Beberapa perempuan tengah menonton video di layar telepon genggam Nono, anak Heribertus Jebatu, di Desa Lungar, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 4 Maret 2023.
Mereka sesekali tersenyum, tertawa, kadang serius dengan raut wajah antara sedih dan marah. Pada detik ke sekian video itu berputar, Elisabeth Lahus berkomentar.
“Kami tidak pernah takut berjuang untuk masa depan anak dan cucu-cece kami.”
Para perempuan di rumah Jebatu ini sedang melihat rekaman aksi mereka ketika menghadang Bupati Manggarai, Heribertus Nabit, yang hendak berkunjung dan mengadakan ‘pendekatan alias sosialisasi geothermal’ di kampung itu 27 Februari lalu.
Lungar adalah satu dari 14 kampung adat di Poco Leok, yang sedang dipersiapkan pemerintah pusat untuk pengembangan pembangkit panas bumi (PLTP) Ulumbu V dan VI.
Situasi kampung-kampung dalam tiga desa di Poco Leok itu memang ‘agak lain’ menurut pengakuan warga pasca SK Nomor HK/417/2022 pada 1 Desember 2022 beredar. Surat keputusan ini berisi penetapan lokasi geothermal Poco Leok oleh Bupati Manggarai.
Korida Jehanut, istri Jebatu bersama Elisabeth pagi itu tidak mengingat persis sudah berapa kali mereka menghadang aktivitas pemerintah dan perusahaan di wilayah itu.
“Baru kali ini banyak kaum perempuan dan ibu-ibu terlibat dalam aksi seperti ini,” katanya, menyebut aksi 27 Februari lalu itu.
Aksi hari itu kali ketujuh warga protes pemerintah dan perusahaan. Pertama kali warga Kampung Lungar, Tere, Golo Rua, dan Rebak, menghadang dua mobil milik PT PLN, yang mengerjakan geothermal Ulumbu dan Poco Leok, di simpang Lungar pada 8 Februari 2023.
“Mereka bilang datang untuk naikkan daya listrik di rumah warga,” kata seorang ibu.
Sejak itu, petugas PLN dan Pemerintah Manggarai rutin turun ke Poco Leok, meski selalu menghadapi protes dan hadangan warga, termasuk kaum perempuan.
Berbagai aktivitas perusahaan lakukan seperti pengukuran lahan untuk jalan yang akan dilalui kendaraan proyek.
Kedatangan tim PLN dan Pemerintah Manggarai ini didampingi aparat keamanan, dari polisi dan TNI. mMkin hari personil makin banyak.
Strategi penghancuran
Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi ‘kesal’ karena pendanaan program Just Energy Transition Partnership (JETP)—sebagai komitmen negara-negara dalam acara G-20 di Bali tahun lalu–, tidak kunjung ada kejelasan.
Di tengah ketidakpastian pendanaan JETP dan pemerintah sibuk memikirkan pendanaan lain dari dalam dan luar negeri, Gigih Udi Atmo, Direktur Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), yang menyusun rencana investasi komprehensif mengatakan, para donor tinggal memilih dari dokumen itu layaknya memilih menu di restoran.
Pernyataan seperti ini seakan lumrah di negeri ini, supremasi bisnis investasi mengendalikan otak pejabat, lalu hal-hal yang disebut sebagai ‘potensi pertumbuhan ekonomi’ pun diobral bagai barang jajanan.
Proyek geothermal Poco Leok, sudah jadi satu dari sekian menu yang sedang diobral pemerintah kepada korporasi dan negara-negara lain.
Bank pembangunan dari Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) dikabarkan menyatakan kesiapan mendanai proyek ini.
Dengan target kapasitas listrik 2 x 20 MW, naik dari 7,5 MW di PLTP Ulumbu saat ini, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mula-mula survei di 60 titik di kampung-kampung Poco Leok. Ia terdiri dari tiga desa, Lungar, Mocok, dan Golo Muntas.
Penelusuran di lapangan, pada 2 – 7 Maret 2023, wellpad D berada di tanah ulayat atau Lingko Tanggong milik warga Gendang Lungar, Wellpad F di Lingko Rembong milik warga Gendang Ncamar. kemudian, Wellpad G di Lingko Lapang milik Gendang Mocok. Wellpad E diduga berada di Lingko Pinis milik Gendang Lelak belum ditelusuri hingga kunjungan terakhir 28 April 2023.
Dalam catatan, survei lapangan potensi panas bumi Poco Leok oleh ahli geologi sudah sejak 1980-an (Teredi, Sukarno, dan Jaya, 2022).
Survei ini berhubungan dengan pembangunan PLTP Ulumbu, yang dikelola PT PLN, dengan anak perusahaan, PT Indonesia Power dan PT Cogindo Daya Bersama. Diresmikan pada 11 November 2011, pembangkit listrik yang diklaim memenuhi kebutuhan listrik di tiga kabupaten yakni, Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur ini mulai beroperasi Januari 2012.
Pada 2017, tahun sama ketika Menteri ESDM Ignasius Jonan menandatangani penetapan Flores sebagai Geothermal Island. Saat itu sosialisasi geothermal Pocoleok, perluasan PLTP Ulumbu, pertama kali di Kampung Mesir, Desa Lungar. Warga bilang, materi sosialisasi kala itu “semua serba baik, tidak ada hal buruk” yang disampaikan.
Sejak itu, petugas perusahaan makin leluasa survei di lahan-lahan warga. Warga mengaku “merasa tidak ada masalah.” Apalagi, wacana yang dibawa perusahaan selalu berkaitan dengan kemajuan, lapangan kerja, kesejahteraan, dan perluasan jaringan listrik. Warga mengaku merasa ‘terberkati’, walau sejak PLTP Ulumbu pada 2011, beberapa kampung di Pocoleok belum teraliri listrik, hingga kini.
Kedatangan tim survei perusahaan pada 2019-2020, menurut Tadeus Sukardin, juga tak mendapat respons resisten dari warga.
Situasi mulai berubah ketika pada 2021, informasi tentang pengeboran panas bumi di berbagai tempat di Indonesia dan luar negeri tersebar luas di kalangan warga Poco Leok.
“Kami membaca berita di media, menonton di televisi dan banyak platform video,” kata Agustinus Egot, warga Kampung Mesir.
Pada paruh kedua 2021, tim surveI PLN yang masuk ke lahan ulayat Lingko Lapang Masyarakat Adat Mocok dihadang, peralatan mereka disita dan dibawa ke rumah adat.
Alasannya, mereka masuk bagai pencuri ke lahan adat kami,” kata Petrus Jehaput, Tua Adat Gendang Mocok.
Setelah itu, sosialisasi makin gencar oleh PT PLN, Pemerintah Manggarai, juga aparat polisi dan TNI yang mengkawalnya. Acara adat Tabe Gendang juga diinisiasi PT PLN, bertujuan meminta maaf atas kelakuan mereka yang beraktivitas tanpa izin di lahan warga. Sebagian besar warga tak menerima inisiatif itu.
Hingga akhir 2022, beberapa kali sosialisasi di Poco Leok dan Ruteng, pusat Manggarai. Hal sama dari semua proses itu adalah “undangan hanya kepada sebagian kecil warga dan tokoh-tokoh penting yang mendukung dan mungkin mendapat keuntungan dari kegiatan ini,” ungkap warga.
Sosialisasi tak mempan mempengaruhi warga yang menolak ruang hidup rusak,. PLN dan Pemerintah Manggarai gemar mendekati secara pribadi pemilik lahan, yang menurut warga dilakukan “sembunyi-sembunyi.”
Perempuan Poco Leok melawan
“Baru kali ini banyak kaum perempuan atau ibu-ibu terlibat dalam aksi seperti ini,” kata Korida Jehanut. Pernyataan ini beralasan karena proses sosialisasi dan aktivitas lain dalam perluasan PLTP Ulumbu di Poco Leok selalu mengabaikan suara kelompok perempuan.
Maria Suryanti Jun, perempuan asal Kampung Mocok mengonfirmasi ini. Kaum perempuan seringkali “tidak tahu cara menolak geothermal karena tak mendapat tempat dalam forum-forum resmi” yang semua dihadiri kaum laki-laki.
Keresahan dan kegelisahan bersama yang makin memuncak membuat kaum perempuan di kampung-kampung Poco Leok mulai bermunculan.
Di Kampung Lungar dan Tere, beberapa kali aksi penghadangan petugas perusahaan dan Pemerintah Manggarai diikuti para ibu. Para perempuan juga aksi penghadangan Bupati Hery Nabit pada 27 Februari. Mereka berada di garis depan.
Kehadiran kelompok perempuan dalam forum dan aksi-aksi juga tampak di kampung-kampung lain, seperti Jong, Mesir, Cako, Nderu, Ncamar, Mori, Mocok, dan Mucu.
Beberapa pertemuan dengan kelompok perempuan ini menemukan, alasan paling mendasar dari penolakan mereka berhubungan dengan kosmologi orang Manggarai, yaitu kedaulatan atas tanah sebagai “ibu” dan langit sebagai “ayah” bagi kehidupan manusia.
Pertama, sebagaimana orang Manggarai, Flores memiliki pandangan kosmik tentang interrelasi langit dan bumi sebagai ‘ema’ atau ayah dan ‘ende’ atau ibu. Kaum perempuan Poco Leok yakin benar, kalau ekstraksi industri panas bumi akan membuat hancur ‘ibu bumi’.
Dengan begitu, keyakinan kosmik akan hubungan langit-bumi tak lagi akan jadi pegangan hidup bersama masyarakat adat.
Mengenai kosmologi ini, orang Manggarai mengenal beberapa ungkapan penting, misal, ‘langkok laing tana, tendeng laing awang’, yang menunjukkan bumi atau tanah sebagai tumpuan dan langit sebagai atap perlindungan. Selain itu, ada juga istilah ‘tana wa’n, awang eta’n’, atau tanah di bawah (tumpuan) dan langit di atas (tutupan).
“Tana hitu ende dami.” –tanah adalah ibu kami,” kata Elisabeth Lahus, perempuan Poco Leok. Menurut dia, sebagaimana hubungan perkawinan suami-istri atau ayah-ibu yang tak terpisahkan, begitupun langit dan bumi yang integral, akan cacat bahkan hancur kalau manusia berusaha memisahkan.
Pernyataan lain dari Yustina Nunjung, ibu asal Kampung Mocok. “Jika tanah itu terluka, hati kami kaum ibu juga terluka.”
Yustina menegaskan, kaum ibu di Poco Leok mengidentifikasi perempuan sebagai bumi, atas dasar kesamaan peran sebagai tumpuan hidup keluarga, dari urusan dapur hingga ladang untuk pangan.
Kedua, hal yang mendasari pandangan kosmik orang Manggarai, termasuk kaum perempuan Poco Leok ini adalah fungsi tanah atau bumi sebagai pemberi hasil pangan bagi kehidupan keluarga.
Ibu-ibu Poco Leok meyakini, tanah yang hancur karena ekstraksi panas bumi tak lagi akan menghidupi mereka yang selama ini dijamin hasil ladang untuk pangan dan hasil bumi lain.
Selama ini, mereka menanam kopi, cengkih, ubi, jagung, pisang, aren (tuak), dan lain-lain. “Untuk apalagi mengganggu tanah kalau hasilnya kehilangan hidup?” kata Maria Teme, ibu asal Kampung Lungar.
Ketiga, kedaulatan atas tanah sebagai pemberi hidup bagi orang Manggarai, tak terpisah dari konsep yang lebih besar tentang ruang hidup.
Ruang hidup dalam hal ini mencakup enam poin: gendang’n one (rumah gendang atau rumah adat), lingko’n peang (kebun ulayat), natas bate labar (halaman kampung sebagai tempat bermain). Lalu, compang (altar sesajian di tengah kampung), wae bate teku (mata air sumber hidup), dan boa (kuburan leluhur).
Kesatuan ruang hidup ini jadi dasar perlawanan perempuan Pocoleok. Alasannya jelas, kalau salah satu dari poin-poin itu hilang, maka suatu budaya atau kampung tak lagi memiliki arti penting.
Gendang sebagai simbol kampung tak lagi memiliki arti ketika lingko sudah tidak lagi digarap komunitas adat dari kampung itu. Natas labar juga tidak punya arti ketika ruang publik hanya menjadi tempat fisik tanpa diberi arti oleh compang sebagai altar sesajian. Tanpa wae teku sebagai sumber hidup, dan boa sebagai situs kuburan leluhur.
Maria Suryanti Jun, perempuan Poco Leok yang lain cemas kalau proyek geothermal menghancurkan mata air di sekitar kampung, misal, Wae Nobak, Lapang (sekitar 100 meter dari titik wellpad G), Sower, Kilo Manuk, Lanteng, dan Wae Ruka.
Begitu juga Wihelmina Sesam, asal Lungar, mengatakan, titik wellpad F terletak sangat dekat dengan kuburan leluhur di Bangka Mesir. Bangka adalah istilah untuk bekas kampung.
“Sebagai orang Manggarai, kita tentu tahu kubur leluhur tidak dapat begitu saja kita buang demi mendapatkan uang,” katanya.
Titik-titik pengeboran (wellpad) yang direncanakan perusahaan berada sangat dekat dengan poin-poin ruang hidup warga Poco Leok. Wellpad D ada di Lingko Tanggong dengan lebih dari tiga mata air, wellpad E di Lingko Pinis ang juga tempat mata air Wae Pinis, yang mengairi kehidupan, termasuk untuk warga di pantai selatan, luar Poco Leok. Kemudian, wellpad F di Lingko Rembong, 50 meter dari kuburan leluhur dan 100 meter dari Kampung Ncamar, dan wellpad G di Lingko Lapang ada lebih tiga mata air.
Pelajaran penting
Sementara pemerintah gencar mengobral ruang hidup warga Pocoleok sebagai “menu di restoran,” gejolak perlawanan warga makin meningkat. Kaum perempuan, yang aktif berperan dalam forum dan aksi-aksi sebetulnya sedang memberi pelajaran penting.
Pertama, di tengah derasnya arus patriarki, yang menjadi ciri khas masyarakat Manggarai, kaum perempuan ini tampil di garda terdepan untuk mempertahankan tanahnya. Secara kultural, kaum perempuan Manggarai tidak dilibatkan dalam urusan-urusan publik, termasuk dalam membicarakan kedaulatan atas tanah, hak ulayat, gendang, dan lain-lain.
Sebagai orang Manggarai, tentu merasa ada loncatan yang cukup aneh ketika kaum perempuan yang biasa hanya terlibat dalam urusan domestik (keluarga) akhirnya tampil mempertahankan tanah. Meski pewarisan aset budaya (tanah) mengikuti alur patrilinear (diwariskan kepada anak laki-laki), kaum perempuan Poco Loek berusaha keluar untuk membicarakan aset itu sebagai ruang hidup.
Sebab ancaman terhadap ruang hidup, pangan, dan keberlangsungan anak cucu tak hanya akan berdampak pada kaum laki-laki.
“Ini bukan tentang hak pewarisan, tetapi tentang kehidupan kami dan anak cucu kami nanti,” kata Maria Teme.
Kedua, perjuangan perempuan Pocoleok yang ‘hidup mati demi ruang hidup’ sebetulnya timbul dari keresahan bersama atas situasi yang kian genting. Karena pemerintah daerah hingga pusat tidak hadir sebagai pendengar suara publik malah jadi corong perusahaan. Kepentingan bisnis investasi, hal yang menyerang Flores dan Indonesia Timur belakangan ini, menutup telinga pemerintah terhadap berbagai teriakan warga yang terdampak proyek geothermal.
Tugas pemerintah adalah mendengarkan suara warga, dan untuk warga yang terancam itulah alasan mengapa pemerintahan atau negara ada.
Perjuangan kaum perempuan Poco Leok yang mempertahankan tanah dan ruang hidup dari ancaman proyek geothermal adalah tanda kalau ambisi investasi energi bersih yang diklaim sebagai pilihan terbaik oleh pemerintah tak akan berjalan mulus.
Bara perlawanan akan terus memanas, hingga semua pihak sadar dan yakin, tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan dan ruang hidup tidak dapat diobral segampang mengobral “menu di restoran.”
*Tulisan Anno Susabun ini merupakan juara pertama Lomba Artikel Hari Anti Tambang kolaborasi antara Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia.id dan Mongabay Indonesia.