Mongabay.co.id

Menanti UU Masyarakat Adat, Belasan Tahun Proses Tak Ada Kejelasan

 

 

 

Hak masyarakat di negeri ini masih terabaikan. Konflik, perampasan wilayah adat tak jarang disertai kekerasan,  intimidasi dan kriminalisasi terus terjadi. UU  khusus Masyarakat Adat pun hingga kini masih belum ada kejelasan meskipun mulai proses sejak 2009.  Pembahasan RUU Masyarakat Adat dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Prersiden Joko Widodo, dua periode, belum juga ada pengesahan.

Padahal,  UU Dasar 1945, Pasal 18 B ayat (2) jelas-jelas menyatakan, negara mengakui dan menghormati  masyarakat adat  sebagai suatu entitas. Juga Pasal 28 I ayat (3) menyebutkan kewajiban negara menghormati  keberadaan dan hak masyarakat adat.

Sardi Razak, Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Sulawesi Selatan dalam diskusi di Makassar mengatakan, negara absen melaksanakan mandat konstitusi  soal pembentukan UU Masyarakat Adat.

“Saat ini, ada 32 peraturan perundang-undangan sektoral justru untuk melegalisasi perampasan wilayah adat,” katanya, penghujung Juli lalu.

Saat yang sama, pemerintah justru menciptakan pengakuan bersyarat yang panjang dan rumit bagi masyarakat adat, antara lain, melalui UU 41/1999 tentang kehutanan, Permendagri 52/2014, maupun pembentukan peraturan daerah, dan SK kepala daerah.

Proses pengakuan ini, katanya, sejak 2009 melalui rancangan draf RUU yang diinisiasi AMAN dan jaringan masyarakat sipil. Pada 2010-2011, ada konsultasi dengan para pakar, konsultasi publik di tujuh region, dialog dengan pemerintah, maupun DPR.

Lalu, pada 2012,  diusulkan ke DPR melalui Fraksi PDIP, berproses di badan legislasi melalui pembentukan dan pembahasan di pansus.  Ironisnya, setelah proses ini, pada 2014, di akhir jabatan SBY, rancangan ini gagal jadi Undang-undang.

Pada 2014, AMAN memberi dukungan ke Joko Widodo yang saat itu maju sebagai calon presiden yang kemudian terpilih jadi presiden.

Jokowi mengadopsi enam tuntutan masyarakat adat untuk masuk dalam Nawacita, termasuk pengesahan UU Masyarakat Adat.

Masa pertama pemerintahan Jokowi, dari 2015-2019, telah berproses di DPR dengan inisiasi Partai Nasdem, disertai berbagai konsultasi publik, belum ada juga pengesahan UU. Dari tahun 2019-sekarang, belum juga ada kejelasan pengesahan ini, meski insiatif kembali didorong ke DPR. RUU ini, katanya, sudah dibahas di badan legislasi, dan disidangkan paripurna Badan Legislasi.

“Draf belum dikirimkan ke presiden, hingga presiden belum dapat mengeluarkan surpres.”

 

Baca juga: Kajian: Dukungan DPR pada RUU Masyarakat Adat Rendah

Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberikan masukan kepada DPR RI dalam suatu kesempatan tentang Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Masyarakat Adat, pada 2018. Foto: Muhammad Arman/AMAN/Mongabay Indonesia

 

RUU ini berulang kali masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas.  Era kepemimpinan pertama, Jokowi juga sempat keluarkan supres (surat presiden) yang memerintahkan percepatan UU Masyarakat Adat. Tetap saja, hasilnya nihil.

Menurut Sardi, ada lima penyebab RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan hingga kini, yakni, kepentingan beragam, pengalaman dan pengetahuan beragam, komitmen terbatas, hambatan komunikasi dan partisipasi yang belum efektif.

“Kelima hal itu kemudian terwujud dalam dua masalah pokok dalam  RUU Masyarakat Adat, yaitu pada proses maupun teks atau isinya, belum menyentuh permasalahan dasar, mengikuti logika pengakuan sektoral, menghindari konflik masa lalu, mempersulit proses pengakuan, dan lain-lain. Serta progres pembahasan maupun pengesahan yang masih tanda tanya,” katanya,

Terkait substansi dari RUU itu, ada sejumlah hal yang jadi sorotan AMAN dan organisasi masyarakat sipil, seperti penetapan masyarakat adat oleh menteri, dan mekanisme pengakuan ribet dan mahal.

“Dalam kebijakan saat ini, pengakuan masyarakat adat sebagai subyek hukum melalui kebijakan daerah. Dalam RUU,  dikatakan penetapan masyarakat adat oleh menteri. Ini menurut kami sebuah langkah mundur, hingga proses pengakuan perlu diubah.”

AMAN dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat juga meminta adanya tambahan ketentuan dalam RUU ini, seperti hak masyarakat adat terkait hak asal-usul, hak tradisional, dan hak-hak warga negara pada umumnya.

“Diusulkan juga penambahan klausul tentang restitusi dan rehabilitasi. Dari aspek kelembagaan diusulkan dibentuknya Komisi Nasional dan Panitia Masyarakat Adat, penambahan kausal tentang pengakuan dan perlindungan atas hak kolektif perempuan adat, serta perubahan pada ayat 1 di Ketentuan Peralihan di Pasal 55, mengganti kata peraturan daerah menjadi produk hukum daerah.”

Hal lain disoroti Sardi terkait keharmonisan kebijakan sektoral. Selama ini, katanya,  prosedur pengakuan masyarakat adat disusun oleh kebijakan sektoral.

“Proses ini jalan di tempat karena disusun dengan paradigma sektoral hingga tidak saja parsial justru saling mengeliminasi. Sektoralisme tidak akan teratasi jika peraturan mengenai masyarakat adat masih tersebar di berbagai peraturan sektoral,” katanya.

Dalam RUU Masyarakat Adat ini mengatur suatu prosedur pengakuan  masyarakat adat yang sekaligus menyatakan, prosedur pengakuan harus mengikuti Undang-undang. Selain mengenai prosedur pengakuan, Undang-undang ini akan menjadi rujukan dari berbagai program-program perlindungan, pemberdayaan, dan lain-lain.

“Peraturan sektoral yang tumpang tindih harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam Undang-undang Masyarakat Adat.”

Senada dengan Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN dalam diskusi di Jakarta,  baru-baru ini. Dia bilang, meski sudah berjalan 14 tahun draf RUU Masyarakat Adat masih jauh dari harapan untuk bisa melindungi masyarakat adat.

Karena itu, katanya,  perlu perubahan substansial dalam rancangan agar kelak bisa menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi masyarakat adat.

 

Baca juga: RUU Masyarakat Adat Masuk Prolegnas 2020, Berikut Masukan Para Pihak

Suarakan penyelamatan hutan Papua. Masyarakat adat di Papua, bergantung hidup[ dari hutan. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

 

Abdon Nababan, pegiat masyarakat adat menilai,  menghadirkan masyarakat adat dalam negara masih sulit, mahal dan serba tak pasti. Negara, katanya, masih terperangkap sektoralisme yang mengatur obyek hak tanpa subyek.

Undang-undang Pokok Agraria No 5/1967 mengatur hak adat atas sumber-sumber agraria sebagai hak ulayat. Kemudian, UU Kehutanan No 41/1999 juga mengatur hak adat atas hutan dalam bentuk hutan adat, serta ada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No 32/2009 juga menyatakan hak adat untuk menyelenggarakan PPLH berbasis pengetahuan adat dan kearifan lokal.

Berbagai UU sektoral itu, kata mantan Sekretarias Jenderal Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) beberapa periode ini, terkotak-kotak dengan aturan pelaksanaan sendiri.

Lalu ada keputusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 juga mengukuhkan keberadaan masyarakat adat melalui peraturan daerah. Ada terobosoan pemerintah salah satunya Permendagri No 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlinduangan Masyarakat Hukum Adat.

Menurut Abdon, UU Masyarakat Adat perlu untuk memulihkan hubungan negara dengan masyarakat adat, mendudukkan masyarakat adat sebagai warga negara setara warga lain di Indonesia. Juga, memulihkan hak konstitusional masyarakat adat yang diabaikan selama 78 tahun.

“RUU ini penting untuk melindungi masyarakat adat agar hidup aman, tumbuh dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta bebas dari diskriminasi dan kekerasan,” katanya.

Penting juga,  katanya, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat agar bisa menikmati hak-hak konstitusional dan jadi dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan pemulihan hak, restitusi dan rehabilitasi serta pemberdayaan.

RUU Masyarakat Adat sudah punya landasan konstitusional. Sayangnya, kata Abdon, rumusan masih jauh dari jelas dan pasti, baik dalam penggunaan istilah yang berbeda maupun karena ketiadaan definisi.

Selama 15 tahun terakhir,  perjuangan masyarakat adat belum berhasil meyakinkan banyak pihak bahwa RUU Masyarakat Adat akan memperbaiki mutu kehidupan sebagai bangsa. Menurut dia, masih ada kelompok yang khawatir RUU ini akan merugikan mereka.

“Kelompok ini masih cukup kuat di DPR,” katanya.

 

Baca juga: Menyoal Surat Mendagri, Bagaimana Nasib RUU Masyarakat Adat?

Masyarakat adat datangi lokasi hutan adat yang telah digusur PT GMI di Pulau Seram. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Dia contohkan elit partai Golkar, menganggap RUU ini akan menghambat pembangunan dan mengganggu masuknya investasi. Atau PDIP yang pernah mengusung RUU ini tetapi khawatir membawa iedologi feodalisme kembali hidup di Indonesia.

“Kita harus meyakinkan masyarakat adat bukan kerajaan atau kesultanan yang feodal. Karena itu, perlu menjaga komunikasi dengan elit partai bukan hanya di DPR dan meyakinan mereka bahwa RUU ini adalah keharusan.”

RUU Masyarakat Adat diperjuangkan sejak Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) I 1999 di Jakarta hingga KMAN VI di Tanah Tabi, Papua. Sebagai mantan Sekpel AMAN empat tahun, Sekjen AMAN 10 tahun dan lima tahun jadi Dewan AMAN Nasional, Abdon mengakui kegagalan memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya organisasi yang cukup untuk memastikan pengesahan RUU Masyarakat Adat jadi UU.  Dari pengalaman itu, Abdon mengusulkan advokasi RUU lebih sistematis dan intensif.

AMAN perlu memperkuat kerjasama dengan lembaga negara independen seperti Komnas HAM, kementerian lintas sektoral dan bersama koalisi kawal RUU Masyarakat Adat memperluas kerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia.

“AMAN perlu memperkuat kepemimpinan dan penyelenggaraan RUU termasuk membangun komunikasi politik  dengan para pimpinan partai politik peilik kursi di DPR dan memperkuat kehadiran representasi politi di parlemen.”

 

Baca juga: Nasib RUU Masyarakat Adat Kian Tak  Jelas

Masyarakat adat di Kaluppini Kabupaten Enrekang menjaga hutan melalui kearifan dan tradisi yang ada. Eksistensi masyarakat adat, baik itu terkait pengetahuan, tradisi, dan praktik budaya memiliki kekhasan, teruji dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan bermasyarakat. Foto; Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Makbur Marbun, Direktur Produk Hukum Daerah, Kementerian Dalam Negeri bahas soal  UU Cipta Kerja. Dia mengatakan, pemerintah memfasilitasi relasi hukum masyarakat adat dalam penyelenggaraan kehutanan melalui Perppu Cipta Kerja, ditindaklanjuti dengan PP No 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

“Tindak lanjut ini sebagai penegakan terhadap kedudukan masyarakat hukum adat khusus yang berkaitan dengan pengelolaan hutan adat,” katanya.

Pemerintah, kata Makbur, terus melakukan pembinaan dan pengawasan pembentukan produk hukum di daerah.  “Mandatnya memang mempercepat,” katanya.

Untuk saat ini, katanya,  pemerintah masih akan mengacu pada UU No 23/2014 yang mengatur pembagian kewenangan kawasan pengelolaan hutan dan Permendagri No 52/2014 tentang pedoman pengakuan dan pengesahan masyarakat hukum adat. Dalam aturan itu, penetapan hutan adat lewat perda.

Intinya, kata Makbur, pengakuan masyarakat adat bergantung pada Undang-undang saat ini dan pada penganggaran yang ada.

“Dirjen Otoda akan mempercepat penyelesaian regulasi di daerah sepanjang diamanatkan  Undang-undang.”

Amanah Asri,  Direktur Harmonisasi Perundang-Undangan, Kemendagri, mengatakan, masyarakat adat sudah ada sebelum ada Indonesia.

“Hanya sebagai negara hukum, harus jelas legalitas secara hukum. Bukan tidak diakui tapi untuk memperjelas keberadaan.”

Hingga Juli 2023 ada 631 masyarakat hukum adat sudah difasilitasi Kemendagri dan 21 masyarakat adat pesisir.

Sukri Tamma, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, menyatakan,  pemerintah perlu segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai wujud komitmen dan itikad baik negara.

“Kehadiran Undang-undang ini akan menjadi dasar lebih kuat dalam upaya penghormatan lebih baik terhadap hak-hak masyarakat adat, hingga memungkinkan masyarakat adat hidup dalam komunitas yang kuat budaya yang terus berkembang,” katanya.

Selain itu, masyarakat adat dapat menentukan sendiri, mengatur diri sendiri, mandiri, dan tidak lagi terpinggirkan, karena diatur pada level kebijakan lebih tinggi dengan berbagai konsekuensinya melalui Undang-undang.

“Masyarakat adat dapat secara partisipatif mengupayakan kehidupan lebih baik, non-diskriminasi, serta tercapainya kesetaraan dan keadilan hak-hak masyarakat adat, di mana pun mereka berada.”

 

Baca juga: RUU Masyarakat Adat Versi DPR Rawan

Orang Tobelo pesisir maupun Tobelo Dalam, protes hutan rusak karena tambang, September 2022. Foto: Christ belseran/ Mongabay Indonesia

 

Sukri mengatakan, penerimaan atas eksistensi masyarakat  adat ini, baik terkait pengetahuan, tradisi, dan praktik yang khas, berharga, dan teruji dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut dia, ada tiga aspek penting bagi eksistensi masyarakat adat. Pertama, kebebasan, berarti tidak ada paksaan atau intimidasi atas sistem nilai dan bentuk kehidupan masyarakat adat.

Kedua, perhatian, berarti sebagai komunitas yang unik dan khas,  katanya, masyarakat mendapat perhatian atas berbagai bentuk eksistensi dan dinamika sebagai konsekuensi keunikan.

Ketiga, penghargaan, berarti eksistensi masyarakat adat diterima sebagai suatu kondisi obyektif dari pluralitas bangsa yang membutuhkan penghargaan atas berbagai bentuk keunikannya.

Yance Arizona, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada mengatakan, dari draf 2020, masyarakat adat tidak dipandang sebagai fakta sosial dan realitas antropologis tetapi sebagai “korporasi.” Keberadaan dan hak mereka tergantung pengesahan atau pengakuan oleh instansi pemerintah.

Untuk itu, kata Yance, RUU Masyarakat Adat perlu terus didorong dengan memperluas dukungan politik. Secara substansial pendekatan korporasi dan “pengakuan” dalam RUU perlu diganti dengan pendekatan ‘pendataan’.

Substansi pengaturan mengenai masyarakat adat perlu mengutamakan pendekatan hak seperti UU Pemberdayaan dan Perlindungan Petani dan UU Pekerja Migran.

“Kalau RUU sekarang mau terus didorong, sebaiknya diubah jadi RUU tentang Hak-hak Masyarakat Adat dengan substansi mengatur apa saja hak-hak masyarakat yang akan menjadi rujukan bagi kementerian sektoral. Bagian tentang pengakuan subyek masyarakat adat dihapus saja.”

Menurut dia, perlu perombakan RUU mempertimbangkan metode omnibus law sebagai alternatif membangun kerangka pengaturan terintegrasi, sinkron dan harmonis.

Terpenting lagi, katanya, jadikan RUU ini sebagai payung yang mengkonsolidasikan hak masyarakat adat yang menyebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan serta mengadopsi instrumen internasional ke dalam hukum nasional.

“Juga perlu pembentukan lembaga negara yang bertanggungjawab pada urusan masyarakat adat.”

 

Pada hukum adat Suku Besemah, peran perempuan sangat penting dalam menjaga alam. Sebab setiap hari, perempuan terhubung dengan alam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hak kolektif perempuan adat

Selain itu, Devi Anggraini,  Ketua Umum Perempuan AMAN mengatakan,  hak perempuan adat sebagai bagian dari komunitasnya belum mendapat pengakuan dalam berbagai praktik, produk hukum dan kebijakan lain.

“Bahkan UU No 7/1984 yang menjadi rujukan legal penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, tidak mampu melindungi hak perempuan adat,” katanya.

Pengurusan hak masih terbatas pada hak individu sebagai warga negara. UU ini, katanya,  belum mampu menyentuh perlindungan hak kolektif perempuan adat atas pengetahuan, otoritas, dan wilayah kelola. Itulah mengapa penting pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Pada 2015,  Perempuan AMAN mengubah naskah akademik RUU Masyarakat Adat dengan memasukkan hak kolektif yang dibangun dari tiga aspek kelola, pengetahuan tradisional dan otoritas.

Devi mengatakan, pemaknaan hak kolektif tak berdasar cara pandangan kepemilikan individual. Wilayah perempuan adat dalam pandangan ini menempatkan suatu bentang alam dan budaya tertentu sebagai ruang utama perempuan adat membangun ketahanan hidup keluarga dan komunitas.

Hak kolektif ini, katanya,  punya dua jenis tenurial, yakni,  hak pemanfaatan, pengelolaan termasuk pengembangan dan perawatan, serta hak kontrol yang menjadi kewenangan dari pemanfaatan sumber daya alam di wilayah kelola perempuan adat.

Catatan Perempuan AMAN, kerentanan perempuan adat tercermin pada lebih dari separuh atau sekitar 56% dan 58,% perempuan adat mendapatkan beras dan lauk dengan cara membeli. Hanya 20,8% perempuan adat masih berburu dan memanfaatkan alam. Hanya 6,1% perempuan adat yang menanam sendiri padi sawah dan padi ladang.

“RUU Masyarakat adat perlu hadir sebagai partisipasi untuk mengatur, mengelola, memanfaatkan dan merawat wilayah kelola perempuan adat dan pengetahuan tradisional yang dimiliki, dipraktikkan dan dikembangan perempuan adat,” katanya.

Untuk memenuhi kewajiban menghormati, melindungi pemenuhan dan jaminan hak kolektif perempuan adat, kata Devi, UU ini juga bisa mencegah pemidanaan atas praktik pengetahuan tradisional sepanjang sesuai dengan HAM. Juga, mengatur syarat persetujuan masyarakat adat dan administrasi negara serta fasilitas pemberdayaan perempuan adat.

Yance menilai,  saat ini secara hukum pengaturan soal perlindungan perempuan adat ini bersifat sektoral, tumpang tindih karena perbedaan nomenklatur dan pendekatan.

“Ada pengakuan bersyarat yang restrifktif dan menghambat perlindungan hukum, serta nomenklatur hukum yang kurang sesuai realitas. Prosedur pengakuan rumit,  biaya mahal dan melibatkan banyak aktor politik,” katanya.

Secara sosial, tak ada perlindungan hukum, namun ada konflik karena ketidakpastian hak, kemiskinan, marginalisasi dan kriminalisasi.

“Banyak unit sosial masyarakat membuat sulit dalam membentuk kebijakan.”

 

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

*******

 

Exit mobile version