Mongabay.co.id

Perairan Maluku Utara: Besar Potensinya, Namun Sedikit Perhatiannya

 

Praktik penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing) dan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF) diduga kuat masih terus terjadi di seluruh perairan Maluku Utara.

Dua praktik perikanan yang tidak terpuji dan dibenci banyak orang itu bisa terus ada, karena Maluku Utara adalah salah satu provinsi yang kurang mendapatkan perhatian utuh dalam tata kelola perikanan secara nasional.

Hal tersebut dijabarkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim saat berada di Jakarta, pekan lalu. Dia menyebut, Maluku Utara menjadi korban dari kebijakan perikanan nasional yang sudah dibuat dan dijalankan Pemerintah Pusat.

Hal itu karena perairan Maluku Utara adalah salah satu paling potensial yang dimiliki Indonesia. Bahkan, perairan Maluku Utara bersinggungan langsung dengan empat Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Keempatnya adalah WPPNRI 714 (meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), dan 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan Laut Lepas Samudera Pasifik).

Menurut Abdul Halim, persoalan utama yang sampai saat ini belum dipecahkan, adalah kurangnya Pemerintah menerapkan kegiatan pemantauan (monitor), pengendalian (control), dan pengawasan (surveillance) atau MCS sebagai parameter utama.

baca : Maraknya Illegal dan Destructive Fishing, Pengawasan Laut Butuh Perhatian Serius

 

Kapal nelayan pole and line yang selesai melaut dan menuju PPI Dufa-dufa di Ternate, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Padahal, pelaksanaan MCS di laut, diyakini akan bisa menjadi jalan untuk membawa potensi perikanan menjadi lebih bermanfaat sebanyak-banyaknya. Kegiatan MCS, tentu saja harus mendapatkan dukungan berupa kebijakan, anggaran, dan kelembagaan.

Sayangnya, parameter itu masih belum juga dijalankan sampai saat ini. Meskipun, Pemerintah Pusat sudah menetapkan perairan Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional (LIN). Tanpa MCS yang berkesinambungan, akan muncul dampak negatif di laut.

“Patut disayangkan, Pemerintah Pusat belum bersungguh-sungguh menindaklanjuti penetapan perairan Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional,” ucapnya.

Halim mengungkapkan, tanpa ada peningkatan kapasitas MSC dalam menjalankan tata kelola perikanan di perairan Maluku Utara, maka bisa dipastikan akan muncul aktivitas negatif seperti illegal, unreported and unregulated fishing (IUUF) dan destructive fishing.

Akibat semakin banyaknya dua kegiatan tersebut, Provinsi Maluku Utara harus pasrah akan banyak kehilangan pendapatan asli daerah (PAD). Dampak lainnya yang tidak bisa diabaikan, IUUF dan destructive fishing akan mengabaikan kesejahteraan nelayan kecil di sana.

“(Pejabat) Jakarta dan Sofifi (ibu kota Maluku Utara) mesti duduk bareng untuk mereorientasikan kebijakan, anggaran, dan kelembagaan MCS dalam rangka memerangi praktik destructive dan IUU fishing,” tegas dia.

baca juga : Nasib Nelayan Tuna Maluku Utara: Dari Rumpon hingga Tangkapan yang Menurun

 

Tangkapan ikan yang-baru didaratkan oleh nelayan di Pelabuhan-Pendaratan Ikan (PPI) Dufa-dufa, Kota Ternate, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan, perairan Maluku Utara menjadi tempat berkumpulnya ikan-ikan pelagis besar seperti tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan tongkol (Euthynus sp). Ketiga jenis ikan tersebut dikenal luas sebagai komoditas dengan singkatan TCT.

Tiga ikan tersebut menjadi komoditas andalan Indonesia untuk diekspor ke Vietnam, Thailand, Filipina, Singapura, Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Tidak heran, jika nelayan yang ada di Maluku Utara semuanya hampir pasti profesinya adalah penangkap TCT.

Tingginya produksi tuna, cakalang, dan tongkol membuat Pemerintah tertarik untuk menjadikan Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional (LIN), seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024.

Pada September 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara merilis fakta tentang jumlah penduduk miskin yang sudah mencapai angka 82,13 ribu jiwa di provinsi tersebut. Jumlah tersebut naik 2,26 ribu jiwa atau 6,37 persen dibandingkan Maret 2022.

“Sementara, produksi perikanan Maluku Utara pada 2022 berhasil melampaui target hingga 106 persen atau mencapai 378.111 ton dari target yang sebesar 356.400 ton,” paparnya.

Fakta tersebut menjadi bentuk ironis, karena menurut Abdul Halim, sumber daya ikan (SDI) di Maluku Utara sangatlah besar. Seharusnya, masyarakat kecil bisa menikmati kelimpahan kekayaan alam tersebut.

perlu dibaca : Penangkapan Ikan Terukur Menyulitkan Nelayan Kecil Maluku Utara?

 

Ikan tuna berukuran besar hasil tangkapan nelayan di Maluku Utara seperti ini sudah semakin jarang didapat. Foto : MDPI

 

Sumber Masalah

Ada beberapa persoalan yang membuat kemiskinan terus meningkat, serta SDI tidak dikelola dengan baik. Persoalan itu berkaitan erat dengan awal mula penerbitan regulasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mendukung tata kelola perikanan nasional.

Pertama, adalah kebijakan cipta kerja yang ditegaskan Pasal 27A ayat (3) Undang-Undang No.6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2/2022 tentang Cipta Kerja.

Abdul Halim menilai, Perpu tersebut memicu dibukanya kembali akses penangkapan ikan kepada kapal ikan asing (KIA) dengan tonase besar yang akan beroperasi di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).

Kehadiran KIA diyakini hanya akan meluluhlantakkan para nelayan kecil dan tradisional yang selama ini biasa menangkap TCT sebagai komoditas andalan. Mereka tak akan bisa bersaing dengan kapal canggih dan tonase besar.

Kedua, regulasi tentang kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) melalui pasal 2 ayat 5c dan pasal 19 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Regulasi tersebut memicu penetapan perairan Maluku Utara masuk ke dalam Zona 3 PIT.

Penetapan zona tersebut menjelaskan kalau perairan Maluku Utara masuk dalam kategori perairan yang terbuka untuk penanaman modal asing skala industri. Selain itu, PP PIT juga membolehkan kapal pengangkut ikan asing untuk melakukan bongkar muat hasil tangkapan ikan di pelabuhan negara tujuan (negara asal).

Ketiga, Pasal 7 Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam. PP DHE tersebut memicu usaha perikanan yang berorientasi ekspor akan mengubah destinasi pasar produknya, dari luar ke dalam negeri.

Alasan tersebut muncul, karena diperkirakan para pelaku usaha skala kecil akan terbebani jika aturan tentang hasil 30 persen dari ekspor harus diendapkan dulu, kemudian diterapkan. Aturan tersebut, akan memicu perubahan target pasar dari luar negeri ke dalam negeri.

baca juga : Ini Permasalahan KKP di Maluku Utara: Minim Anggaran, Fasilitas hingga SDM

 

Nelayan ikan Tuna di Desa Bere-bere, Pulau Morotai, Maluku Utara sedang menurungkan hasil tangkapannya. Foto : USAID

 

Selain regulasi, persoalan lainnya adalah karena kebijakan yang diterapkan tidak berhasil melampaui wilayah perairan yang ada. Saat ini, Halim menyebut kalau cakupan wilayah pengawasan di perairan Maluku Utara masih kurang dari 65 persen.

Kemudian, alokasi anggaran untuk pengawasan di perairan Maluku Utara juga hanya mencapai Rp400 juta atau setara 16 hari operasi patroli. Terakhir, masih lemahnya sumber daya manusia (SDM), baik tenaga penyidik pegawai negeri sipil perikanan (PPNSP) ataupun tenaga di pelabuhan.

Diketahui, penetapan Maluku Utara menjadi bagian dari LIN bersama Maluku, dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada 2021. Saat itu, Desa Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku dipilih menjadi pusat LIN.

Konsep LIN ini dicanangkan masuk sebagai proyek strategis nasional yang nilai investasinya cukup besar karena akan ada pembangunan pelabuhan laut dan kawasan industri terpadu di kawasan Indonesia Timur.

Asisten Deputi Perikanan Tangkap Kemenko Marves Ikram Sangadji sesaat setelah LIN dicanangkan pernah mengatakan bahwa pembangunan LIN merupakan bagian dari jejaring perikanan tangkap yang saat ini terus dikembangkan secara nasional.

Dalam pengembangannya, semua permasalahan yang ada harus dipetakan dan dicarikan solusinya, termasuk di antaranya permasalahan yang muncul dalam program pengelolaan perikanan berbasis WPP-NRI dan implementasi LIN.

“Di samping itu, perlu juga dibahas terkait permasalahan perizinan kapal perikanan dan alat penangkapan ikan, termasuk juga permasalahan regulasinya,” tuturnya.

 

 

Exit mobile version