- Provinsi Maluku Utara mempunyai wilayah laut yang sangat luas meliputi empat WPP yaitu 714, 715, 716, dan 717, dengan potensi perikanan tuna, tongkol, dan cakalang yang besar. Sayangnya ruang laut yang luas itu minim pengawasan terhadap pencurian dan aktivitas tindak pidana perikanan.
- Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan dan Ispikani Maluku Utara merekomendasikan tata kelola perikanan tangkap yang berkelanjutan, termasuk pengawasan laut dan pemberdayaan nelayan di Maluku Utara kepada berbagai lembaga negara seperti KKP, Kemenhub, Mahkamah Agung dan Pemprov Maluku Utara
- Rekomendasi itu antara lain penanganan praktek destructive dan IUU fishing, pengadaan sarana dan prasarana perikanan tangkap, permasalahan perizinan penempatan rumpon, sampai perlunya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum ruang laut
- Komunitas Nelayan Maluku Utara mengeluhkan tentang kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang memberatkan mereka. Sedangkan DKP Maluku Utara mengakui minimnya pengawasan ruang laut karena keterbatasan anggaran
Secara geografis, provinsi Maluku Utara dikelilingi 805 pulau dan masuk ke dalam empat wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu WPP-NRI 714, 715, 716, dan 717. WPP ini kaya potensi ikan tuna, tongkol, dan cakalang. Sayangnya ruang laut yang luas itu minim pengawasan terhadap pencurian dan aktivitas tindak pidana perikanan. Anggaran pengawasan yang disediakan pemerintah pun hanya sekitar Rp400 juta.
Masalah lainnya,yaitu minimnya perlindungan dan pemberdayaan terhadap 93.017 nelayan yang tersebar di 10 kabupaten/kota sesuai amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Idealnya kebijakan perikanan nasional berdampak terhadap upaya menghadirkan tata kelola perikanan berkelanjutan, bertanggung jawab, dan menyejahterakan nelayan kecil di daerah ini.
Hal itu tertuang dalam rekomendasi Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Reform for Humanity) yang disampaikan ke Pemerintah, Selasa (18/7/2023). Rekomendasi ini dihasilkan melalui diskusi terfokus (FGD) yang digelar lembaga itu bersama dengan Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) Provinsi Maluku Utara, Kamis (8/7/2023) lalu.
FGD bertema “Penguatan Pengelolaan Perikanan Tangkap untuk Menyejahterakan Nelayan di Maluku Utara di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate” itu, melibatkan hampir seluruh pemangku kepentingan di bidang perikanan.
Melalui rekomendasi itu mereka mendesak Pemerintah Provinsi Maluku Utara, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan dan Mahkamah Agung agar segera mengambil berbagai langkah konkret pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan dan menyejahterakan nelayan.
baca : Pengawasan di Laut Indonesia Masih Lemah?
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, di Ternate, Selasa (18/7/2023) menjelaskan, rekomendasi itu diorientasikan untuk memperkuat pengelolaan perikanan tangkap yang menyejahterakan nelayan serta terbebas dari praktek destructive dan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing.
Menurutnya, Pemprov Maluku Utara sudah semestinya memprioritaskan peningkatan kemampuan pemantauan, pengendalian, pengawasan, dan kontrol di laut sebagai indikator kinerja utama (IKU) pembangunan daerahnya. Salah satunya dengan meningkatkan anggaran pengawasan di laut.
“Terlebih lagi, perikanan menjadi faktor penting pertumbuhan ekonomi di provinsi Maluku Utara,” tambahnya.
Dia bilang, wilayah ini berdekatan secara langsung Filipina di Laut Sulawesi dan zona penangkapan ikan Tuna, Tongkol, dan Cakalang (TTC) di Samudera Pasifik. Tentu ini sangat rawan terjadi tindak pidana perikanan di laut.
“Maluku Utara butuh dukungan konkret dari pemerintah pusat untuk peningkatan kapasitas pengawasan di laut. Wilayah ini selain kaya potensi ikan, ancaman tindak pidana perikanan dan kejahatan transnasional merupakan hal yang nyata terjadi dan perlu direspons secara sistemik. Mulai dari pengaturan kerangka kebijakan, penyesuaian anggaran, dan penataan kelembagaan PSDKP,” jelasnya.
Mereka juga mendesak Gubernur Maluku Utara agar membentuk Forum Koordinasi Bersama Lintas Instansi dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan guna mencegah maraknya praktek destructive dan IUU fishing di perairan Maluku Utara.
Gubernur juga didesak membentuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) Perikanan yang bertanggung jawab untuk memfasilitasi penyediaan cold storage, pengadaan kapal penangkap ikan, menjadi mitra permodalan dan pembelian hasil tangkapan ikan bagi pelaku usaha perikanan.
“Pemerintah juga didorong memperkuat tata niaga perikanan di Provinsi Maluku Utara, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri,” katanya.
Juga melakukan pencatatan, penataan dan/atau penertiban, pembatasan kepemilikan, dan penyederhanaan mekanisme pengajuan Surat Izin Penempatan Rumpon.
perlu dibaca : Nasib Nelayan Tuna Maluku Utara: Dari Rumpon hingga Tangkapan yang Menurun
Pemprov Maluku Utara juga diminta memperketat pengawasan hasil tangkapan ikan yang masuk ke pasar konsumsi lokal yang terbebas dari praktek pengeboman dan pembiusan ikan. Mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program pelatihan dan bimbingan teknis berkaitan dengan Sertifikat Keterampilan Awak Kapal Perikanan, termasuk di dalamnya Sertifikat Kecakapan Nelayan, meliputi Basic Safety Training Fisheries (BST-F); operasional penangkapan ikan; keterampilan penanganan ikan; refrigasi penyimpanan ikan; perawatan mesin kapal perikanan; dan operator radio.
Lembaga ini juga merekomendasikan ke Menteri Kelautan dan Perikanan agar memprioritaskan pengelolaan perikanan tangkap di WPP-NRI 715 melalui pendayagunaan keberadaan Lembaga Pengelola Perikanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.33/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Perikanan di WPP-NRI 715 sehingga memudahkan pengelolaan perikanan tangkap dan pengawasannya di laut.
KKP juga diminta melakukan pencatatan, penataan dan/atau penertiban, pembatasan kepemilikan, dan penyederhanaan mekanisme pengajuan Surat Izin Penempatan Rumpon.
Juga memperbaiki mekanisme pengurusan kelengkapan dokumen perizinan penangkapan ikan, baik yang dikelola oleh Pemprov Maluku Utara maupun pemerintah pusat, melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) berbasis aplikasi daring agar praktek penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) bisa dihindarkan dan pendapatan daerah dan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dapat ditingkatkan.
KKP diminta menambah personel laboratorium BKIPM Ternate sesuai dengan beban kerja yang dibutuhkan dan menghindari praktek rangkap jabatan. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana laboratorium BKIPM Ternate guna mendukung upaya memerangi praktek destructive dan IUU fishing di perairan Provinsi Maluku Utara.
Juga membuka Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Ternate, Provinsi Maluku Utara, untuk memperkuat pengawasan di perairan bagian selatan dan utara Laut Maluku dan perairan bagian utara Laut Halmahera yang berdekatan dengan Samudera Pasifik.
baca juga : Riset Kolaboratif: Nelayan Kepulauan Maluku Tidak Tahu Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Rekomendasi ini juga meminta Menteri Perhubungan agar, memfasilitasi akses pemasaran produk perikanan yang dihasilkan oleh pelaku usaha di Provinsi Maluku Utara melalui peningkatan kapasitas kontainer dari 20 feet ke 40 feet dan penambahan rute tol laut dari Pelabuhan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, ke pelabuhan di Kabupaten Pulau Morotai sebelum kembali ke Makassar atau Surabaya.
“Kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia juga kami minta mendirikan pengadilan perikanan di Ternate guna memberikan kepastian hukum dan efek jera kepada pelaku tindak pidana perikanan di Maluku Utara yang memiliki kewenangan pengelolaan perikanan tangkap di WPP-NRI 715, WPP-NRI 714, WPP-NRI 716, dan WPP-NRI 717, serta menjadi jalur perdagangan internasional (ALKI III) yang melintasi Laut Seram, Laut Maluku, Laut Halmahera, dan Samudera Pasifik,” desaknya.
Kebijakan PIT Memberatkan
Ketua Komunitas Ngofa Nelayan (Anak Nelayan) Kota Tidore Kepulauan M Taufik Abubakar menyinggung dibukanya investasi yang luas untuk pemanfaatan ruang laut oleh Pemerintah pusat maupun daerah. Ini jadi masalah bagi daerah. Terutama menyangkut penempatan rumpon yang dulunya tidak ada aturan sekarang sudah harus memiliki Surat izin Penempatan Rumpon (SIPR) oleh organisasi nelayan dan dikenakan PNBP.
“Wilayah Laut Maluku dan Halmahera ini masuk WPPNRI 715 yang memiliki banyak potensi perikanan Tuna, Cakalang dan Tongkol. Hal ini menjadi perhatian khusus KKP. Laut ini sasaran ekploitasi besar-besaran oleh investor dalam dan luar negeri yang berdampak pada nelayan lokal,” keluhnya.
Selain itu kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang digenjot KKP juga berkaitan dengan pengawasan ruang laut. Saat ini DKP maupun KKP belum efektif menjalankan pengawasan ruang laut terutama berkaitan dengan penempatan rumpon.
Dia contohkan perlunya penegakan hukum bagi pelaku usaha dari Manado maupun Bitung Sulawesi Utara yang meletakkan rumpon masuk di wilayah WPPNRI 715 milik wilayah Maluku Utara.
baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Menyulitkan Nelayan Kecil Maluku Utara?
Dia juga meminta pembatasan wilayah tangkapan untuk satu kapal hanya pada satu WPP. Misalnya kapal nelayan Maluku Utara hanya boleh menangkap di WPPNRI 715. Tapi faktanya kapal Bitung, Manado bahkan negara tetangga Filipina masuk sampai ke wilayah WPPNRI 715. “Ini nyata terjadi di laut Halsel dan di laut Batang Dua Ternate. Karena itu perlu dilakukan pengawasan yang lebih intens dan agak jauh wilayah pengawasannya,” lanjutnya.
Taufik juga mempermasalahkan tingginya pungutan PNBP dalam kebijakan PIT dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.85 tentang PNBP pada KKP, dimana sebelumnya nelayan hanya membayar Rp33,5 jt/tahun, sekarang harus membayar sekitar Rp100 juta/tahun.
Menurutnya, PP No.11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) ini sangat merugikan nelayan lokal karena PP ini buka ruang yang luas bagi investor untuk mengeksploitasi ikan sebesar-besarnya.
Minimnya Anggaran Pengawasan
Mengenai minimnya pengawasan ruang laut, Kepala Bidang Ruang Laut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara Abdulah Soleman mengakui hal itu belum menjadi perhatian utama. Bahkan usulan anggaran pengawasan laut ini sangat sulit diakomodir.
Dalam beberapa tahun terakhir, katanya, usulan anggaran pengawasan ruang laut Maluku Utara yang begitu luas hanya diakomodir sebesar Rp400 juta. Untuk 2023, anggaran pengawasan hanya Rp600 juta. Padahal anggaran minimal yang dibutuhkan sekitar Rp1,5 miliar. Akibat minimnya anggaran, program aksi terutama pengawasan tidak berjalan maksimal.
Selain itu, satuan pengawas (satker) pengawasan yang saat ini ada di Ambon, perlu dipindahkan ke Maluku Utara. “Agar kontrol dan pengawasan wilayah terutama destructive fishing dan illegal fishing di Maluku Utara bisa ditekan,” sarannya.
baca juga : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Sedangkan Dosen Ilmu Politik Universitas Terbuka Dr. Muhlis Hafel yang melakukan riset tentang konflik kebijakan di wilayah perbatasan menyorot khusus konflik maritim dan memfokuskan daerah risetnya di pulau Morotai, menemukan begitu banyak masalah dalam pengawasan ruang laut di Maluku Utara.
Riset berjudul “Menggugat Negara Maritim” itu menyinggung soal illegal fishing dan belum seriusnya pengamanan dan pemberantasan kasus ini. Muhlis mengatakan penegakan hukum di laut itu menjadi isu yang sangat penting sehingga perlu perlu pengawasan yang intensif, efektif dan efisien.
Selama ini sistem keselamatan keamanan dan penegakan hukum di laut dilakukan oleh berbagai instansi mulai dari KKP, KLHK, Kepolisian, TNI AL, Bea Cukai maupun Imigrasi. Yang menjadikan banyak terjadi tumpang tindih pengaturan. “Hal ini yang kemudian menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif,” jelasnya.
Dia contohkan banyaknya modus pada kasus illegal fishing di laut Pulau Morotai, Maluku Utara. Misalnya pemilik perusahaan nelayan asing berkolaborasi dengan mafia di Indonesia. Ketika mereka masuk negara tertentu kemudian mengganti benderanya dan menggaruk sumberdaya perikanan menggunakan jaring trawl atau pukat harimau yang dilarang di Indonesia.
Mereka juga kadang beroperasi secara berkelompok dengan satu izin penangkapan ikan. “Modus seperti ini rapi sehingga mampu mengecoh petugas dari berbagai instansi yang bertugas menjaga laut,” ujarnya. Apalagi dalam masalah ini tidak terlepas juga dari suap,” tutupnya.