosistem laut akibat tambang pasir laut memicu kehilangan atau penurunan penghasilan pencaharian para nelayan. Itu mengakibatkan beban para perempuan yang berstatus sebagai istri dari nelayan menjadi naik dan memicu banyak kesulitan lain seperti anak harus putus sekolah.

“Di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, pertambangan pasir laut telah terbukti menenggelamkan sekitar 6 pulau kecil. Sementara itu, di Lombok Timur, NTB, tambang pasir laut telah memaksa nelayan setempat untuk melaut sampai ke perairan Sumba, NTT,” jelas dia.

 

Daya Dukung Ekosistem

Direktur Walhi Jakarta Suci Fitriah Tanjung membeberkan fakta lain bahwa laut saat ini terus mengalami peningkatan ancaman krisis iklim yang ditandai dengan naiknya temperatur global. Kondisi itu diyakini akan memaksa terjadinya percepatan pemanasan air laut.

Jika terus dibiarkan kondisi tersebut, maka laut akan berdampak buruk karena kehilangan oksigen dan kemampuan untuk menyerap karbon. Itu berarti, dalam waktu yang panjang itu akan memicu laut kehilangan kemampuan untuk memproduksi pangan dari sumber daya ikan akibat terumbu karang mengalami pemutihan.

Fenomena tersebut bisa terjadi karena dampak perubahan iklim semakin cepat terjadi di laut. Kondisi itu akan menurunkan kemampuan terumbu karang sebagai rumah dan habitat bagi ikan beserta biota laut lainnya.

“Situasi ini akan memicu terjadinya krisis pangan laut di Indonesia,” terang dia.

Hal lain yang juga patut untuk dicermati, adalah perubahan iklim memicu kenaikan air laut yang mengakibatkan banyak pulau kecil tenggelam. Itu berarti, meningkatkan resiko masyarakat pesisir kehilangan tempat tinggal.

Untuk itu, Walhi mendesak Pemerintah Indonesia untuk bergerak menyelamatkan laut dari ancaman-ancaman di atas. Juga, mendesak kepada negara-negara utara di dunia untuk mengevaluasi dan menghentikan investasi yang akan memperparah kerusakan di lautan dunia.

Khusus untuk Pemerintah Indonesia, mereka harus berani segera mengevaluasi dan mencabut beragam peraturan perundangan, serta mencabut kebijakan yang akan menghancurkan kelestarian laut.

“Reklamasi, tambang pasir laut, serta tambang migas, merupakan tiga contoh yang relevan disebut dalam konteks ini,” pungkasnya.

baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

 

Proyek pembangunan pada pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta pada Februari 2016. Foto : Andika Wahyu/Antara Foto/Geotimes

 

Salah satu pulau kecil yang terdampak perubahan iklim, adalah pulau Pari yang masuk wilayah Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) Mustaghfirin menjelaskan kalau pulau tersebut terus mendapatkan dampak buruk akibat krisis iklim. Paling kentara, adalah kenaikan muka air laut yang memicu banjir rob.

“Pulau Pari telah tenggelam seluas 11 persen. Kami sangat mengkhawatirkan nasib masa depan generasi muda di Pulau Pari jika banjir rob tidak dihentikan segera,” ungkap dia.

Tak hanya mengancam tempat tinggal warga lokal, banjir rob juga mengakibatkan banyak sumber air milik warga sudah terintrusi air laut. Kondisi itu memaksa warga harus mengeluarkan dana ekstra untuk membeli air bersih yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.

Divisi Advokasi Walhi Jakarta Syahroni Fadhil pada kesempatan sebelumnya mengucapkan kalau krisis iklim yang memicu tujuh pulau kecil di Kepulauan Seribu tenggelam, semakin diperparah dengan adanya aktivitas reklamasi di sekitar pulau Pari, tepatnya di pulau Tengah.

Menurut dia, reklamasi memicu terjadinya penyempitan akses keluar masuk kapal nelayan lokal untuk pergi melaut. Sebabnya, karena reklamasi merampas sebagian arus laut yang digunakan nelayan tradisional pulau Pari.

“Kesulitan nelayan terus bertambah dengan rusaknya ekosistem pulau kecil akibat reklamasi di Pulau Tengah,” tegas dia.

Terjadinya kerusakan ekosistem perairan akibat reklamasi pulau Tengah, mengindikasikan kemungkinan adanya tindak kejahatan lingkungan karena mengorbankan ekosistem eksisting, seperti padang lamun. Padahal, ekosistem tersebut memiliki nilai penting bagi kelangsungan lingkungan hidup dan masyarakat sekitar.

baca juga : Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim

 

Kawasan mangrove di sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

“Dalam Undang-undang No.1 Tahun 2014 (tentang Perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil), perusakan padang lamun merupakan tindak pidana,” kata Divisi Kampanye Walhi Jakarta Muhammad Aminullah.

Kerusakan ekosistem tersebut, dinilai Walhi Jakarta sebagai bentuk kelalaian Pemerintah dalam pemberian izin pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah dengan mudah memberikan izin lokasi dan pengelolaan tanpa memperhatikan dampak buruk, baik bagi lingkungan maupun kehidupan masyarakat.

Diketahui, pada 2022 Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) merilis laporan bertajuk The State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA) yang menyebutkan bahwa laut di seluruh dunia sudah menghasilkan ikan sebanyak 177,8 juta ton.

Rinciannya, sebanyak 90,3 juta ton dihasilkan dari subsektor perikanan tangkap, dan sebanyak 33,1 juta ton dihasilkan dari budi daya perikanan laut. Laporan tersebut juga menyebut bahwa sebanyak 7,8 miliar manusia sudah mengonsumsi ikan sebanyak 157,4 juta ton.

 

 

Exit mobile version