Mongabay.co.id

Saatnya Indonesia Punya UU Keadilan Iklim

 

 

 

 

Dampak perubahan iklim makin nyata, makin meluas di seluruh dunia termasuk Indonesia. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim pun mendesak Pemerintah Indonesia segera menyusun Undang-undang Keadilan Iklim. Kompleksitas isu iklim yang bersifat lintas sectoral (cross-cutting) membuat pembentukan legislasi khusus isu iklim jadi penting.

“Undang-undang Keadilan Iklim, sudah merdesak karena kondisi lingkungan makin parah,” kata Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional dalam konferensi pers Mei lalu.

Kondisi pesisir dan pulau-pulau kecil, katanya, makin terdesak dan mengkhawatirkan seperti pesisir Jakarta, dan daerah lain dengan wilayah terancam. Selain itu, katanya, ada kesenjangan dari kebijakan yang belum mampu mengatasi krisis iklim.

Berdasarkan survei, Indonesia berada dalam daftar 10 besar negara yang terdampak krisis iklim, selain Tiongkok di peringkat pertama, menyusul India, Bangladesh, Amerika Serikat, Filipina dan negara-negara Asia.

Sebenarnya, Indonesia sudah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait iklim, namun dinilai belum ada aturan payung yang komprehensif mengatur keadilan iklim multi sektor dan berskala luas.

Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL) mengatakan, ada tiga alasan krusial kenapa Indonesia memerlukan legislasi atau kerangka hukum terkait keadilan iklim.

Pertama, legislasi khusus keadilan iklim disebut menyediakan desain besar dan jangka panjang bagi instrumen atau kebijakan untuk upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia.

Pasca Perjanjian Paris, katanya,  belum ada produk legislasi yang mengatur dan mengadopsi ketentuan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan tujuan jangka panjang. Kebijakan yang bisa jadi payung hukum implementasi nationally determined contribution maupun long term strategy.

Kedua, legislasi ini merupakan instrumen dapat menangani perubahan iklim yang bersifat poly-centric secara komprehensif mengingat permasalahan perubahan iklim multi aktor dan multi segi.

Legislasi keadilan iklim, katanya, dapat menjangkau dan mendorong harmonisasi kebijakan dan koordinasi antar pihak. Selain itu, legislasi ini dapat memperkuat peran dan fungsi perlemen dalam pengendalian krisis iklim.

Ketiga, legislasi ini merupakan instrumen yang tepat untuk menyediakan mekanisme kepatuhan hukum.

 

Tanah longsor di Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, ada sejumlah regulasi yang memuat terkait perubahan iklim. Seperti Peraturan Presiden (Perpres) No.98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendailan Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Kemudian, termuat juga dalam UU No.31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; dan Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan-aturan ini, kata Dodo, sapaan akrabnya,  masih sangat umum dan terbatas. Sedang Undang-undang sektoral lain justru menambah beban krisis iklim. Dia contohkan,  UU Pertambangan Mineral dan Batubara, atau kebijakan di sektor energi yang masih memberikan kontribusi cukup besar serta belum ada penyelesaian konkrit di sektor energi.

Dia berpendapat, kerangka hukum legislasi keadilan iklim mesti terdistribusi kepada kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan atau dalam kondisi tidak beruntung, paling terdampak, dan mengalami kerugian dari situasi ketidakadilan.

“[UU Keadilan Iklim] ini berangkat dari satu situasi ketidakseimbangan, yang ketidakadilan-ketidakadilan terjadi, dirasakan oleh manusia juga komponen makhluk hidup lain,” kata Dodo.

Desakan pembentukan UU Keadilan Iklim berangkat dari laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). Organisasi iklim ini merekomendasi perlu pembentukan instrumen hukum untuk penurunan emisi gas rumah kaca dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim.

Studi lain memproyeksikan kalau produk legislasi perubahan iklim yang disahkan di level nasional dapat menurunkan emisi 0.78% per gross domestic product (GDP) selama tiga tahun pertahun implementasi legislasi ini dan sebesar 1.79% setelah tiga tahun.

Sampai 2016, mengutip laporan ICEL, pengesahan produk legislasi iklim dapat mencegah lepasnya 37.7 Gt CO2e.

“Artinya, ada satu ukuran kuantitatif yang berhasil diukur global, secara agregat dari legislasi-legislasi iklim yang sudah terkumpul sampai dengan 2016.”

 

Spanduk menuntut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Bisnis di balik krisis iklim

Pemerintah  Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada 1997 yang memberikan kewajiban mengurangi emisi, termasuk meratifikasi Perjanjian Paris Melalui UU No 17/2016.

Namun, Pantoro Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul menilai,  peringatan IPCC terkait suhu bumi sudah naik 1,1 derajat celsius sepertinya sulit dicegah karena komitmen negara-negara yang menandatangani Perjanjian Paris tak memadai.

“Kemudian tindakan tidak bisa hanya menurunkan emisi karbon, juga harus adaptasi segera mungkin,” kata Tori, sapaan akrabnya.

Dalam dua tahun terakhir, kata Tori, pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti Perpres No.98/2021 mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, yang seolah-olah mengatasi krisis iklim. Padahal, tak lebih semata-mata bisnis iklim.

Pemerintah, katanya,  malah memperlakukan masalah krisis iklim sebagai, “mata uang baru’, sebagai bisnis baru. “Bukan mengatasi krisis iklim, tetapi untuk jadi bisnis.”

Zenzi mengingatkan. pelepasan emisi dan isu perubahan iklim karena masalah sistem ekonomi.

Sistem ekonomi ini melintasi batas ekologis, administratif, dan batas negara. Dia bilang, semua aktivitas besar pelepasan emisi di Indonesia transaksinya beredar di banyak negara.

Keputusan pemerintah mengambil bagian dalam perdagangan karbon, katanya,  adalah keputusan keliru dan merugikan negara.

“Kenapa merugikan? Karena Indonesia seharusnya melihat peta politik ekonomi global, selama ini ekonomi yang mengakibatkan perubahan iklim itu adalah ekonomi yang disetir negara-negara produsen,” kata Zenzi.

Tori berkata, pemerintah seharusnya bukan hanya bicara bagaimana mengurangi emisi karbon yang berujung pada bisnis karbon, juga mewujudkan keadilan ketika menangani krisis iklim.

“Pemerintah Indonesia harus mengupayakan penanganan krisis iklim sedalam mungkin, secepat mungkin, seadil mungkin, dan separtisipatif mungkin.”

Penanganan krisis iklim di Indonesia, katanya, sangat tertutup, tiba-tiba, dan tak tahu dampaknya.

 

Sumber energi Indonesia masih bergantung batubara. Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dengan begitu, kata Dodo,  Indonesia perlu satu regulasi yang lebih tinggi dan bisa memayungi semua sektor melampaui sekat-sekat sektoral dan birokrasi.

“Juga memberikan tugas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan keadilan iklim.”

Dodo mengatakan, Raynaldo memaparkan apa yang oleh koalisi disebut sebagai undang-undang keadilan iklim. Legislasi ini, katanya, bukan sekadar regulasi sektoral, harus punya samacam satu institusi atau lembaga yang menjadi “pemiliknya”.

UU itu, ulang Dodo, harus memuat prinsip-prinsip keadilan iklim. Dari prinsip distribusi kepada kelompok marjinal, prinsip rekognisi, mengakui keuntungan mereka yang selama ini dikecualikan dalam proses-proses pembangunan seperti masyarakat adat, kaum miskin, dan kelompok perempuan.

Kemudian,  prinsip prosedural, yaitu dalam setiap proses keputusan atau kebijakan terkait iklim harus melibatkan semua pihak. Prinsip keadilan gender, memuat masalah-masalah lingkungan khusus kelompok perempuan dan anak.

Termasuk prinsip keadilan antar-generasi, harus berpegang teguh pada prinsip bahwa apa yang dilakukan sekarang untuk menjaga kepentingan generasi mendatang mendapatkan manfaat sama.

“Atau setidak-tidaknya kita tidak memberikan beban yang lebih besar kepada generasi yang akan datang dari semua keputusan atau kebijakan yang diambil.”

Berdasarkan riset ICEL, kata Dodo, dalam Undang-undang Keadilan Iklim, materi-materi yang mesti dimuat juga terkait mitigasi, adaptasi, dan kepentingan loss and damage.  Juga, tata kelola perubahan iklim, penegakan hukum, pembiayaan iklim, dan emosi publik.

 

Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di Wawonii. Foto: drone Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

***

Dalam laporan IPCC, bumi mengalami kenaikan temperatur melampaui satu derajat celius sejak 1850 dibandingkan batas kenaikan suhu permukaan bumi yang disepakati Perjanjian Paris, 1.5 derajat celsius.

Konsentrasi gas rumah kaca juga mencapai tingkat konsentrasi tertinggi sejak dua juta tahun untuk CO2 dan dalam 800 ribu tahun untuk gas rumah kaca lain.

Keadaan ini, diproyeksi memicu titik kritis ekosistem seperti lapisan es di Greenland cair, kenaikan permukaan laut setinggi tujuh meter dan lepasnya gas metana dalam jumlah besar melalui permafrost.

IPCC juga memproyeksikan, kenaikan suhu 1.5 derajat celsius tercapai awal 2040, dengan tingkat emisi global saat ini.

Dari situasi global ini,  katanya, membuat Indonesia perlu satu regulasi yang lebih tinggi untuk menjalankan kebijakan-kebijakan keadilan iklim.

Dari riset ICEL terhadap produk legislasi perubahan iklim di seluruh dunia, setidaknya, ada delapan substansi perlu ada dalam Rancangan Undang-undang Keadilan Iklim.

Pertama, asas-asas dan tujuan. UU Keadilan Iklim penting memastikan asas-asas dan tujuan pengendalian perubahan iklim dalam instrumen internasional dan nasional diakomodasi dalam aturan ini.

Misal, asas tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan non-regresi.

 

 

Kedua, jenis dan klasifikasi gas rumah kaca. Dalam RUU Keadilan Iklim, perlu menegaskan detil apa yang dimaksud gas rumah kaca. Setidaknya, mengacu pada tujuh jenis dengan enam jenis gas yang diatur dari Protokol Kyoto dan satu dari Amandemen Doha.

Ketiga, kelembagaan dan koordinasi antar pihak. RUU ini, katanya,  perlu mengatur asek kelembagaan karena perubahan iklim isu yang melibatkan berbagai sektor dan jadi kewenangan beragam kementerian atau lembaga baik dalam mitigasi dan adaptasi.

Keempat, anggaran karbon. Jadi, perlu memuat pengaturan mengenai anggaran karbon sebagai salah satu acuan dalam pelaksanaan pengendalian perubahan iklim. Kelima, target dan baseline pengendalian perubahan iklim. Jadi, perlu memuat ketentuan target mitigasi dan target adaptasi perubahan iklim baik untuk ruang lingkup nasional, daerah serta sektoral.

Keenam, keterpaduan kebijakan dan regulasi, dalam RUU Keadilan Iklim, dapat memandatkan penilaian dampak dan risiko perubahan iklim dalam pengambilan keputusan.

Ketujuh, tata kelola pengendalian perubahan iklim, yaitu, RUU ini perlu mengatur mengenai kerangka tata kelola pengendalian dan pendanaan perubahan iklim. Kedelapan, penegakan hukum. Perlu penegakan hukum salah satu dengan mengatur sanksi administratif berupa ancaman denda dalam konteks perdagangan karbon.

Zenzi katakanUndang-undang Keadilan Iklim harus bersifat perlindungan, bukan hanya pada biodiversitas, juga terhadap masyarakatnya.

“Undang-undang Keadilan Iklim ini harus ditempatkan sebagai role of the game dalam perubahan iklim.”

 

Banjir di PT IWIP tahun 2020. Foto: Dokumen warga

*********

Exit mobile version