Mongabay.co.id

Rapor SDGs Indonesia dan Peran Sektor Swasta

Bulan Juni 2023, dunia kembali mendapatkan suguhan data yang penting. Sejak tiga tahun lampau kita menyaksikan bahwa upaya global dalam menggapai keberlanjutan melalui pembangunan tidaklah memuaskan, kalau bukan malah bisa dikatakan mengkhawatirkan. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya sudah dikeluhkan oleh para pakar bahwa dunia tak cukup sungguh-sungguh dalam mengupayakan pembangunan berkelanjutan, wabah COVID-19 menambah berat perjuangan untuk mencapainya. Bukan saja beberapa Tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menjadi stagnan, sebagiannya malah seperti mundur beberapa tahun.

Dalam gambaran global yang muram seperti itu, Indonesia adalah salah satu di antara sedikit negara yang beruntung. Dalam kondisi didera wabah global itu, antara 2020 hingga 2022 kita terus mengalami peningkatan peringkat SDGs. Tadinya kita ada di peringkat 101 di tahun 2020. Setahun kemudian, ketika banyak negara mengalami kemerosotan skor, kita bisa memertahankannya, bahkan naik tipis, sehingga peringkat Indonesia menjadi 97. Tahun berikutnya, 2022, kita kembali mengalami kenaikan peringkat yang signifikan, yaitu ada di 82. Naik 15 peringkat dalam setahun jelas adalah prestasi yang mengagumkan.

Oleh karena itu, mereka yang bekerja mendorong keberlanjutan di Indonesia merasa harap-harap cemas ketika dokumen Sustainable Development Report 2023: Implementing SDG Stimulus hendak terbit. Mereka semua seperti menahan nafas dan sangat ingin mengetahui apakah kita bisa naik lagi, sekadar memertahankan peringkat, atau sebaliknya, malah mengalami kemerosotan.

Syukurlah, ketika laporan itu terbit, dan datanya dibuka, kita kembali seperti mendapatkan hadiah. Kita kini berada di peringkat 75, alias naik lagi 7 peringkat dalam 1 tahun. Tentu ini perlu disyukuri, lantaran rapor ini bukanlah pemeringkatan yang asal-asalan. Pimpininan penulisnya adalah salah satu ‘dewa’ dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu Jeffrey Sachs. Dia mustahil main-main dengan data. Kalau dia dan para peneliti handal di dalam timnya bilang bahwa keberlanjutan di Indonesia itu peringkatnya membaik, kita bisa sungguh berharap memang itu adalah kondisi objektifnya.

baca : Sektor Pertambangan dan SDGs: Kawan atau Lawan?

 

Lahan Basah Mesangat Suwi [LBMS] di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Kalau kita melihat dengan lebih detail laporan itu, kita menjadi mafhum atas apa saja yang membuat peringkat Indonesia itu membaik. Sesungguhnya, kenaikan nilai Indonesia tidaklah sespektakular peningkatan peringkat itu. Artinya, sangat mungkin yang terjadi adalah banyak negara mengalami kesulitan yang lebih besar, dan itu membuat nilai dan peringkat mereka memburuk. Maka, Indonesia yang dari nilai lebih terlihat seperti bertahan, atau naik secara sangat perlahan, peringkatnya terus membaik seakan kita mengalami loncatan kinerja.

Kondisi tersebut juga menegaskan bahwa pekerjaan rumah kita jelas masih banyak. Peringkat 75 dari 166, yang kita peroleh tahun ini, sebetulnya bukanlah posisi yang hebat. Dari 17 Tujuan SDGs, rapor kita masih merah di 6 Tujuan, 8 Tujuan mendapatkan warna oranye, sementara yang kuning ada 3 Tujuan. Belum satupun Tujuan mendapatkan warna hijau, yang artinya di tahun ini belum ada Tujuan di tahun 2030 yang sudah tercapai. Yang terdekat dari pencapaian, alias yang mendapatkan warna kuning, itu adalah SDG4 (pendidikan), SDG12 (produksi dan konsumsi yang berkelanjutan), dan SDG13 (iklim).

Dengan membandingkan kondisi 2022 dengan 2023 kita juga bisa mendapatkan gambaran lebih jauh. Tahun lalu, bahkan dari tahun sebelumnya, SDG7 (energi bersih) kita sudah oranye, kini malah kembali menjadi merah. Yang membaik adalah SDG11 (kota dan pemukiman yang berkelanjutan) dan SDG17 (kemitraan). Tetapi, ini sebetulnya belumlah bisa dinyatakan sebagai kemajuan yang signifikan. Rapor kita di tahun 2021 atas SDG 11 memang merah, namun SDG17 sebetulnya pernah oranye di tahun 2021, kemudian terpukul mundur kembali menjadi merah di tahun 2022. Artinya, pada beberapa Tujuan mungkin kita masih berada pada wilayah yang rawan untuk turun. Upaya yang sungguh-sungguh dari seluruh pemangku kepentingan pembangunan sangatlah diperlukan untuk mencegah agar kita tak lagi terpeleset ke zona merah.

Agar kita tak terpeleset, hal terpenting mungkin adalah seberapa kuat institusi kita menopang dan mengarahkan kita semua kepada pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, sesungguhnya wajar kalau banyak pakar yang mengkhawatirkan Indonesia. Soal institusi ini ada di SDG16 (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kokoh). Bukan saja pada Tujuan ini kita mendapatkan nilai rapor merah, melainkan juga dinyatakan tak ada kemajuannya dibandingkan tahun lalu. Pada tahun 2021 dan 2022, nilainya memang merah, namun kecenderungannya menunjukkan peningkatan. Maka, stagnasinya di tahun ini sesungguhnya memang membuat khawatir.

baca juga : Sampah Plastik, Laut Tercemar, dan Target SDGs

 

Pencakar langit di Ibukota Jakarta. Indonesia juga tak luput dari wabah COVID-19, warga diminta untuk berdiam diri di rumah. Foto: Yohanes

 

Kalau ditilik secara lebih saksama, ada empat indikator institusional yang membuat nilai kita stagnan, dan membuat kemajuan pada indikator lainnya menjadi kurang berarti. Indeks Persepsi Korupsi kita terus berada pada titik yang rendah, yaitu hanya 34 dari 100. Demikian juga Indeks Kebebasan Pers, yang cuma mendapat ponten 54,8. Dalam indikator Akses dan Afordabilitas terhadap Keadilan, nilai kita persis separuh dari nilai maksimal, dan demikian juga dalam Ketepatan Waktu dalam Prosedur Administratif. Bisakah keberlanjutan kita capai secara optimal dalam atmosfer yang koruptif, pers yang terkekang, keadilan yang relatif belum merata, dan pengurusan administratif yang bertele-tele? Tentu sangat sulit.

Hal yang juga sangat penting untuk diingat adalah bahwa SDGs ini bukanlah tanggung jawab pemerintah semata. Pemerintah memiliki sumberdaya yang terbatas. Dari lebih dari Rp20.000 triliun perkiraan GDP Indonesia di tahun ini, pemerintah hanya berkontribusi sedikit di atas Rp3.000 triliun saja. Jauh lebih besar sumberdaya finansial yang berada di luar pemerintah—yaitu di perusahaan dan masyarakat—yang bisa dipergunakan untuk mendorong pencapaian SDGs yang lebih tinggi lagi. Artinya, kesenjangan dalam sumberdaya pencapaian SDGs sesungguhnya perlu benar-benar ditutupi oleh aktor pembangunan non-pemerintah.

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi perusahaan—komersial maupun sosial—untuk mengarahkan bisnis intinya untuk menjadi semakin berkelanjutan. Bisnis berkelanjutan berarti membuat uang bekerja untuk, dan bukan menentang, pencapaian satu atau lebih Tujuan SDGs. Demikian juga, masyarakat bisa membantu pencapaian SDGs dengan membelanjakan dan menginvestasikan uangnya dalam pilihan-pilihan yang juga berkelanjutan. Tentu saja, dukungan pemangku kepentingan lain, seperti negara sahabat, lembaga multilateral, tetap dibutuhkan; tetapi tanpa aktor pembangunan dalam negeri sendiri yang mengarahkan diri pada keberlanjutan, kita akan makin tertatih mencapai SDGs.

baca juga : Opini : Lingkungan dalam Logika Keberlanjutan SDGs

 

Alat berat mengangkut sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Kota Bekasi, Jawa Barat. Setiap harinya ada 1.200 truk mengangkut sekitar 7.000-7.500 ton sampah dari Jakarta.Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Perusahaan di Indonesia, karenanya sangat penting untuk semakin mendekatkan bisnisnya pada SDGs. Dari sudut pandang ini, ke mana saja fokus upaya perusahaan harus diarahkan? Walaupun seluruh Tujuan SDGs itu perlu dihijaukan, namun dalam waktu yang tersisa hingga 2030 mendatang, jelas perusahaan-perusahaan komersial dan sosial perlu melihat di mana saja rapor kita masih merah, dan menguatkan usaha untuk berkontribusi membantu peningkatan kinerjanya. Dari laporan yang baru terbit itu, kita tahu bahwa SDG2 (kelaparan), SDG3 (kesehatan), SDG7 (energi bersih dan terjangkau), SDG14 (kehidupan di air), SDG15 (kehidupan di darat), dan SDG16 adalah yang masih sangat tertinggal.

Oleh karena itu, bisnis yang bisa memajukan ketersediaan dan keamanan pangan, meningkatkan kesehatan, menyediakan energi bersih dalam harga yang terjangkau, serta restorasi dan regenerasi ekosistem perairan dan daratan sangat perlu dibangun. Bisnis juga sangat perlu untuk turut membangun institusi yang makin bersih dan demokratis.

Sebaliknya, bisnis yang membahayakan keamanan pangan, yang meningkatkan beban kesehatan masyarakat, yang memertahankan energi kotor, yang merusak daratan dan lautan, juga yang koruptif dan menggerogoti demokrasi, haruslah disingkirkan dari Indonesia. Sebab, bila mereka dibiarkan eksis dan beroperasi, kemajuan-kemajuan dalam SDGs tak akan pernah bisa menjadi optimal. Kalau perusahaan-perusahaan seperti itu dipertahankan, atau bahkan semakin kuat pengaruh politiknya, di tahun-tahun mendatang, celakalah Indonesia. Sebaliknya, bila perusahaan-perusahaan bisa menjadi semakin berkelanjutan, maka akselerasi pencapaian SDGs bakal kita saksikan sambil tersenyum.

 

 

*Jalal, Provokator Keberlanjutan, Pendiri A+ CSR Indonesia; Ketua Dewan Penasihat Social Invesment Indonesia. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version