Mongabay.co.id

Hak Atas Air Terpasung, Beban Perempuan di Tengah Bayang-bayang Tambang

 

 

 

Pertambangan, apapun jenisnya memberikan daya rusak serius pada penghidupan rakyat dan lingkungan sekitar, terutama dalam akses air. Pihak yang paling terpinggirkan sebagai konsekuensi dari akses air adalah perempuan. Merekalah banyak menanggung beban kerja domestic seperti mengambil air untuk keperluan rumah tangga.

Kajian Irianti dan Prasetyoputra (2019) menunjukkan, 42,3% rumah tangga yang dikaji mengantungkan peran perempuan dewasa dalam mengambil air dari sumber air di tengah minimnya penyediaan air dari pemerintah. Sebanyak 1,57% rumah tangga bahkan mengandalkan anak perempuan dalam mengambil air (Irianti & Prasetyoputra, 2019).

Jadi, kerusakan sumber air karena tambang otomatis akan berdampak langsung pada beban yang ditanggung perempuan dalam rumah tangga.

Perempuan menjadi makin tak memiliki keleluasaan dalam memenuhi penghidupannya dan makin bertambah beban mereka dalam fungsi produksi (kerja upahan) serta reproduksi (kerja dalam rumah tangga). Peran perempuan dalam ranah domestik apalagi selama ini tidak pernah diakui sumbangsihnya dalam perspektif “ekonomi” dengan melihat ranah domestik sebatas tempat konsumsi. Padahal,  perempuan berperan penting dalam menopang penghidupan keluarga seperti dalam pengambilan air (Ford & Parker, 2008).

Struktur pengetahuan dari masyarakat maupun pemerintah sejak Orde Baru, bahkan melanggengkan peran perempuan sebatas menjadi “pelengkap suami” dan terbatas pada kerja rumah tangga.

Persoalan serius muncul karena beberapa perempuan kemungkinan juga harus menambah sumber pendapatan keluarga dengan mengambil pekerjaan lain termasuk yang terkait mata rantai pertambangan di tengah beban mereka dalam rumah tangga.

Lebih lanjut berupaya melihat berbagai beban reproduksi dan produksi perempuan yang muncul akibat terganggunya akses air akibat tambang. Lebih lanjut berupaya melihat dilema kondisi perempuan yang (terpaksa) bertahan hidup menjadi bagian mata rantai tambang atau justru sepenuhnya menentang pertambangan untuk mempertahankan “kondisi yang dianggap baik” atau bahkan justru termarginalkan akibat aktivitas pertambangan.

“Kondisi kekalahan” rakyat karena pertambangan menjadi situasi paling sulit yang dihadapi perempuan dan biasa memang dimulai dari gangguan akses air.  Kondisi ini, misal, dihadapi perempuan Desa Long Loreh, Malinau Selatan, Kabupaten Malinau sebagai akibat dari sungai yang tercemah limbah operasi tambang batubara (Shahbanu et al., 2018a).

 

Baca juga: Para Perempuan Poco Leok Pertahankan Tanah dari Proyek Geothermal

Perempuan di Wawonii mencuci peralatan makan dan perlengkapan dapur menggunakan air keruh yang tercemar lumpur. Perempuan yang banyak memegang peran domestik, terdampak pertama ketika air bersih mereka tercemar. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Pencemaran sungai membuat hasil produksi pertanian tak lagi memadai dalam menopang penghidupan keluarga di Long Loreh. Dampaknya, perempuan harus ikut mencari penghasilan tambahan dengan menanam sayuran untuk dijual di tengah beban rumah tangga mereka.

Kerusakan Sungai Malinau membuat mereka harus menempuh jarak sekitar 20 menit dengan motor untuk keperluan irigasi. Padahal,  warga mengantungkan anak sungai yang dekat rumah sebelum tercemar limbah batubara.

Perusahaan batubara berupaya memberikan akses air PDAM kepada warga sebagai “kompensasi,” namun air baku yang diambil tetap berasal dari sungai yang tercemar serta aliran air tak selalu lancar.

Kerusakan sungai dampak limbah batubara membuat warga harus menempuh jarak lebih jauh ke ladang selama 2-3 jam dari kampung. Padahal,  sebelumnya hanya berjarak 10-20 menit dengan jalan kaki.

Perusahaan tambang berupaya “memfasilitasi” rakyat dengan menyediakan sopir dan truk untuk transportasi bagi warga ke ladang. Beban perempuan justru makin bertambah karena badan mereka jadi mudah lelah karena selama satu jam bahkan lebih harus berdiri di dalam truk. Pekerjaan mereka dalam bertani pun jadi tak maksimal karena sudah kelelahan (Shahbanu et al., 2018a).

Akses air PDAM yang kurang memadai sebenarnya hanya tersedia di desa-desa hilir Sungai Malinau. Mereka di bagian hulu sungai terpaksa harus membeli air dari anak sungai yang belum tercemar limbah. Mereka yang tak punya pilihan lain harus mandi ke sungai dengan risiko merasakan gatal-gatal satu sampai dua jam setelah mandi.

Air sungai tak lagi bisa untuk memasak hingga perempuan harus berkendara selama 10 menit menuju anak sungai yang belum tercemar dengan terbatas hanya bisa mengambil dua sampai tiga jerigen. Kebutuhan air yang banyak terkadang membuat mereka harus bolak-balik (Shahbanu et al., 2018a).

Kondisi yang hampir mirip dihadapi warga di Kelurahan Jawa, Sanga-sanga, Kutai Kartanegara, dengan efek pencemaran sudah sampai merusak sumur-sumur rakyat. Hal ini terjadi karena limbah tambang dialirkan melalui drainase yang melewati permukiman dan jarak pertambangan dekat dengan rumah warga.

Temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bahkan menunjukkan sumur-sumur warga memiliki kandungan asam melebihi standar baku mutu dan ada yang mongering (Affandi et al., 2023).

 

Para petani perempuan yang bertahan dan bertekad tak mau ada tambang batubara di Desa Sumber Sari. Foto: Abdallah Naem/ Mongabay Indonesia

 

Dampak luar biasa dirasakan warga karena sumur biasa untuk keperluaan memasak, mencuci bahkan bahan baku usaha air minum. Air asam tambang membuat air sumur menjadi keruh, berbau dan “sedikit berasa.”

Warga bahkan rentan terkena limpasan banjir dari buangan air buangan tambang yang dapat merusak perabotan rumah tangga. Banjir pun menambah beban perempuan dengan harus menyediakan waktu dan tenaga untuk membersihkan sisa lumpur yang masuk ke dalam rumah (Affandi et al., 2023). Dengan demikian, beban reproduksi bertambah tak hanya soal pemenuhan kebutuhan air, tetapi juga keselamatan mereka.

Warga harus meninggikan rumah dan membangun tanggul dengan biaya sendiri. Sedangkan perusahaan hanya mengirimkan petugas untuk mengetuk pintu rumah warga saat curah hujan tinggi. Hal ini dilakukan karena perusahaan enggan menanggung kerugian dampak kerusakan lingkungan.

Perusahaan juga berupaya membangun citra dengan memberikan “tali asih,” namun dengan nominal terus menurun.

Perempuan yang bekerja sebagai buruh cuci, jadi salah satu pihak yang dirugikan dari sumur yang tak bisa dimanfaatkan lagi. Perusahaan hanya memasangkan akses air PDAM, warga tetap harus membayar sendiri. Beban perempuan yang bekerja menjadi buruh cuci makin bertambah.

Air PDAM juga tak dapat dikonsumsi, hingga perempuan harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli air. Perempuan yang lebih marjinal harus menampung air hujan untuk kebutuhan mandi dan cuci (Affandi et al., 2023).

Situasi tak kalah pelik harus dihadapi perempuan di Desa Kota Niur, Bengkulu.  Perbedaannya, mereka terpaksa menjadi bagian dari mata rantai tambang batubara untuk bertahan hidup.

Para perempuan terpaksa menjadi para pengumpul limpasan batubara yang terbawa aliran air sungai akibat sawah-sawah sudah rusak dan siklus air sudah kacau akibat operasi tambang di desa mereka (Shahbanu et al., 2018b).

Limpasan batubara di sungai pada dasarnya menunjukkan buruknya praktik operasi tambang di lokasi itu dan mengubah cara perempuan berinteraksi dengan siklus air serta daerah aliran sungai. Hujan justru dianggap “berkah” bagi perempuan di Kota Niur karena membawa limpasan batubara yang dapat dikumpulkan warga.

 

 

Aktivis perempuan dan lingkungan Aleta Baun saat berbicara pada peluncuran Pesta Rakyat Flobamoratas di Aula El Tari Kupang, NTT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sungai yang sudah berwarna pekat pun terpaksa digunakan warga untuk mandi saat terjadi kemarau panjang pada 2015. Aktivitas mengumpulkan batubara juga menjadi sumber pendapatan saat menunggu panen kopi dan karet. Batubara juga memiliki harga relatif stabil di tengah kondisi harga karet yang terus menurun (Shahbanu et al., 2018b).

Perempuan berhadapan dengan risiko keselamatan kerja saat mengumpulkan batubara. Pengumpulan batubara malam hari memiliki risiko hanyut terbawa arus lebih besar dibandingkan siang hari.

Pengumpulan batubara di dekat mesin penghancur juga membuat perempuan rentan tertimbun runtuhan berukuran besar. Beban perempuan makin bertambah setelah lingkungan rusak, mereka jadi kesulitan menyeimbangkan peran produksi dan reproduksi berbeda dengan saat sawah-sawah mereka belum rusak (Shahbanu et al., 2018b).

Perempuan yang terpaksa menjadi bagian mata rantai tambang dirasakan pula di Gampong Gunung Ketek, Kabupaten Aceh Selatan, ibu rumah tangga mencari tambahan penghasilan menjadi penambang kerikil. Juga di Gampong Gunung Ketek karena proses penambangan mengandalkan air sungai dan bergantung pada musim penghujan (Sundari, 2019). Kerikil yang terbawa air saat musim penghujan menjadi “berkah” tersendiri bagi perempuan.

Perempuan ada yang ikut bertugas menaikkan kerikil ke truk pengangkut untuk menambah penghasilan.

Perempuan menjadi penambang karena tingkat pendidikan rendah dan tak bisa mengakses pekerjaan “lebih baik.” Perempuan memiliki tingkat pendidikan rendah karena kemampuan orangtua mereka untuk menyekolahkan pada jenjang lebih lanjut sangat terbatas dan sejak kecil harus ikut mencari penghasilan.

Suami yang memiliki pendapatan terbatas maupun perempuan yang berubah status menjadi janda menjadi pendorong lain mereka menjadi penambang. Para perempuan Gunung Ketek, sebenarnya sadar tindakan mereka sudah merusak dasar sungai dan menghambat laju aliran air hingga berdampak pada penurunan pendapatan (Sundari, 2019).

Penambangan pasir dan batu oleh perempuan juga dilakukan di Daeah Aliran Sungai Gendol, Kabupaten «Sleman. Mereka mengandalkan kekuatan fisik dan umur dalam menyambung hidup.

Kesulitan perempuan mencari sumber penghidupan lain sama-sama menjadi penyebab mereka memilih menjadi penambang. Perempuan yang menjadi penambang berada pada usia produktif antara 30-50 tahun dan memiliki tingkat pendidikan rendah (Hastuti, 2017).

Perempuan juga memiliki penguasaan lahan terbatas yakni di bawah 1.000 meter persegi dan memiliki status “keluarga pra sejahtera.” Mereka di sungai Gendol sebenarnya juga menyadari tindakan itu membuat erosi di hulu, meningkatkan risiko longsor, bahkan menyebabkan sumber mata air berkurang. Tak punya pilihan lain, mereka terpaksa terus meneruskan menambang. (Hastuti, 2017).

Situasi berbeda di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, di mana perempuan justru menentang penambangan untuk mempertahankan sumber penghidupan termasuk air.

Rencana penambangan marmer di Gunung Mutis, NTT ditentang keras perempuan karena ikatan mereka dengan alam sebagai sumber air dan bahan perwarna alami bagi tenun-tenun mereka. Perempuan yang berhubungan langsung dengan penggunaan air dalam kebutuhan rumah tangga menjadi pihak utama yang menentang penambangan sejak 1999 dipimpin Aleta Baun (Nagari, 2020).

Perempuan datang ke rumah penduduk untuk mengajak sesamanya berjuang “menduduki” lokasi penambangan.

 

Para perempuan Pocoleok, protes rencana pembangunan pembangkit panas bumi yang akan terdampak bagi lahan adat mereka. Foto: Anno Susabun

 

Tak hanya rentan mendapatkan represi, perjuangan perempuan menghadapi tantangan dari struktur sosial yang masih menganggap mereka tak selayaknya menjadi pemimpin.

Aleta Baun akhirnya berhasil menggalang dukungan ratusan penduduk desa dengan 150 perempuan melawan dengan menenun di depan pintu lokasi tambang pada 2006.

Perempuan dan pria berbagi peran dalam perlawanan. Perempuan menenun dari pagi hingga sore, sedangkan saat malam hari para pria tidur di lokasi tambang.

Pria bertugas bergantian melakukan pekerjaan domestik saat perempuan melakukan perlawanan (Nagari, 2020). Perjuangan mereka membuahkan hasil pada tahun 2007 setelah mendapat perhatian pemerintah.

Perlawanan perempuan di Gunung Mutis, NTT muncul juga KARENA karena pengetahuan Suku Mollo yang memandang kesatuan manusia dengan alam. Strategi yang diambil perempuan di Mollo pun salah satunya dengan mengeluarkan payudara untuk menunjukkan apabila tanah diambil sama dengan air susu ibu juga diambil. Mereka tak bisa menyusui lagi.

Aleta Baun mengibaratkan air, hutan, batu, dan tanah selayaknya tubuh manusia. Tanah layaknya daging, air sebagai darah, hutan dianggap urat nadi dan rambut, serta batu selayaknya tulang (Dalupe, 2020).

Metafora ini muncul untuk menunjukkan bahwa penambangan sama saja merenggut nyawa manusia.

Perjuangan perempuan di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah dilakukan dengan dasar yang mirip dengan memandang bahwa alam adalah gambaran dari seorang ibu. Ibu akan melahirkan anak, sedangkan bumi sebagai “ibu” melahirkan air, tanaman, dan hasil alam lainnya bagi warga sekitar.

Perempuan di Kendeng juga membayangkan air selayaknya darah, tanah dianggap sebagai tulang, dan hutan dipandang jadi rambut (Puspitasari, 2017). Masuknya penambangan untuk peruntukan pabrik semen ditakutkan perempuan bisa menyebabkan hilangnya sumber air yang selama ini mereka ambil “secara cuma-cuma.”

Pekerjaan perempuan Kendeng yang sebelumnya mengurus urusan rumah tangga dan memberi makan ternak dikerjakan suami saat para perempuan protes sampai ke Jakarta (Puspitasari, 2017).

Perempuan bahkan mengecek sumber mata air yang rentan terdampak tambang. Temuan warga menunjukkan, ada perbedaan mata air yang tertera dalam Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dengan kondisi lapangan. Amdal perusahaan menyebutkan hanya ada Sembilan gua, sedangkan temuan warga ada 64 gua. Amdal menyebutkan,  ada 40 mata air, padahal di lapangan terdapat 125 sumber air (Komnas Perempuan, 2019).

Amdal juga tak menyebutkan ponor, padahal temuan warga menunjukkan ada 28 titik ponor. Penambangan semestinya tak bisa dilakukan apabila terdapat ponor. Ponor merupakan tempat resapan air sebelum masuk ke sungai bawah tanah dan menjadi “aset sosial.”

Perempuan memiliki perhitungan sendiri berbasis pengetahuannya. Keluarga petani perlu 500 liter air untuk kebutuhan rumah tangga, irigasi dan ternak. Mata air yang terancam otomatis akan memengaruhi keseluruhan penghidupan (Komnas Perempuan, 2019).

Beban produksi dan reproduksi perempuan dampak tambang tak terlepas dari tanggungan mereka dalam mencukupi air bagi keperluan keluarga.

Mereka yang terpaksa jadi bagian mata rantai tambang maupun perempuan yang tersingkir memiliki relasi yang berbeda, di mana terpaksa harus ikut memilih strategi bertahan hidup lain di tengah siklus hidrologi yang rusak karena penambangan.

Berbeda dengan perempuan-perempuan yang berupaya menentang penambangan, mereka justru ingin menjaga siklus hidrologi yang sudah ada untuk memastikan kebutuhan air mereka tetap terpenuhi.

Beban reproduksi yang meningkat dirasakan baik mereka yang tersingkir, terpaksa jadi bagian dari mata rantai tambang, maupun yang menentang.

Masuknya tambang bersama struktur sosial yang tetap bertahan di tengah ketiadaan penyediaan layanan air bagi rakyat pada dasarnya membuat perempuan terus berada pada kondisi sulit sebagai pengambil air bagi keluarganya.

 

Aksi para Kartini Kendeng, termasuk Giyem, menyemen kaki di depan Istana Negara, menuntut penutupan tambang dan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Sungai di Wawonii tercemar ore nikel. Ketika sumber air bersih terganggu, perempuan paling pertama terdampak. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

*****

 

Daftar Pustaka:

 

Affandi, A. A., Sihombing, M., & Jari, T. (2023). Dari Wisata Juang Menuju Kota Limbah Tambang. Jaringan Advokasi Tambang.

 

Dalupe, B. (2020). Dari Hutan Ke Politik Studi Terhadap Ekofeminisme Aleta Baun Di Mollo-NTT. Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Jakarta, 5(2), 31–51.

 

Ford, M., & Parker, L. (2008). Thinking about Indonesian Women and Work. In M. Ford & L. Parker (Eds.), Women and Work in Indonesia (pp. 1–16). Routledge.

 

Hastuti. (2017). Perempuan Penambang Pasir Dan Batu Di Daerah Aliran Sungai Gendol (Quovadis Strategi Bertahan Hidup Dan Kerusakan Lingkungan Di Lereng Merapi). Palastren, 10(1), 109–126.

 

Irianti, S., & Prasetyoputra, P. (2019). The struggle for water in Indonesia: the role of women and children as household water fetcher. Journal of Water, Sanitation and Hygiene for Development, 9(3), 540–548.

 

Komnas Perempuan. (2019). Laporan Pemantauan Isu HAM Perempuan dalam Konflik Pertambangan Rencana/Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah.

 

 

Nagari, H. P. (2020). Gerakan Sosial Ekofeminisme Melawan Penambangan Marmer di Gunung Mutis Nusa Tenggara Timur. International Journal of Demos, 2(1), 58–67.

 

Puspitasari, D. (2017). Gerakan Perempuan Melawan Korporasi Tambang (Studi Perspektif Gender di Pegunungan Kendeng Utara, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah). Universitas Airlangga.

 

Shahbanu, A., Indriadi, D., Pratiwi, I., Jekson, J., Jamil, M., Rupang, P., Maimunah, S., GEB, T., & GEB, T. (2018). Perusakan Ekosistem Sungai, Ironi Kabupaten Konservasi Malinau. In A. Shahbanu & S. Maimunah (Eds.), Oligarki Ekstraktif dan Penurunan Kualitas Hidup Rakyat “Bagaimana Kuasa Oligarki Ekstraktif Batubara Membuat Negara Abai Bersama Menurunnya Kualitas Hidup Warga” Studi Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Malinau dan Kota Samarinda (pp. 21–43). Jaringan Advokasi Tambang.

 

Shahbanu, A., Indriadi, D., Pratiwi, I., Jekson, J., Jamil, M., Rupang, P., Maimunah, S., GEB, T., & Siagian, U. A. (2018). Jebakan Pemiskinan, Industri Batubara & Perusakan DAS Bengkulu. In A. Shahbanu & S. Maimunah (Eds.), Oligarki Ekstraktif & Penurunan Kualitas Hidup Rakyat “Bagaimana Kuasa Oligarki Ekstraktif Batubara Membuat Negara Abai Bersama Menurunnya Kualitas Hidup Warga: Studi Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Malinau dan Kota Samarinda” (pp. 43–59). Jaringan Advokasi Tambang.

 

Sundari, V. A. (2019). Keterlibatan Perempuan Dalam Usaha Penambangan Kerikil Di Gampong Gunung Ketek Kecamatan Samadua Kabupaten Aceh Selatan (Universitas Islam Negeri AR-Raniry).

 

 

*Tulisan Anggalih Bayu Muh Kamim ini merupakan juara kedua Lomba Artikel Hari Anti Tambang kolaborasi antara  Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia.id dan Mongabay Indonesia.

Exit mobile version