Mongabay.co.id

PLTA Batang Toru: Jatuh Korban Jiwa Lagi, Sengketa Lahan pun Terjadi

 

 

 

 

Pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara,  berulang kali menelan korban jiwa. Pada  2 Juli lalu seorang pekerja tewas tertimpa batu dan masuk ke dalam jurang saat melintas mengendarai mobil di sekitar proyek pembangunan terowongan.

Seorang pekerja lain juga luka-luka cukup parah di beberapa bagian tubuhnya. Keduanya langsung dilarikan ke rumah sakit di Kota Padang Sidempuan untuk perawatan lebih lanjut.  Penyebab peristiwa ini masih dalam penyelidikan Kepolisian Tapanuli Selatan.

AKBP Imam Zamroni,  Kapolres Tapanuli Selatan mengatakan, masih melakukan penyelidikan lebih lanjut. Korban meninggal, Salman Lubis (24), warga Desa Panyabungan Tonga, Mandailing Natal. Korban luka-luka, Akbar Mustafa (28), warga Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan.

Dari pengumpulan data dan keterangan di lokasi,  peristiwa naas itu terjadi ketika Salman akan menjemput Akbar yang tengah mengukur di Adit II,   merupakan akses terowongan. Rencananya,  setelah itu akan lanjut pengukuran area Adit III.

Menaiki mobil Heluxe double cabin keduanya menuju ke lokasi pengukuran lain. Di tengah perjalanan, Salman yang melihat ada bebatuan besar di jalan yang mereka lintasi. Dia panik dan coba menghindar dari batu-batuan besar itu ke kanan namun menabrak tebing dan menghantam reruntuhan batuan-batuan di pinggir jurang.

Mobil beserta keduanya berguling beberapa kali. Setelah itu,  korban mencoba keluar dari mobil namun reruntuhan dan bongkahan batu besar jatuh ke jurang dan menghantam kepalanya hingga tewas. Sedangkan Akbar tetap berada di dalam mobil dan selamat namun bagian kepala mengalami luka karena terkena benturan.

Tempat kejadian antara Adit II dan Adit III di jalur K7+400. Mobil yang masuk ke jurang tersebut diketahui milik PT Sinar Angel Emas,  sub kontraktor PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), selaku pelaksana proyek.

“Pekerja lain yang melihat kejadian mencoba mengevakuasi kedua korban, kemudian melarikan ke rumah sakit untuk pertolongan lebih lanjut namun nyawa korban tidak tertolong,” kata Zamroni, baru-baru ini.

Lantas dari manakah bongkahan-bongkahan batu dengan ukuran besar itu? Menurut beberapa pekerja di sana,  area kejadian merupakan tempat pembangunan terowongan. Di lokasi itu banyak puing-puing bebatuan hasil peledakan bukit untuk membuat terowongan.

 

Baca juga: Proyek Bangun PLTA Batang Toru Jalan, Rumah Warga Rusak Bahkan Roboh

Longsor pada 2021 terjadi di area proyek PLTA BAtang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Belasan orang tewas

Dengan satu orang tewas lagi,  ini menjadi catatan panjang proyek pembangkit ini memakan korban. Data dari Polres Tapanuli Selatan dan Basarda Medan,  setidaknya sudah 18 orang tewas di lokasi proyek itu. Rinciannya, 13 orang tewas, dua dinyatakan hilang dalam peristiwa longsor di lokasi proyek pembangkit listrik tenaga air Batang Toru itu.

Selanjutnya,  dua pekerja asing asal negara Tiongkok juga tewas tertimbun reruntuhan bebatuan ketika melakukan peledakan pembuatan terowongan. Peristiwa-peristiwa itu terjadi sejak 2021 hingga 2022,  terakhir Juli 2023.

Kecelakaan kerja pekerja PT Sinar Angel Emas ini bukan pertama kali terjadi. Pada Agustus 2022,  dua pekerja, Alfiadi Napitupulu dan Ahmad Somet juga alami kecelakaan kerja ketika beraktivitas di area proyek pengeboran terowongan. Keduanya, warga lokal yang tertimpa bongkahan batu ketika ledakan terjadi. Beruntung, mereka masih selamat meskipun mengalami luka lumayan parah.

Ali Nafiah,  Wakil Direktur LBH Medan mengatakan, dengan jatuh korban jiwa sudah 18 orang ini membuktikan proyek PLTA Batang Toru bermasalah.

“Hentikan seluruh pembangunan PLTA Batang Toru, cabut semua izin kembalikan seperti semula bentang alam ekosistem Batang Toru. Sudah 18 orang tewas, kita tidak ingin makin banyak jatuh korban jiwa lagi karena memaksakan proyek ini terus dibangunm,” katanya, ketika diwawancarai 26 Juli lalu.

Perusahaan pun dinilai tak mengindahkan peringatan pakar geofisika soal proyek berada di daerah rawan bencana, antara lain, dekat patahan gempa.

Untuk itu, perlu ada penelusuran dari pihak berwenang soal kemungkinan pengabaian dan tak mematuhi aturan-aturan keselamatan kerja. Perusahaan pun, katanya, wajib bertanggung jawab seperti memberikan kompensasi atas meninggalnya pekerja proyek itu.

Bukan hanya persoalan pemberian tali asih kepada korban yang meninggal juga nasib keluarga yang ditinggalkan. Antara lain, terkait nafkah sehari-hari termasuk pendidikan anak ke depan serta tempat tinggal wajib ditanggung perusahaan.

LBH Medan melihat dengan banyak sorotan dari berbagai pihak terkait pembangunan proyek ini menunjukkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Dia khawatir , muncul dampak kemanusiaan lebih besar lagi ke depan.

Komnas HAM, katanya, perlu lebih serius memperhatikan persoalan ini. Komnas HAM, katanya, juga bisa merekomendasikan kepada presiden agar setop proyek ini karena bisa berdampak pada bencana kemanusiaan.

“Pemerintah.  yang memiliki kewenangan perizinan harus segera mencabut proyek ini. Jangan lagi dilanjutkan sebab masih dalam proses pembangunan saja sudah banyak korban jiwa berjatuhan.”

Sebelum terjadi, katanya,  pemerintah wajib menghentikan. Polda Sumut, katanya,  harus bertindak cepat mengusut penyebab kematian para pekerja dan warga kaitan dengan pembangunan proyek PLTA Batang Toru ini.

Dia juga menyoroti untuk siapa proyek ini hingga harus dipaksakan walau Sumatera Utara sudah kelebihan pasokan listrik.

Proyek ini, katanya, terkesan dipaksakan karena tetap jalan walau sudah jatuh banyak korban jiwa. Dia minta, KPK turun tangan untuk mengusut indikasi korupsi di dalamnya.

Andi Muttaqien,  Direktur Eksekutif Satya Bumi menyayangkan,  tewasnya belasan orang ini. Insiden ini, katanya,  tidak boleh dilihat sebagai kecelakaan biasa. Polisi, katanya,  patut menelusuri lebih jauh buntut dari pembangunan PLTA di area rawan longsor.

“Kita tidak ingin kejadian ini terus-menerus berulang, korban tewas tanpa ada pengungkapan kasus dan siapa yang bertanggungjawab?”

Sejak awal,  lokasi pembangunan PLTA Batang Toru sudah bermasalah,  seperti berada di habitat orangutan Tapanuli dan terletak di patahan gempa yang rawan longsor.

Untuk itu,  Satya Bumi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil tak henti mendesak pemerintah meninjau ulang proyek ini guna menghindari potensi bencana lebih besar ke depan.

 

Baca juga: Janji Kerja di  Proyek PLTA Batang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 per Meter

Sungai Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Sengketa lahan

Selain pembangunan terowongan yang tengah berlangsung, tidak lama lagi juga akan bangun jalur sutet. Saat ini,  survei dan penyelesaian pembebasan lahan warga di sekitar wilayah proyek.

Pemerintah Tapanuli Selatan menyatakan, perusahaan harus memberikan dan memenuhi hak-hak warga lokal yang terdampak proyek. Soal rencana pembangunan jalur sutet di wilayah yang melintasi tanah adat dan hutan negara, Walhi Sumut menemukan fakta-fakta baru. Di lapangan, sebut Walhi, masih terjadi klaim lahan di masyarakat.

Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut mengatakan, saat ini di sana terjadi konflik tenurial saling klaim penguasaan lahan. Terjadi sengketa lahan antar masyarakat pemegang ulayat Desa Sibulan–bulan, Raja Luat Sipirok dan Marancar.

Hingga kini, proses mediasi pihak-pihak yang berkonflik terus dilakukan, tetapi belum menemukan solusi terbaik yang mengedepankan kepentingan untuk semua pihak.

Informasi Maraganti Napitupulu , pemegang ulayat dan Ketua Pengelola HKM Koperasi Angiat Maju mengatakan, perusahaan terkesan abai terhadap penyelesaian konflik.

Saat proyek masuk, persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior and informed consent/FPIC) sebagai arus utama pada proses pembangunan dan pengembangan PLTA tidak pernah dilakukan. Konflik yang terjadi terhadap tiga wilayah adat  ini, katanya, belum jelas penyelesaiannya,

Terkait proyek survei right of way (row) PLTA Batang Toru, Dolly Pasaribu,  Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel), inginkan agar hak-hak setiap masyarakat terdampak pekerjaan itu benar-benar terpenuhi dengan baik.

 

Baca juga: Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga

Air sungai Batang Toru sumber utama masyarakat lokal disana buat pertanian, perkebunan sawah dan lainnya. Apa jadinya jika air su ngai ini dikuasai perusahaan untuk PLTA Batang Toru. Foto: Ayat S Karokaro/ Monagaby Indonesia

Untuk itu, bupati minta, PT Surveyor Indonesia dan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP)– akan bertanggung jawab untuk survei jalur Sutet PLTA Batang Toru—  untuk berkoordinasi dengan segenap pemangku kepentingan dari berbagai unsur di kecamatan dan desa.

“Hingga seluruh masyarakat yang memiliki lahan terdampak akibat proyek ini dapat terdata dengan detail,” kata Dolly, saat rapat koordinasi antara Pemerintah Tapsel dengan Surveyor Indonesia, KJPP Dasa’at, Yudistira dan rekan.

Mereka membahas proyek survei jaringan sutet PLTA Batang Toru, di JW Marriot Hotel, Medan  belum lama ini.

Selain itu, agar dihitung kompensasi dari dampak proyek, termasuk kalau ada tanaman milik warga terdampak.

Bupati bilang, agar pihak yang mengerjakan proyek berkoordinasi ke dinas terkait.

Menurut data Kominfo Pemerintah Tapanuli Selatan, soal klaim lahan bisa berkoordinasi dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Tapsel.

Harapan lain, katanya, Surveyor Indonesia, KJPP Dasa’at, Yudistira dan rekan dapat bekerja semaksimal mungkin sesuai target hingga bisa berjalan lancar.

“Masyarakat harus mendapat perhatian atas segala hak mereka sesuai aturan berlaku,” kata Dolly.

Surveyor Indonesia, KJPP Dasa’at, Yudistira dan rekan, menyatakan, akan berkoordinasi dan meminta arahan dari Pemerintah Tapsel untuk bersama-sama menyelesaikan pekerjaan kompensasi lahan di bawah jalur sutet PLTA Batang Toru.

 

Baca juga: Pembangunan PLTA Batang Toru Harus Transparan

******

 

Exit mobile version