Mongabay.co.id

Kasus Ekspor CPO Seret Korporasi jadi Tersangka

 

 

 

 

 

Kasus ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) memasuki babak baru. Setelah lima tersangka perorangan putus bersalah, Kejaksaan Agung menetapkan tiga korporasi besar, Wilmar group, Permata Hijau group dan Musim Mas Group sebagai tersangka dalam kasus yang merugikan negara Rp6,47 triliun ini.

Ketut Sumedana,  Kepala Pusat Penerangan hukum Kejaksaan Agung dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay menyebut,  penetapan tersangka untuk langkah penegakan hukum dengan penyidikan korporasi. “Guna menuntut pertanggungjawaban pidana dan memulihkan keuangan negara,” tulis rilis itu.

Penetapan ini juga berdasarkan fakta persidangan. Dalam putusan perkara kasus ekspor CPO sebelumnya, Majelis Hakim memandang perbuatan para terpidana sebagai aksi korporasi. Karena itu, Majelis Hakim menyatakan yang memperoleh keuntungan ilegal adalah korporasi.

“Maka korporasi harus bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan pidana yang dilakukannya”.

Adapun terpidana dari kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap sebelumnya adalah Indrasari Whisnu Wardhana, saat itu sebagai Dirjen Perdangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Lalu, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei merupakan penasihat kebijakan pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) juga anggota tim asistensi Menteri Koordinator bidang Perekonomian.

Dalam kasus korupsi ekspor CPO ini, Indrasari dihukum delapan tahun penjara denda Rp300 juta. Sedangkan Lin Che Wei vonis 7 tahun kurungan denda Rp250 juta.

Ada juga Komisaris Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, yang vonis 6 tahun pernjara denda Rp200 juta.

Dari Permata Hijau Group, Stanley M.A., selaku Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari vonis 5 tahun penjara denda Rp200 jutta. Sedangkan Pierre Togas Sitanggang selaku Manager General Affair PT Musim Mas dihukum 6 tahun penjara denda Rp200 juta

Perbuatan para terpidana ini menimbulkan dampak signifikan berupa mahal dan langkanya minyak goreng tahun lalu. Negara pun jadi harus menggelontorkan bantuan langsung tunai Rp6,19 triliun untuk mempertahankan daya beli masyarakat terhadap komoditi ini.

 

Baca juga: Pemerintah Kena Somasi, Jokowi Larang Ekspor Bahan Baku dan Minyak Goreng

 

Negara tak boleh takut

Desakan menjerat korporasi dalam kasus minyak goreng ini sebenarnya sudah lama digaungkan kalangan masyarakat sipil. Sebagaimana pertimbangan hakim, masyarakat sipil menilai para terpidana bertindak atas nama perusahaan masing-masing.

Sebelumnya, masyarakat sipil sempat mengajukan gugatan dengan nomor perkara 150/G/TF/2022/PTUN.JKT tentang sengketa menyak goreng namun ditolak hakim PTUN.

Dalam gugatan itu, masyarakat sipil menilai penyidikan kartel minyak goreng sudah seharusnya menuntut pertanggungjawaban korporasi yang diduga menimbulkan kerugian perkenomian negara.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, penetapan tersangka baru oleh Kejagung membutktikan kalau hakim salah dan ada kelalaian negara hingga korporasi dapat menyebabkan kerugian negara Rp6,47 triliun.

“Kami mendukung pentapan tersangka korporasi ini. Maka ada sepemahaman kalau yang bertindak itu korporasinya,” katanya pekan lalu.

Untuk itu, proses pun harus dikawal supaya bisa benar-benar sampai di persidangan dan negara tak merasa terintimidasi.

Mengingat beberapa kasus kejahatan lingkungan yang melibatkan korporasi mengalami kendala di pembuktian atau saat eksekusi setelah kasus berkekuatan hukum tetap (inkracht).

“Kejaksaan sudah on the track. Sekarang, tinggal dipantau. Banyak kasus menyangkut korporasi timbul-tenggelam,” kata Rambo.

Menurut dia, bukan rahasia umum kalau korporasi yang bergerak di bisnis ekstraktif, terutama perkebunan, memiliki kedekatan dengan aktor politik dan kerap menjadi sumber dana kampanye. Karena itu, pengawalan kasus ini perlu diperkuat agar tidak tenggelam oleh hiruk-pikuk terlebih jelang pemilu.

“Karena kalau kasus ini bisa diselesaikan dan korporasi dihukum, akan jadi preseden yang sangat baik,” katanya.

Hal serupa diserukan Arie Rompas, Team Leader Forest Campaigner Greenpeace. Saat dihubuni secara terpisah, dia bilang, pentingnya keberanian negara berhadapan dengan korporasi besar.

Untuk itu, katanya, penting memastikan negara berani bertindak saat inkracht. Termasuk,  penyitaan aset perusahaan kalau tidak bisa mengembalikan kerugian negara yang mereka sebabkan.

Selain itu, katanya, ada dua hal perlu dibenahi agar perusahaan tak lagi bisa memengaruhi aktor politik yang berujung pada pembiasan hukum. Pertama, memastikan kepatuhan pencantuman pemilik manfaat (beneficial ownership/BO).

“Dengan terbukanya pemilik manfaat, publik bisa tahu siapa mereka dan tahu pula siapa yang bertanggungjawab secara hukum jika perusahaan terkena kasus,” kata Rio, sapaan akrab Arie Rompas.

Kedua, pembenahan proses pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya bisa membuat pendanaan partai politik.

Dengan demikian, keterkaitan antara korporasi dengan aktor politik bisa terlihat dari sumber pendanaan yang mereka terima dalam setiap pemilu.

“Karena Greenpeace pernah ada kajian soal ini. Banyak elit politik yang berbisnis di sektor sumber daya alam.”

Kondisi ini, katanya, menunjukkan hubungan lansung terhadap kebijakan-kebijakan terkait lingkungan dan penegakan hukum ketika mereka terpilih.

“Tentu ini berbahaya karena mereka ada kepentingan ketika terpilih nanti malah lemahkan perlindungan lingkungan,” katanya.

 

Baca juga: Menyoal Kelangkaan Minyak Goreng

 

Benahi tata kelola

Penetapan tersangka korporasi dalam skandal korupsi ekspor CPO dan minyak goreng ini juga makin menunjukkan perlu pembenahan tata kelola sektor sawit. Rambo menilai,  perlu ada tindakan pemerintah untuk memastikan tak ada lagi konglomerasi di sektor sawit.

“Penetapan tersangka ini membuktikan kalau ada permainan korporasi yang menyebabkan minyak goreng langka dan mahal. Ini hanya bisa terjadi karena ada konglomerasi.”

Salah satu cara memastikan tidak ada konglomerasi, katanya, dengan memberikan kesempatan petani memiliki diversifikasi produk sawit. Selama ini, produk yang dijual petani hanya mentok di tandan buah segar (TBS) sawit.

Padahal, dengan memastikan petani berdaya untuk menghasilkan produk lain bisa mencegah monopoli dari korporasi seperti salama ini. “Ke depan, penting memastikan ada industri yang dimiliki petani,” katanya.

Dia bilang, sebenarnya aturan itu pernah tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Pasal 14 dalam produk hukum ini mencantumkan kewajiban bagi industri pengolah sawit yang bekerjasama dengan koperasi pekebun untuk menjual saham minimal sampai 30% pada tahun kelimabelas.

Namun, katanya, revisi terbaru Permentan justru menghilangkan poin itu. “Dua kali permentan ini mengalami revisi dan kewajiban itu dihilangkan. Ini menunjukkan ada upaya pengikisan peran petani dan pekebun oleh pemerintah.”

 

Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia tetapi tahun lalu minyak goreng sawit sempat langkah di dalam negeri . Dari kasus ini terjerat beberapa orang yang akhirnya,  menyeret tersangka korporasi.  Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

*****

Exit mobile version