Mongabay.co.id

PLTA Batang Toru: Bencana Mulai Terjadi, Bagaimana ke Depan?

 

 

 

 

 

Dentuman ledakan bom bawah tanah terdengar sahut-menyahut di proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air Batang Toru yang sedang berlangsung. Lokasi pembangunan proyek listrik tenaga air ini banyak menuai kontroversi. Sejumlah pakar geofisika di Indonesia mengingatkan bahaya besar kalau bendungan dibangun di lokasi rawan gempa.

Pembangkit ini dibangun di dalam ekosistem Batang Toru dengan kekayaan biodiversitas. Satwa terancam punah yang populasinya hanya diperkirakan 800 individu saja dan sudah masuk dalam status terancam punah ini keluar dari kawasan akibat rumahnya yang terus dihancurkan.

Soal bencana, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga menyampaikan peringatan bahaya bangunan yang berdiri di atas patahan gempa sesar Toru ini. Peringatan disampaikan BMKG ketika gempa magnitudo 5,8 di Kabupaten Tapanuli Utara akhir tahun lalu hingga satu orang meninggal dunia, puluhan luka-luka.

Daryono, Plt Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG mengatakan,  catatan sejarah, baik segmen Renun maupun segmen Toru intensitas kegempaan pendek terjadi dan kekuatan cukup besar.

Pada 1916,  gempa dengan magnitudo 6,8, disusul pada 1921 terjadi gempa magnitudo 7,0. Lanjut gempa pada 1984 dengan magnitudo 6,4, pada 1987 dengan magnitudo 6,6. Lalu, pada 14 Juni 2011 gempa magnitudo 5,5, dengan 165 rumah hancur dan 50 orang jadi korban.

“Gempa tidak berbahaya, ia tidak membunuh, yang menyebabkan timbul korban jiwa karena bangunan lemah hingga perlu mitigasi. Membangun bangunan tahan gempa penting dilakukan, ” kata Daryono.

Pada 12 April 2020, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral melaporkan ada gerakan tanah di Wilayah I Batang Toru yang dipicu ledakan. Getaran tanah ini kemudian menimbulkan longsor.

 

Baca juga: Proyek Bangun PLTA Batang Toru Jalan, Rumah Warga Rusak Bahkan Roboh

Terowongan bawah tanah yang dibangun oleh PT Dahana di Batang Toru untuk kepentingan PLTA. Foto: Website Kementerian BUMN

 

Berdasarkan laporan potensi gerakan tanah yang dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), lokasi proyek berada di zona rawan gerakan tanah sesar Sumatera.

Terlebih, katanya,  daerah itu berkontur perbukitan yang memiliki kemiringan lereng bervariasi. Mulai dari agak curam, curam dan sangat curam.

Dalam laporan 6 Juni 2021, Badan Geologi menyampaikan ada gerakan tanah di Desa Marancar Godang, Kecamatan Marancar. Lokasi gerakan tanah terjadi di proyek PLTA Batang Toru.

Dampaknya, longsor yang menutupi jalan dan menimbun rumah, beserta warung. Material longsoran juga menimbun aliran Sungai Batang Toru. Panjang aliran longsoran dinyatakan mencapai 320 meter dengan lebar 95 meter, sedangkan ketinggian longsoran mencapai 250 meter.

Dari bencana itu, 12 korban hilang dengan 10 orang ditemukan meninggal, berdasarkan data dari Badan Geologi.

Dalam laporan itu, Badan Geologi juga menilai ada beberapa penyebab tanah longsor, seperti pemotongan lereng atas yang memicu infiltrasi air pada bidang kotak dan retakan batuan. Juga, drainase air sepanjang jalur jalan tidak berfungsi dengan baik yang mengakibatkan air bergerak ke arah lereng terjal. Juga, ada pelapukan tanah mengakibatkan peluruhan dan pelepasan material.

Pada September 2018, Desa Hapesong Baru, terendam banjir karena luapan Sungai Batang Toru. Aliran sungai ini hanya berjarak sekitar 300 meter dari kampung. Banjir ini mengakibatkan sawah terendam dan kolam ikan warga terhempas.

Teuku Abdullah Sani, pakar geofisika dari Institut Teknologi Bandung mengatakan, hasil penelitian dan kajian para ahli geologi bukan saja di Indonesia tetapi dunia,  ekosistem Batang Toru masuk dalam kategori zona merah gempa. Ia  berada di patahan sesar Toru. Proyek pembangkit listrik tenaga air Batang Toru pun berada di zona merah.

Dari kajian di lokasi dekat bendungan PLTA Batang Toru ditemukan patahan, jarak sangat dekat, sekitar lima kilometer.  Dia bilang, perlu dicermati pengaruh patahan terhadap vibrasi bendungan itu. Berarti, bagaimana keamanan maksimal harus diterapkan dengan sangat cermat.

 

Baca juga: Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga

 

 

Saat ini, katanya,  lempengan gempa di sejumlah wilayah di Indonesia terus bergerak. Berarti, kalau proyek ini terus jalan tanpa penelitian mendalam, tak bisa dibayangkan dampak bisa sangat berbahaya disebabkan lokasi berada di zona merah.

Sekarang, katanya,  tektonik gempa dimana-mana terjadi. Gempa besar setiap saat bisa datang di lokasi pembangunan bendungan PLTA Barang Toru. Apalagi, katanya,  bendungan sudah selesai dan gempa terjadi dan merusak, maka dapat menimbulkan masalah besar bagi lingkungan, masyarakat, sosial dan dampak lain.

Gempa yang pernah terjadi di Batang Toru, katanya, yakni, skala 7,6 SR dan 6,9 SR. “Ini cukup besar. Artinya, wilayah sekitar 5 hingga 15 kilometer bisa berpengaruh. Untuk lokasi bendungan PLTA Batang Toru jarak cukup dekat yaitu sejauh lima kilometer dan patahan, itu sangat berbahaya,” katanya.

Dia bilang, perhitungan parameter dinamik dari bebatuan harus detail. Kajian  geologi dan geofisikanya,  harus ada detail mengingat Indonesia adalah negara gempa. Semua itu, katanya, demi keamanan bendungan dan kelanjutan investasi.

“Mereka sudah hitung tetapi masih terlalu regional dan tidak sampai mendetail.”

Menurut dia, dalam ekosistem Batang Toru banyak ditemukan bukit-bukit terjal cukup tinggi, salah satu faktor penyebabnya karena ada patahan pada zaman dahulu.

Patahan Toru dan Angkola,  sambung menyambung sampai ke Danau Toba sebagai patahan besar Sumatera. “Ini patahan aktif yang bergerak terus-menerus menyebabkan tanah aktif di ekosistem Batang Toru bergeser dan menjadi melemah.”

Untuk pembangunan bendungan di wilayah rawan bencana, katanya, kajian harus lakukan harus dari desain, pelaksanaan konstruksi, sampai pelaksanaan pengisian awal.

Pemerintah, katanya, harus infeksi ke proyek PLTA Batang Toru untuk melihat yang sebenarnya terjadi. “Bukan berarti tidak bisa pembangunan di wilayah rawan bencana, semua bisa dilakukan tetapi harus ketat agar tidak ada masalah ke depan.”

 

Alat berat menggali longsoran untuk mencari warga yang tertimbun. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Pada pertemuan alumni Institut Teknologi Bandung di Medan akhir 2018 dari perusahaan hadir memaparkan proses pembangunan bendungan yang jadi penampung air bahan baku utama untuk pembangkit listrik itu.

Didiek Djawardi, Tenaga Ahli PT PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) kala itu mengatakan, pembangunan bendungan PLTA di Batang toru sudah mengikuti ketentuan ICOLD 2016.

Untuk bendungan ini, katanya, kerawanan bencana alamnya, air dan gempa karena lokasi berada diantara segmen aktif sesar Sumatera. Ada dua jenis gempa mungkin terjadi, yakni, yang diketahui sumber dan yang tak diketahui sumbernya.

Untuk itu, katanya, ditetapkan bendungan tak dibangun di atas sesar dan sudah studi kegempaan yang menghasilkan patokan kekuatan bendungan, dan jarak terdekat gempa yang dapat berdampak pada bendungan. Perusahaan menjamin bendungan tak runtuh hingga tidak menyiapkan analisa risiko bencana andai bendungan jebol.

“Kita membangun bendungan tidak diatas sesar gempa hingga yang dilakukan adalah membuat manajemen risiko pada bendungan agar tak runtuh akibat gempa yang berada di dekat bendungan yang akan dibangun.”

Potensi gempa di Batang Toru diakuinya memang ada disana. Namun pihaknya tidak bisa mendisain berdasarkan potensi, tetapi lebih secara spesifik penelitian dilokasi tersebut, supaya bisa mendapatkan benar-benar kondisi hazad dari gempa atau bahaya gempa ke bendungan. Sehingga dilakukan survey kegempaan dan ini mandatori yang dilakukan sebelum membuat suatu bendungan. Analisa berdasarkan studi kegempaan sudah dilakukan.

“Studi geologi sudah kami lakukan menggunakan peta tiga dimensi, untuk mengetahui sesar-sesar yang menganggu bendungan. Pembangunan bendungan diatas sesar lebih banyak mudarat daripada keuntungan. Sesar tidak dapat diprediksi. Kalau ada bangunan, akan menyebabkan keruntuhan,” kata Didiek.

Jadi, katanya, yang dibuat dalam konstruksi bendungan PLTA Batang Toru adalah struktur yang bisa menahan gempa hingga menaikkan kekuatan struktur terhadap gempa.

 

Bukit dengan kemiringan di atas 45 derajat rawan longsor di ekosistem Batang Toru, Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dalam laporan Mongabay sebelumnya menuliskan, PLTA ini dibangun NSHE bekerja sama dengan Sinohydro, sebuah perusahaan konstruksi asal Tiongkok, juga didukung pendanaan dari Bank of China. Bank ini kemudian mengumumkan peninjauan setelah menerima sejumlah keberatan dari para pegiat lingkungan. Pada 2019, Bank of China tak jadi mendanai proyek ini.

Adapun kepemilihan saham NSHE sebesar 52,82% dari PT Dharma Hydro Nusantara, sekitar 25% PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dan 22,18% Fareast Green Energy Pte Ltd.

Dalam dokumen NSHE dari Direktorat Jenderal AHU, Kementerian Hukum dan HAM, per 10 November lalu, saham mayoritas tetap sama di tangan Dharma Hydro tetapi komisaris utama Zhang Kaihong, warga Tiongkok.

Dalam laporan  tahunan 2021SDIC Power Holdings. Ltd, perusahaan negara Tiongkok,  menguasai kepemilikan saham di pembangkit air di Batang Toru ini. Dalam data  Ditjen AHU, yang menyebutkan kalau Zhang Kaihong sebagai komosioner utama PT Dharma Hydro, juga merupakan  Wakil Presiden  SDIC Power Holdings. Ltd.

Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi Mei lalu mengatakan, proyek PLTA ini memang banyak masalah. Selain mengancam kelangsungan ekosistem Batang Toru termasuk orangutan Tapanuli yang terancam punah, lokasi pembangunan juga rawan bencana.

Kondisi jadi lebih buruk kalau ledakan dan dentuman diduga berdampak dengan rumah warga yang tak jauh dari proyek.

“Maka kami mempertanyakan kepentingan di balik pembangunan PLTA Batang Toru ini untuk siapa? Jangan-jangan untuk menopang industri-industri di sana,” kata Andi.

Klaim energi ramah lingkungan, katanya, tak bisa jadi dalih karena proyek ini nyata-nyata menimbulkan kerusakan masif pada lingkungan. “Juga mengancam kelangsungan ekosistem serta biodiversitas dan warga.”

 

Air Sungai Batang Toru sumber utama masyarakat lokal disana buat pertanian. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version