Mongabay.co.id

Nasib Pembudidaya Rumput Laut di Seram: Hidup Pas-Pasan di Tengah Perubahan Iklim

 

Tulisan sebelumnya: Saat Dampak Pergeseran Musim Mencemaskan Pembudidaya Rumput Laut Pulau Seram

 

Abu Karim Lagole sedang memelototi tumpukan tali nilon pada sudut kiri ruang tamu rumahnya. Barang itu terdiri dari tali nilon 12 mm tiga bal, lima bal tali nilon 10 mm dan 40 bal tali nilon 4 mm. Dia adalah pembudidaya rumput laut asal Dusun Kotania, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.

“Keadaan alam seng [tidak] menentu lai [lagi], maka musim rumput laut tetap berpatokan Mei,” kalimat spontan itu dia katakan saat dijumpai oleh Mongabay di bulan Juni lalu.

Hari itu rupanya istrinya, Wa Ine,  baru pulang membeli tali nilon dari Piru, Ibu Kota kabupaten tersebut. ”Sudah habis Rp 12 juta,” ujarnya.

Biaya demikian, -sebut Abu, bakal membengkak lagi. Tambahan biaya diperlukan untuk membeli bibit, pelampung bola besar dan menyewa orang memasang tiang pancang.

Di tahun ini, Abu termasuk yang lambat melakukan budidaya rumput laut. Para pembudidaya lain telah ada yang melakukannya sejak awal 2023 lalu.

Baginya, tak masalah duluan atau belakangan. Sebab baginya, tantangan yang dihadapi mayoritas pembudidaya saat ini sama, yaitu: perubahan iklim, yaitu cuaca yang berubah-ubah tak menentu, hingga bergesernya peralihan angin musim.

”Beberapa tahun ini para pembudidaya resah karena pada saat seharusnya musim kemarau, namun justru hujan, begitupun sebaliknya,” tuturnya.

 

Wa Ima, seorang pembudidaya rumput laut tengah merapikan gundukan rumput laut saat dijemur di sampaung rumahnya di Dusun Air Pessy, Desa Piru. Foto: M Jaya Barends/Mongabay Indonesia

 

Hal ini dirasakan pula oleh rekannya sedesa sesama pembudidaya rumput laut, Syahidin Ali Maruf.  Di awal 2023 saja, rumput lautnya banyak yang mati dan tak sempat panen.

Dia mengaku, modal yang dia peroleh didapat dari seorang pengusaha. Pengusaha itu, memberi Ali tali nilon ukuran 4 mm untuk bentangan, dan nilon 12 mm untuk pengikat kepala rakit yang digunakan untuk metode budidaya longline.

”Yang diberikan [oleh pengusaha itu] cuma tali nilon. Sedangkan bibit saya beli sendiri hampir 400 kg harganya Rp1,5 juta,” ungkapnya.

Dalam perjanjian mereka, rumput laut kering yang Ali hasilkan harus dijual kepada pemberi tali nilon. Tidak boleh dijual kepada pengepul lain.

Meski demikian, Ali masih berhutang modal kepada pengepul lain. Dengan pihak kedua ini kesepakatannya beda lagi. Dia tak perlu menjual kepada pengepul itu, tapi harus melunasi sesuai dengan nominal hutangnya.

Ali pun berucap, saat bahwa harga rumput laut kering makin turun. Beberapa waktu lalu, Rp29-30 ribu/kg, lalu turun ke Rp22 ribu/kg, Sekarang cuma Rp14 ribu/kg.

“Ya, mau bagaimana lagi, kita tetap harus tetap jual [untuk bertahan hidup]. Meski harga rendah.”

 

Rumput laut terikat tali pada tali bentangan di lokasi budidaya, Perairan Air Pessy, Desa Piru. Foto: M Jaya Barends/Mongabay
Indonesia

Baca juga: Hilirisasi Rumput Laut untuk Kemakmuran Banyak Pihak

 

Untuk melakukan budidaya rumput laut, memang sangat umum jika para nelayan ini berhutang kepada para pemodal, -yang umumnya untuk modal awal. Ramli misalnya, dia berhutang nilon.

Dia tak menyebut berapa besar hutangnya, Namun, dia bilang harga 1 bal nilon dengan panjang 100 meter adalah Rp100 ribu. Harga itu bisa bervariasi, tergantung ukuran tebal milimeternya.

Ramli mengambil opsi mencicil untuk lunasi hutangnya. Menurutnya, cara itu lebih membuatnya leluasa. Saat hutang dinyatakan lunas, tali nilon itu akan menjadi miliknya. Dia pun bebas menjual rumput lautnya kepada pihak manapun.

Dia mengaku, sejauh ini para pengusaha yang memberi hutang kepadanya, tak pernah sekalipun menekan. Mereka paham dengan kondisi yang dirasakan oleh para nelayan. Meski demikian, para pemodal ini pun jumlahnya semakin berkurang.

Di saat awal budidaya rumput laut marak di Seram Barat tahun 2013-14 silam, terdapat banyak pengepul. Mereka biasanya terafiliasi dengan para pengusaha besar. Diantaranya: PT Tanamal Maju Lestari dan PT Tauran Trust Marine.

Rumput laut dari Seram ini kemudian sampai ke para pengusaha eksportir di Surabaya. Seperti CV Bahana Cipta Mandiri dan PT Asia Sejahtera. Negara tujuan eskpornya negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti Malaysia, Filipina, Hongkong, Jepang, hingga Tiongkok.

Ode Sarifudin, pembudidaya rumput laut asal Dusun Air Pessy mengaku pernah bekerja dengan perusahan. Namun tak berlangsung lama. Sebutnya, perusahan berhenti beroperasi, lantaran hasil panen rumput laut tak memenuhi kuota, dan kerap gagal.

 

+++

 

Wethimus bisa dibilang orang pertama yang menjadi pembudi daya di Negeri Nuruwe. Dia berujar sejak 2021–2022, tepatnya November rumput laut berubah warna menjadi putih.

”Padahal sebelum dua tahun itu, warna rumput laut masih stabil berwarna cokelat hingga Desember,” jelasnya.

Dia memprediksi, kondisi itu akan berlanjut pada musim tanam 2023. Di Nuruwe saat musim angin barat, November–April, dimanfaatkan hanya untuk memperbanyak bibit.

Sedangkan pada angin musim Timur, Mei– November, rumput laut hasil panen dikeringkan dan di jual. Tetapi sebutnya, 2023 ini, angin musim timur stabil berembus awal Juni, yang biasanya awal Mei.

”Kondisi ini, tentu merubah musim tanam dan kesuburan,” ujarnya.

Sejak pertama kali membudidayakan rumput laut di tahun 2014, dia mengaku baru mulai merasakan perubahan iklim pertama kalinya pada hari Sabtu, 3 Oktober 2020. Kala itu siang, tiba-tiba hujan deras dengan waktu lama.

”Padahal tahun-tahun sebelumnya, tak pernah hujan pada Oktober. Baru pertama kali terjadi. Biasanya panas. Makanya, saya merasa aneh sekali,” katanya.

Rita Tahir Lopa, Kepala Laboratorium Hidrolika, Universitas Hasanuddin, Makassar menyebut saat ini para pembudidaya mulai merasakan efek pemanasan global. Ini membuat siklus angin muson menjadi kurang dapat diprediksi. Dampaknya dapat dirasakan pada hidrologi perairan.

“Saat ini cuaca ekstrim kerap terjadi,” jelas Rita saat ditanya oleh Mongabay (17/07/2023).

 

Tekstur rumput laut yang dijemur. Foto: M Jaya Barends/Mongabay Indonesia

Baca juga: Nanaku, Pengetahuan Bijak Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan di Maluku

 

Kesehatan Perairan dan Nanaku

Suhu perairan optimal untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottoni yang banyak dibudidaya di Seram Barat adalah 26-30 C dan kecepatan arus 0,2 – 0,4 meter per detik (Anggadiredja et al, 2008). Suhu air yang optimal itu akan menaikkan laju maksimum fotosintesis [Tomascik et al, 1997].

Selain suhu, pertumbuhan rumput laut amat dipengaruhi oleh kadar salinitas, dengan kadar garam 28–35 per mil. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas tersebut, lokasinya budidaya harus jauh dari sungai kecil atau muara sungai.

Syahidin Ali Maruf, menyebut sepanjang Februari–Maret 2023, rumput laut di lokasi budidaya tiga kali rusak. Pemicunya, banjir mengalir melalui muara sungai ke perairan. Membuat konsentrasi air tawar lebih tinggi, dibandingkan air asin.

Musim hujan memang mulai berubah, menjadi lebih cepat dari biasanya.

”Sungai-sungai kecil di sini [Dusun Wael] kalau hujan besar, air mengalir dari gunung, mengalir sampai perairan,” ujarnya. Hal ini tentunya berpengaruh kepada pertumbuhan rumput lautnya.

Saat angim musim barat bertiup, baginya ada bulan tertentu bagus untuk kesuburan rumput laut. Makanya, dia berani budidaya di perairan Dusun Wael.

Namun, anggapanya tak sesuai kenyataan. Prediksi pun melesat tentang cuaca, tiba-tiba hujan dengan rentang waktu tak lama menyebabkan banjir dengan cepat.

Muhammad Fadli, Peneliti Pertama Bidang Oseanografi Fisika Pusat Riset Laut Dalam BRIN Ambon menjelaskan, perubahan iklim akan merubah pola suhu yang berdampak terhadap kesehatan perairan dan kesuburan rumput laut.

“Misalnya suhu optimal, mungkin nggak akan tercapai lagi. Awalnya mungkin 6 bulan, akan memendek menjadi 5 bulan,” jelasnya.

Kondisi demikian, sebutnya mempengaruhi produktivitas rumput laut. Dampak lain, merubah dinamika gelombang dan mempengaruhi terjadinya taifun (typhoon) atau siklon tropis.

“Jadi rumput laut susah tumbuh karena perubahan kesuburan. Faktor ini bisa merusak rumput laut sebelum panen.”

Fadli menyarankan agar para pembudidaya dapat mempelajari aspek-aspek fenomena alam yang saat ini sedang terjadi. Masyarakat sebaiknya mulai nanaku, sebuah istilah pengetahun lokal berbasis tradisi yang ada di Maluku.

Dari fenomena alam yang berubah, masyarakat melakukan penyesuaian dan melakukan respon terhadap perubahan pada sistem alam, termasuk perubahan iklim.

”Jadi dengan ilmu nanaku, kearifan lokal masyarakat Maluku bisa dipakai mencari waktu tanam dan panen yang tepat,” jelasnya.

Fadli bilang, saat ini nanaku menjadi alternatif, sebelum akhirnya dunia riset bisa menjawab. Menurutnya dari sisi klimatologi, diperlukan satu seri data yang panjang, misalnya 30 tahun.

“Sehingga kita perlu menunggu lama hingga dapat memastikannya.”

 

Referensi:

Anggadireja, J.T., Zatnika, H. Purwanto dan S. Istianai 2008, Rumput Laut Penebar Swadaya Masyarakat, Jakarta

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nonji; and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII. Periplus Editions (HK) Ltd ; 421-486.

 

***

Gambar utama: Rumput laut yang sedang terikat tali pada tali bentangan di lokasi budidaya, Perairan Air Pessy, Desa Piru. Foto: M Jaya Barends/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version