Mongabay.co.id

Menggugat Hak Hidup Macan Tutul Jawa di Hutan Jabar

 

Sudah seharusnya Hari Lingkungan Hidup digunakan seefektif mungkin untuk mengingatkan nasib Bumi. Setidaknya dengan begitu manusia mampu menakar tindakannya. Paling tidak mampu berbagi ruang antara wilayah pemanfaatan dengan kawasan konservasi bagi makhluk hidup lainnya.

Seperti Wahyu yang menggugat hak hidup kepada manusia. Menghabiskan 6 tahun di Pusat Perawatan Satwa (PPS) Cikananga di penghujung Mei lalu, harapan macan tutul jawa (Panthera pardus melas) itu akhirnya bersemi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Sukabumi, Jawa Barat.

Macan tutul jantan itu ditangkap sejak umur 11 bulan di wilayah Kabupaten Cianjur. Nasibnya, murung. Dimana seharusnya umur segitu masih disusui induknya. Atau mungkin mulai berburu mangsa pertamanya.

Entahlah. Yang jelas, penguasa terakhir pegunungan itu kerap dicap sebagai biang masalah karena dua hal: turun gunung dan memangsa ternak di perbatasan kampung pinggir hutan.

Kekeliruan itu tampaknya tidak didukung literasi yang cukup. Belum banyak diketahui mengenai pola hidup macan tutul jawa.

baca : Macan Tutul Jawa, Sang “Penjaga” Hutan yang Semakin Terdesak Hidupnya

 

Macan tutul Jawa. Foto: Vachovec1/ Wikipedia

 

Dalam buku Hidup Berdampingan dalam Harmoni, Manusia dan Macan Tutul Jawa: Sebuah Pendekatan Mitigasi dan Penanganan Konflik karya Dr. Hendra Gunawan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, dijelaskan macan tutul merupakan spesies yang sangat mudah beradaptasi. Di alam, mereka sangat tergantung pada tegakan pohon karena macan tutul adalah satwa arboreal yang berarti mereka makan, tidur, kawin dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton dalam Gunawan, 2010). Satwa yang dimangsa acapkali lebih kecil dari ukuran tubuh mereka. Layaknya kucing, mereka kadang-kadang oportunis.

Hendra dalam laman Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (JPHKA) KLHK menambahkan salah satu kelebihan macan tutul jawa dari harimau jawa (Panthera tigris sondaica) adalah toleransi terhadap berbagai tipe habitat. Setiap daerah jelajah macan tutul meliputi sedikitnya satu badan air. Sehingga bisa dijadikan indikator ketersedian sumber mata air. Sebab mereka lebih memilih tinggal di atas 1.000 meter di atas permukaan laut.

Maka, ancaman paling nyata dihadapi macan tutul yakni terisolasi di habitat akibat fragmentasi hutan. Karena tiap individu macan tutul punya teritori dengan daya jelajah cukup luas.

Hidup mereka soliter. Hanya berkelompok selama ikatan perkawinan. Sepekan hingga 10 hari sesudah ritual kawin, hidup menyendiri sebagai pengembara.

Sistem perkawinan macan tutul adalah promiscuity. Dan tidak ada pula musim kawin khusus bagi mereka. Baik jantan maupun betina bisa kawin dengan lebih dari satu pasangan.

Betina menarik perhatian jantan dengan bersuara. Mereka juga meninggalkan tanda berupa bau aroma dari hormon feromon. Betina yang melewati “batas” teritorial si jantan akan diikuti hingga mendapatkan hak kawin.

baca juga : Bisakah Manusia Berdamai dengan Macan Tutul Jawa?

 

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) yang dirawat di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat. Foto : Dok PPS Cikananga

 

Biasanya, macan tutul betina akan matang seksual pada umur rata-rata 3 tahun. Mereka menghasilkan dua sampai empat anak tiap kelahiran dengan masa kehamilan 3-4 bulan. Rasio kelamin setiap kelahiran anakan adalah satu banding satu.

Macan tutul betina memilih teritori yang cocok untuk bersarang. Sarang sangat penting bagi kelangsungan hidup anak-anaknya. Betina akan menyembunyikan anaknya selama delapan minggu. Selama itu, betina mampu membesarkan dan mengajarkan anaknya berburu tanpa bantuan dan perlindungan sang jantan.

“Ketika dititiprawatkan kepada kami sepertinya Wahyu memang belum disapih atau belum lepas susu,” kata Kepala KPPS Cikananga Resit Sozer saat dihubungi via telepon beberapa waktu lalu.

Kini Wahyu menginjak 7 tahun. Usia yang seharusnya sudah punya teritori dan mengawini dua atau tiga betina dewasa.

Menurut Resit, salah satu faktor lamanya Wahyu direhabilitasi karena terkendala data persebaran populasi di kantong habitat di Jawa. “Itu mungkin yang (kendala) pertama karena yang punya kewenangan menentukan lokasi (pelepasliaran) ada di pemerintah,” katanya.

Wahyu adalah dua diantara 12 macan tutul yang ‘kalah’ akibat konflik yang dapat dirilis. Sebelumnya, ada Rasi, betina umur 2.5 tahun yang kini sudah menempati habitat baru di TN Gunung Ciremai.

Senasib dengan Wahyu, Rasi dievakuasi sejak umur dibawah satu tahun. Tapi, Rasi lebih mujur. Hanya menghabiskan waktu sekitar 2 tahun di Cikananga.

“Sebetulnya untuk rehabilitasi anak macan tutul korban konflik idealnya membutuhkan 1-2 tahun. Menyesuaikan dengan umur dia bisa survive di alam,” tutur Resit. “Justru semakin lama, semakin tidak bagus. Jika salah urus bisa hilang insting liarnya.”

baca juga :  Akhir Cerita Si Macan Tutul Jawa di Kandang Peraga

 

Kandang karnivora dan habituasi Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat. Memiliki luas 600 meter persegi kandang tersebut dibangun khusus untuk mengevakuasi sekaligus rehabilitasi. Foto : Dok PPS Cikananga

 

Konservasi macan tutul memang belum selengkap orang utan di Kalimantan. Dimana terdapat fasilitas penyelamatan dan rehabilitasi yang siap menampung ketika terjadi konflik.

Tapi Resit bilang, PPS Cikananga sudah dijadikan rujukan. Dua kandang habituasi dan kandang karnivora dengan luas 600 meter persegi cukup menunjukan keseriusan sebagai lembaga rehabilitasi.

“Kami bangun dengan dana sekitar Rp 600 juta. Kandang ini juga dipakai Rasi untuk habituasi di alam, jadi bisa mobile,” tutur Resit. Penggunaan teknologi pun dilakukan, “Kami juga pakai satellite collar dari Kanada seharga Rp76 juta untuk memantau pergerakan macan selama 6 bulan pasca lepas liar. Itu belum kamera yang sudah kami jadi sebagai SOP dalam setiap liris macan tutul kedepannya.”

Resit mengakui, rehabilitasi macan tutul tidaklah murah. Hitungan itu belum termasuk biaya pakan alami yang mencapai Rp3 juta per individu per bulan. Sejak 2001, PPS Cikananga sudah merawat 12 individu macan tutul. Sepuluh diantaranya berakhir di kandang peraga tersebar di beberapa lembaga ex-situ. Terakhir dipindahkan ke Gembira Loka Yogyakarta karena terlalu jinak.

“Teman-teman di ex-situ sedang berupa melakukan inseminasi,” imbuhnya. Kini dari 300 satwa yang dirawat di PPS Cikananga sudah tak ada lagi macan tutul jawa.

perlu dibaca : Ironi Kematian Macan Tutul Jawa di Kampung Sudajaya

 

Macan tutul Jawa. Foto: Vachovec1/ Wikipedia

 

Minimnya riset

Ihwal rujukan utama konservasi satwa endemik jawa itu sebenarnya tercantum pada dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa 2016-2026. Namun, dalam dokumen itu tidak disebutkan secara eksplisit mengenai ‘suaka’ yang menjadi rujukan bilamana terjadi konflik. Instrumen tersebut hanya mengejawantahkan perbaikan data terutama soal survei habitat dan populasi. Poin yang ditekankan selanjutnya adalah membikin protokol mitigasi konflik.

Di dokumen itu juga ditegaskan bahwa gagasan pokok penyelamatan macan tutul jawa diakui sebagai ‘kepentingan bersama’. Agaknya, pernyataan ini perlu terus diuji. Lantaran kajian dan riset ihwal kucing besar itu masih minim.

Dari kacamata Pengamat Kucing Liar, Erwin Wilianto, data tersedia baru sebatas identifikasi di kantong populasi yang tersebar di UPT Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kebanyakan dari mereka belum mengetahui data populasi dan persebaran karnivora terakhir itu secara komprehensif dan berkala di wilayah kerjanya.

“Sependek pengetahuan saya, TNGHS sudah punya data dan persebaran populasi di wilayah kerjanya sehingga mudah bagi mereka menentukan titik lepas liar. Untuk UPT lain saya kurang begitu tahu,” katanya. Di satu sisi Erwin memaklumi itu, “Tapi bisa jadi penyebabnya memang tidak ada riset atau naskah akademik sebagai rujukannya.”

Padahal ketiadaan informasi populasi dan persebarannya kerap menghambatkan pelepasliaran. Buktinya, Wahyu mesti menunggu 6 tahun.

baca juga : Penyelamatan Macan Tutul Jawa Masih Terkendala Data

 

Pemerintah Indonesia sejak 1970 telah melindungi macan tutul jawa yang diperkuat dengan dengan UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 Tahun 1999. Foto: Conservation International/Perhutani/YOJ

 

Erwin tak menampik polemik itu. Sampai saat ini data dan informasi tentang bioekologi macan tutul jawa masih kurang. Bahkan wilayah jelajahnya pun selama beberapa dekade terakhir tidak termonitor.

Tahun 2018, Erwin ikut serta dalam konsorsium menyusun meta data populasi macan tutul jawa. Hasilnya, data populasi cenderung lebih akurat. “Secara data ada perbaikan sekaligus perubahan. Tadinya kondisinya critically endangered (kritis), sekarang endangered (terancam),” kata Erwin.

Dia mencontohkan kasus kekosongan habitat di Ciremai. Faktanya selama pengamatan pasca lepas liar Rasi, ditemukan dua individu macan tutul. Artinya, ada populasi dan persebaran satwa yang tidak termonitoring.

Peneliti Ahli Utama Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hendra Gunawan menyampaikan hal serupa. Konservasi karnivora endemik jawa hari ini masih minim data dan riset.

Hendra menyoroti faktor non teknis yang kerap menjadi kendala dalam pelepasliaran. Sebetulnya, prosedur sebelum melakukan translokasi maupun reintroduksi dibutuhkan ketersediaan dan kesiapan habitat. Apalagi jika yang dirilis itu merupakan jantan. Butuh assessment yang terverifikasi. Karena prinsip melepasliarkan adalah tidak menciptakan masalah baru.

“Karena jangan sampai macan jantan yang butuh teritori ini mendapat penolakan oleh jantan yang sudah ada,” ungkap Hendra. Perhitungan daya dukung dan daya tampung sangat menentukan konflik tidak berulang, “Jadi harus dilandasi riset yang valid.”

baca juga : Hendra Gunawan, Penjaga Asa Keberadaan Macan Tutul Jawa

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Hendra mengingatkan juga faktor sosial. Katanya, tidak jarang setelah kajian kelayakan habitat lepas liar, ada penolakan dari masyarakat. Mereka khawatir akan menjadi ancaman bagi mereka dan ternaknya. Tak jarang masalah ini memunculkan ketidaksepahaman antar lembaga atau penggiat terkait.

Menjadi ironi ketika seiring waktu, tanpa sadar, penyelamatan keanekaragaman hayati tentang penyelamatan individu suatu spesies. Mereka tak lagi dipandang bagian dari ekosistem atau jejaring kehidupan.

Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, antara tahun 2010-2011 bahwa hutan di Jabar tidak lebih dari 816.603 hektare atau 18 persen dari 4,4 juta hektare total luas wilayah Jabar. Lantas bagaimana nasib hutan jika tanpa penunggunya seperti macan tutul jawa? Barangkali nasib manusia bakal ketiban akibatnya jika tak mampu berbagi ruang hidup dengan penguasa terakhir hutan Jawa.

 

Exit mobile version