- Budidaya rumput laut di Kabupaten Seram Barat, Maluku menjadi andalan nelayan dan primadona kabupaten ini. Umumnya para pembudidaya adalah nelayan skala kecil.
- Pembudi daya rutin membersihkan rumput laut tiap pagi dan sore. Sebagian lagi, memilih berpindah tempat budidaya, saat ini terjadi kepastian budidaya dikarenakan musim yang bergeser.
- Sebagian pembudi daya tak sempat panen lantaran rumput laut rusak. Meski begitu, para pemubudi daya terus mencoba agar bisa menutupi kerugian.
- Peneliti BRIN Ambon, Muhammad Fadli, menjelaskan cuaca berubah–ubah dalam sehari terkadang panas dan hujan disebabkan fenomena La Nina.
Kerimbunan pohon bakau tampak mencolok pada sisi kiri dan kanan garis pantai Dusun Air Pessy, Desa Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.
Di pesisir yang lengang itu, tampak La Samiun dan Istrinya, Wa Ima di sebuah jukung. Keduanya nelayan rumput laut. Samiun mengangkat tiga karung bibit rumput laut. Di bawah air, berbanjar rumput laut terikat tali nilon.
Memakai ujung dayung, La Samiun mengangkat tali ke permukaan air lalu dijatuhkan lagi. “Ini agar lumut dan lumpur tidak menempel,” ujarnya kepada Mongabay akhir April lalu.
Setelah itu, dia mengeluarkan bibit dari karung yang telah diikat di tali nilon. Jaraknya kira-kira 50 cm di bawah permukaan air.
Metode budidaya itu disebut long line atau rawai. Bibit (vegetatif) rumput laut (Eucheuma cottonii) berbobot 100 -200 gram itu diikat menyimpul dengan jarak 15–30 cm di tali nilon sepanjang 30 meter.
Terbentang pada tali utama berjarak 1,6 meter, terdapat tiang pancang yang disebut kepala rakit. Ada pula pelampung bola besar yang terpasang pada titik tetentu. Kemudian tambahan botol plastik diikat berjarak mengitari tali.
Dari tanam hingga panen, La Samiun harus menunggu sekitar 45 hari. Tidak semua rumput laut dia panen, sebagian dibuat bibit untuk siklus berikutnya. Cara ini umum digunakan warga pembudidaya rumput laut setempat.
Baca juga: Hilirisasi Rumput Laut untuk Kemakmuran Banyak Pihak
Namun saat ini La Samiun dan para pembudidaya rumput laut di dusunnya sedang cemas. Pasalnya, cuaca yang berubah-ubah dalam beberapa waktu belakangan ini.
Meski rumput laut dapat ditanam sepanjang tahun, namun hasil panen yang baik amat dipengaruhi angin muson timur yang biasanya berembus pada bulan April hingga Oktober.
”Seharusnya April ini, angin musim timur [angin muson timur] bertiup. Nyatanya, masih angin musim barat [angin muson barat]. Barangkali dampak [perubahan iklim],” sebut La Samiun.
Angin musim timur yang menjadi penanda musim kemarau ini, sangat dinantikan para pembudi daya termasuk La Samiun.
Saat muson timur bertiup, ia akan membuat pelambung botol plastik rawai tergoyang terus-menerus sesuai gerak air. Efeknya, akan membantu pertumbuhan rumput laut subur dan lebih produktif.
Sebaliknya saat angin musim barat pada November–Maret yang ditandai hujan akan membuat pertumbuhan rumput laut melambat. Khusus tahun 2023, meski April hampir berakhir, angin musim timur tak kunjung berembus.
Mengutip situs BMKG, puncak musim kemarau 2023 di sebagian besar wilayah diprakirakan terjadi Juli dan Agustus sebanyak 507 Zona Musim (ZOM) (72,53%).
Jika dibandingkan terhadap normal, sebagian besar daerah yaitu 402 ZOM (57,51%) diprakirakan sama. Sedangkan wilayah lain maju dari normal 185 ZOM (26,47%) dan mundur terhadap normal 112 ZOM (16,02%)
Untuk menyiasatinya, La Samiun pun bercerita dia kerap menaikkan tali rawai ke permukaan air saat panas dan ada angin. Sebaliknya jika hujan, dia turunkan di bawah air lebih dari 50 cm.
”Tujuannya, menghindari konsentrasi air tawar berlebihan agar tak mudah terserang penyakit,” jelasnya.
Hal ini diamini oleh Ode Sarifudin, pembudidaya rumput laut lain di Dusun Air Pessy. Dia menyebut perubahan musim yang diikuti perubahan suhu laut, menyebabkan tanamannya rentan serangan penyakit. Rumput laut akan kembali normal saat angin musim timur bertiup.
Perubahan suhu laut memang bisa membawa penyakit rumput laut yang disebut ice-ice. Di permukaan tanaman muncul bercak merah yang perlahan berubah pucat. Selanjutnya, pertumbuhan rumput laut melambat, rapuh dan batang talusnya putus.
Penyebabnya adalah bakteri ice-ice yang merebak saat suhu kondisi perairan berkisar antara 31-32 C, di kedalaman 28-93 cm dan kecepatan arus 7,1-11 meter per detik. Di saat itu jumlah bakteri bisa mencapai 18.060 gram/koloni [Supatno et al, 2010].
Mengacu pada penelitian Santoso dan Tri [2008]. ice-ice terjadi perubahan kondisi lingkungan ekstrem, seperti: perubahan salinitas, suhu air dan intensitas cahaya
Menanti Dalam Ketidakpastian
Kala angin musim berganti, umumnya mayoritas pembudidaya di Dusun Wael berpindah tempat ke teluk yang berada di dekat dusun, perairan di lokasi ini lebih teduh, disertai angin sehingga air mudah bergerak.
Namun, hingga April ini mereka belum juga berpindah tempat, lantaran angin musim belum bertiup.
“Dulu angin musim timur bertiup Maret. 2020-2022, geser ke April,” ujar Ramli salah satu warga Dusun Wael. “Rupanya tahun ini bakal meleset lagi, kemungkinan Mei baru berembus.”
Dia bilang semuanya tidak pasti. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, saat di bulan seperti ini, mereka sudah siap-siap pindah.
Cara lain dipilih oleh Udin, pembudidaya rumput lain lainnya. Karena tidak pasti, dia memilih tak melakukan budidaya rumput laut dalam jumlah banyak. Luas lahan lautnya, kurang lebih 2 hektar, hanya terisi sebagian.
Ramli tak menafikan cuaca yang berubah-ubah ini, berdampak pada pertumbuhan rumput laut yang mulai melambat sejak dua bulan terakhir.
Penyebab utama, bergesernya pergantian angin musim dan cuaca berubah-berubah. Dalam sehari, pagi–siang panas dan sore tiba-tiba turun hujan. Dengan keadaan begitu, pertumbuhan rumput laut melambat akibat biomasa mengalami penurunan.
“Kalau hujan turun saat perairan teduh, amat berdampak pada pertumbuhan rumput laut.,” katanya.
Dampak Iklim Berubah?
Muhammad Fadli, Peneliti Pertama Bidang Oseanografi Fisika Pusat Riset Laut Dalam BRIN Ambon menjelaskan cuaca berubah–ubah dalam sehari terkadang panas dan hujan disebabkan fenomena La Nina yang melanda Indonesia sejak 2020–2022.
”Di 2023 ini ada La Nina lagi dan tidak berarti akan berakhir,” ujarnya.
Dampak lain, musim kemarau bergeser ke musim hujan. Dia bilang, untuk kembali normal mungkin butuh 1–2 tahun. Fenomena tersebut juga mempengaruhi angin musim sehingga lebih dominan hujan, sedangkan kemarau menjadi pendek.
Baginya mengukur dampak di skala lokal sulit karena data pemantauan cuaca di Maluku tidak memadai. Tetapi fenomena ini, dapat dihubungkan dengan fenomena perubahan iklim.
Harusnya La Nina dan El Nino terjadi periode 4–7 tahun sekali. Namun, perubahan iklim membuat durasinya makin memendek.
Terkait dengan pergeseran musim, Fadli berujar, hujan sudah tentu meningkatkan debit sungai dan terjadinya banjir. Kalau hutan di darat masih rimbun maka tidak akan bermasalah dengan sedimentasi. Namun, bila hutan rusak sendimentasi mudah terangkat ke permukaan menyebabkan air cepat keruh.
“Budidaya rumput laut akan terganggu sekali,” jelasnya.
Penjelasan Fadli ada benarnya. Sebab kondisi hidrologi perairan yang dijadikan lokasi budidaya rumput laut terdapat lumpur, pasir bercampur lumpur, pecahan batu karang, padang lamun dan pohon bakau.
Selain itu, ada muara sungai berskala kecil dan besar di sepanjang tepi laut. Misalnya di Dusun Wael, terdapat sungai Wai Momon. Ditambah tutupan hutan di daratan yang makin berkurang.
Syahidin Ali Maruf, pembudi daya asal Dusun Wael bilang jika hujan dengan intensitas tinggi diikuti banjir, perairan kerap kali berwarna kuning. Kondisi itu, membuat rumput laut rusak seperti yang dia alami pada Februari -Maret 2023.
“Rumput laut yang rusak kalau dihitung dari bibitnya hampir 400 kg. Ini bukan hanya sekali, tapi sudah tiga kali,” ungkapnya.
Ali sekarang melanjutkan budidaya rumput laut dengan memakai pola berpindah lokasi. Dia berharap, Mei nanti kala angin musim timur bertiup cuaca menjadi stabil, tidak berubah-ubah lagi.
”Kalau belum stabil, kita hanya bisa pasrah,” katanya.
Rumput Laut Jadi Andalan
La Ombo (56), adalah satu dari empat orang pertama yang merintis kembali budidaya rumput laut di Dusun Wael. Sebelumnya mereka sempat terhenti lantaran limbah pengelolaan pabrik sagu mencemari perairan tersebut di tahun 2016.
La Ombo juga ikut berhenti, tetapi di antara 2018 -2020 dia kembali budidaya rumput laut. Saat memulai kembali, rumput lautnya rusak dan gagal panen. Setelah mencoba perlahan-lahan usahanya berbuah baik. Dia pun mampu menjual rumput lautnya.
”Per kilogram harganya Rp 24 ribu,” jelasnya. Total panen rumput lautnya kala itu 4 ton, awalnya yang di jual 1 ton, harganya Rp 30 juta.
Namun di tahun 2023 ini hasil panennya merosot. Sekali panen kalau di jual hanya bisa mendapat Rp 600 -Rp 700 ribu. Perubahan cuaca jadi penyebab utamanya.
”Biasanya panen 45 hari, kini lebih cepat hanya 2 bulan lebih harus segera panen. Sehingga bobot rumput laut akhirnya mengecil,” jelasnya.
Saat dijumpai Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Seram Bagian Barat, Moksin Pelu, menyatakan, budidaya rumput laut di Seram Barat menjadi andalan nelayan dan primadona kabupaten ini. Umumnya para pembudidaya adalah nelayan skala kecil.
Dia bilang, 2022 titik kosentrasi para pembudi daya ada di Pulau Osi dan Dusun Wael.
”Khusus di dua dusun itu, total produksi yang katong targetkan di atas 30 ton,” jelasnya.
Dia melanjutkan, harga rumput laut sekarang lebih tinggi jika dibadingkan tahun-tahun sebelumnya. Untuk yang sudah dikeringkan harga bervariasi antara Rp24 – 30 ribu dan basah Rp 5 ribu.
Pembelinya ada dari Ambon dan sejumlah pengusaha di Piru, Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Barat.
Disinggung terkait dampak perubahan iklim, dia menyebut hingga kini para pembudi daya tak pernah menyampaikan keluhan. ”Belum ada keluhan,” katanya.
Meski begitu, dia mengaku telah menurunkan penyuluh perikanan melakukan pemantauan pada sejumlah titik di lokasi budidaya rumput laut.
Referensi Jurnal:
Limin Santoso dan Yudha Tri Nugraha. [2007] ‘Pengendalian Penyakit Ice-Ice Untuk Meningkatkan Produksi Rumput Laut Indonesia’. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 3 No. 2, hlm. 37 -43.
Supatno, Wahyu Andy Nugraha, Insafitri [2010] ‘Populasi Bakteri Pada Rumput Laut [Eucheuma Cottoni] yang Terserang Penyakit Ice-Ice’. Jurnal Kelautan Vol. 3 No.2.