Mongabay.co.id

Pemerintah Sebut Deforestasi Turun, Apa Kata Organisasi Lingkungan?

 

 

 

 

Pemerintah Indonesia melaporkan deforestasi periode 2021-2022 sebesar 104 ribuan hektar, turun dari periode sebelumnya seluas 113.500 hektar. Organisasi masyarakat sipil meminta pemerintah lebih transparan memberikan gambaran lebih utuh tentang situasi hutan alam Indonesia.

“Harus melihat khusus penyusutan hutan alam, terpisah dari penyusutan dan penanaman hutan tanaman,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dalam rilis kepada media, baru-baru ini.

Dia bilang, berbeda dari hutan tanaman monokultur hanya menghasilkan jasa ekosistem yang terbatas. Hutan alam, katanya,  memiliki banyak peran kritis bagi kehidupan.

Hutan alam berperan mengurangi risiko bencana, mencegah krisis iklim memburuk dan melestarikan keanekaragaman hayati. Kehilangan hutan alam juga bisa membuat kekayaan budaya masyarakat adat dan komunitas lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan hilang.

Walhi pun mempertanyakan aksi pemerintah memperhitungkan hutan tanaman industri (HTI) sebagai satu cara menyerap karbon atau mitigasi perubahan iklim.

“Itu logika salah. HTI tidak sama dengan hutan alam,” kata Uli Arta Siagian,  Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi.

Nadia pun menyerukan pemerintah membuka data kehilangan hutan alam di wilayah izin dan konsesi. Pasalnya, kajian Madami Berkelanjutan terkait deforestasi periode 2020-2021 menemukan jenis hutan alam sekunder sebagai paling rentan deforestasi.

Kajian sama memperlihatkan hutan alam hilang terbesar justru di kawasan hutan, terutama kawasan hutan produksi yang berkaitan dengan wilayah izin dan konsesi.

“Izin dan konsesi di Indonesia mengelola hutan alam dengan jumlah sangat besar.”

Kajian Madami menunjukkan,  62% hilangnya hutan alam terjadi di dalam izin dan konsesi. Sekitar 56.800-an hektar dari 73.800 hektar hutan alam hilang di dalam wilayah izin dan konsesi.“Tumpang-tindih perizinan menyulitkan upaya melihat izin atau konsesi mana yang menjadi pendorong utama susutnya hutan alam,” kata Nadia.

Belum lagi, hilangnya hutan alam karena proyek strategis nasional (PSN) seperti food estate perlu dikritisi lebih lanjut. Pasalnya, kajian Madami menemukan sekitar 2.000 hektar hutan alam hilang di area of interest food estate periode 2020-2021.

“Program ini rentan jadi penggerak deforestasi baru,” katanya.

Dalam kajian pun menyebutkam kalau kerentanan itu didukung keistimewaan regulasi setiap PSN, karena bisa di hutan produksi dan dapat lepas dari kawasan hutan. Juga bisa di kawasan hutan lindung dan produksi tanpa ada ketentuan tegas tak boleh mengonversi kawasan hutan alam dan ekosistem gambut.

 

Hutan Adat Bati yang sudah digusur oleh PT Balam Energy. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Hutan buat rakyat atau korporasi?

Uli mengatakan, deforestasi bisa lebih ditekan kalau akses hutan rakyat  lebih besar.

Dia percaya,  akses dan pengakuan hutan untuk rakyat bisa berkontribusi signifikan terhadap penurunan deforestasi.

Masyarakat adat dan komunitas lokal, katanya, tahu bagaimana cara menjaga alam dengan baik selama turun-temurun.

“Kami menemukan praktik-praktik baik ini di beberapa wilayah seperti di Bengkulu, Bantaeng, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat di bekas Perhutani, masyarakat bisa pulihkan kawasan itu,” katanya. Praktik seperti ini, kata Uli,  bisa dilakukan dengan massif lewat pemerintah.

Kalau mengacu data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) 2023, baru 3.206.703 hektar dari 25,1 juta hektar wilayah adat yang sudah ada pemetaan partisipatif mendapat status pengakuan dari pemerintah daerah. Walhi pun pada 2021 mencatat,  wilayah kelola rakyat yang mereka bina baru 1.040.659 hektar.

Pengakuan yang baru sedikit terhadap hutan masyarakat ini dinilai timpang ketimbang masih ada kuota deforestasi yang pemerintah siapkan 325.000 hektar per tahun dari 2020-2030 sebagaimana tertuang dalam dokumen  nationally determined contributions (NDC) terbaru. Angka ini, katanya,  bisa meningkat sampai 820.000 hektar per tahun kalau masih mempraktikkan business as usual.

“Tidak ada kepentingan rakyat di tengah  hampir 4 juta-an hektar lahan yang masih boleh terdeforetasi hingga 2030 itu,” ucap Uli.

Uli menyebut,  kuota deforestasi hingga 2030 hanya untuk memenuhi kebutuhan korporasi.

Ruandha A Sugardiman,  Plt. Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam media briefing daring menyebut,  kondisi tutupan hutan dan lahan bersifat dinamis, seiring kebutuhan lahan untuk pembangunan dan kegiatan lain.

“Perubahan tutupan hutan terjadi dari waktu ke waktu, antara lain karena konversi hutan untuk pembangunan sektor non kehutanan, perambahan dan kebakaran hutan maupun kegiatan rehabilitasi hutan,” katanya.

 

Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di Wawonii. Tutupan hutan pun terbabat. Foto: drone Riza Salman

 

Jaga hutan tersisa

Meskipun bisa menahan laju deforestasi, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam melindungi hutan alam tersisa. Sekitar 9,7 juta hutan alam di luar izin atau konsesi, area moratorium dan area yang dicadangkan untuk perhutanan sosial.

“Hutan alam yang belum terlindungi ini harus segera dilindungi melalui berbagai instrumen kebijakan seperti perluasan area moratorium ke seluruh hutan alam, termasuk yang kategori hutan alam sekunder,” kata Nadia.

Setengah dari hutan alam yang belum terlindungi, katanya, masuk dalam peta arahan pemanfaatan hutan (PAPH) untuk pemberian perizinan berusaha pemanfaatan hutan baru.

Tugas pemerintah adalah untuk memastikan izin yang terbit bukan untuk memanfaatkan kayu, melainkan sebatas jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu.

Selain itu, karena penguasaan hutan alam oleh perusahaan skala besar sudah sangat banyak, kata Nadia, pemerintah harus mengutamakan pengelolaan hutan bagi masyarakat.

 


Dalam pemaparan KLHK juga menyebutkan, luas lahan berhutan di seluruh daratan Indonesia sekitar 96 juta hektar atau 51,2% dari total daratan. Sekitar 92% atau 88,3 juta daratan berhutan berada di kawasan hutan.

“Tidak benar kalau dikatakan hutan kita sudah habis, karena masih ada 51,2%  daratan kita berhutan,” kata Belinda A Margono , Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK.

Dia menyebut,  pemerintah sudah melakukan aksi konkret dalam melindungi kawasan hutan, hingga bisa menurunkan deforestasi. Aksi ini antara lain penghentian pemberian izin baru di kawasan hutan primer dan gambut hingga pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Ada juga aksi reforestasi dalam periode 2021-2022 yang bisa menghasilkan area berhutan sebesar 15.416 hektar hingga KLHK bisa melaporkan deforestasi netto 104.000 hektar.

Meskipun demikian, Walhi menilai masih ada deforestasi sebagai hal yang menunjukkan komitmen iklim Indonesia masih lemah. Seharusnya, deforestasi di Indonesia sudah tidak boleh ada sama sekali.

“Karena kita tahu kalau perlu upaya keras untuk menahan laju kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat,” kata Uli.

Tutupan hutan di Pulau Mendol, yang masuk izin PT TUM. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version