Mongabay.co.id

Jejak Sorgum di NTT dan Penanaman kembali oleh Petani

 

 

Perempuan pembela lingkungan dari enam negara yakni Kamboja, Laos, Myanmar, Indonesia, Filipina, dan Thailand berkesempatan melihat kebun sorgum di Waiotan Farm, Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], akhir Mei 2023 lalu.

Mereka berkumpul pada pertemuan Southeast Asia – Women Environmental Human Rights Defender Summit 2023 [WEHRDs]. Terdapat 75 peserta, dalam acara bertajuk “Membangun Jejaring Perempuan Penjaga Bumi, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang Tangguh dan Berdaulat” ini.

“Kami ingin berbagi pengalaman kepada para perempuan pejuang pangan terkait pangan lokal, khususnya sorgum,” terang Maria Loretha, pegiat sorgum dan pendiri Yasores [Yayasan Agro Sorgum Flores] kepada Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu.

Kenapa sorgum? Sorgum merupakan pangan lokal yang telah lama dikomsumsi masyarakat. “Penyeragaman pangan oleh pemerintah melalui program beras, membuat sorgum hilang,” ujarnya.

Maria mengatakan, dirinya berjuang keras mengumpulkan berbagai jenis benih sorgum sejak tahun 2004 dan serius menanam pada 2007. Bersama Yaspensel [Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi Larantuka], sorgum mulai dibudidayakan dan dikenalkan kepada petani di Flores dan Lembata untuk ditanam tahun 2014.

“Karena berburu benih sulit maka saya memutuskan untuk keluar dari Adonara dan diminta Uskup Larantuka bekerja di Yaspensel. Sorgum dikembangkan di Likotuden, Desa Kawalelo, puluhan hektar lalu menyebar ke beberapa kabupaten di Pulau Flores hingga ke Pulau Lembata,” ujarnya.

Baca: Daun Lontar dan Anyaman Kreatif Masyarakat Flores

 

Sorgum siap panen di lahan petani Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jejak sorgum

Jejak sorgum di Indonesia termasuk di Flores, hanya berdasarkan ceritera lisan. Masyarakat etnis Lamaholot [Flores Timur daratan, Adonara, Solor, Lembata, dan Alor] mengenal mitologi Ibu Pangan yakni Jedo Pare Tonu Wujo.

Maria menjelaskan, legenda ini menceritakan seorang anak perempuan yang merelakan dirinya dikorbankan. Darahnya yang membasahi tanah, berubah menjadi beragam benih.

“Di lahan itu tumbuh subur berbagai pangan, seperti padi [taha], labu [besi], jewawut [weteng], jagung [wata], sorgum, dan pangan lain yang dinamai dengan nama lokal.”

Dikutip dari Kehati, sorgum [Shorgum bicolor] diperkirakan berasal dari Afrika yang kemudian menyebar ke berbagai benua, termasuk Asia.

Baca: Nissa Wargadipura dan Harapan Kedaulatan Pangan Masyarakat

 

Sorgum yang sudah memasuki masa panen di lahan sorgum Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ahmad Arif, dalam bukunya yang berjudul Sorgum: Benih Leluhur untuk Masa Depan, menjelaskan, sorgum masuk ke Indonesia dibawa kolonial Belanda tahun 1925 dan mulai berkembang pada 1940-an. Namun, kemungkinan besar sorgum sudah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya.

Botanis Jerman yang bekerja untuk Dutch East India Company atau [Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC], Georg Eberhard Rumphius, tinggal dan meneliti keragaman hayati di Ambon sejak 1654.

Catatan yang kemudian dibukukan, Rumphius [1747:195] menyebutkan, sorgum telah tumbuh di di Indies [Nusantara], namun pada umumnya hanya ditanam di pinggir ladang.

Beberapa peneliti menjelaskan, cantel atau sorgum sudah tertera dalam relief di Candi Borobudur Jawa Tengah. Dalam buku: Inscriptions Reliefs mainly on Borobudur and Prambanan Translation of Indian Ramayana by Bhatti into Old Javanese disebutkan, sorgum merupakan jenis makanan yang ada dalam relief candi dari abad ke-8 selain padi.

Di NTT, sorgum dikenal dengan beragam nama seperti Pena Mina, Jagung Solor, Mesak, Watablolong, Jagung Rote, dan Wataru Hamu.

“Sebagian besar petani yang saya temui, mereka terkejut dan menangis karena makanan mereka dikembalikan lagi. Sejak tahun 1970-an sorgum jarang ditanam,” ucap Maria.

Baca juga: Pemerintah Berencana Kembangkan Sorgum secara Komprehensif di NTT. Seperti Apa?

 

Perempuan pembela lingkungan dari negara Asia mengambil benih sorgum untuk ditanam saat kegiatan di Waiotan Farm, Desa Pajinian, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Lebih menguntungkan

Isna Sogen, petani sorgum Desa Wuakerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, mengatakan menanam sorgum sejak 2016, diajak Yaspensel. Di lahan setengah miliknya, sorgum dipanen setahun dua kali.

Panen pertama April-Mei bisa mencapai 400 kg lebih dan panen kedua Juli-Agustus sekitar 100 kg. Hasil panen Isna dan 26 anggota kelompok tani sorgum Ile Nogo dijual ke Yaspensel Rp8 ribu/kg.

“Semua anggota tanam sorgum. Ada yang luasnya dua hektar, tapi umumnya setengah atau sepertiga hektar.”

Isna menuturkan, menanam sorgum lebih untung karena setelah panen langsung jual ditempat dan harganya stabil. Sebagai perbandingan, harga jagung hibrida Rp3-4 ribu per kilogram, sementara jagung lokal Rp7-10 ribu bila sudah menjadi beras.

Maria melanjutkan, meski harga sorgum relatif baik namun belum banyak petani yang menanam. Masalahnya, terkait mindset.

Saat cuaca tidak menentu, kemampuan adaptasi sorgum yang sangat baik memungkinkan untuk tetap bisa dipanen.

“Ketika hujan intensitas tinggi, sebaiknya ditanam sorgum berkulit seperti jenis Watablolong dan Mesak. Kalau hujannya normal, ditanam sorgum yang tanpa kulit,” jelasnya.

 

Exit mobile version