Mongabay.co.id

Menakar Penggunaan Energi Nuklir dan Risikonya Bagi Lingkungan

 

 

Negara-negara di dunia kini memiliki peran penting bersama, mengatasi persoalan perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca [GRK]. Indonesia sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia telah berkomitmen; pertama mengurangi 32 persen [emisi karbon tahun 2030; dan kedua mencapai target Net-Zero Emission/NZE [nol emisi karbon], maksimal pada 2060.

Kedua target ambisius itu menjadi bagian integral dari tujuan pembangunan menyeluruh untuk menjadi ekonomi maju pada 2045. Visi Indonesia Emas ini tertuang dalam rancangan akhir RPJPN [Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional] 2025-2045 yang telah diluncurkan pada Kamis [5/6/2023].

Untuk mewujudkan itu semua, transformasi energi kotor menuju energi bersih menjadi penting. Karena, selain menjadi salah satu penyumbang emisi karbon, saat ini hingga 2060, Indonesia akan menambah banyak peralatan, pabrik, dan infrastruktur. Semuanya akan mengkonsumsi banyak energi.

“Jadi bagi Indonesia, peluangnya adalah bagaimana kita di satu sisi memenuhi komitmen kita untuk mengurangi emisi CO2 [karbon] sekaligus terus mendukung pembangunan dan pemulihan ekonomi, dimana permintaan energi akan terus meningkat,” jelas Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan [Menkeu], dikutip dari situs resmi kemenkeu.go.id, November 2022 lalu.

Merujuk katadata.co.id tahun 2021, konsumsi energi terbesar Indonesia berasal dari sektor transportasi, industri, rumah tangga, komersial, dan lainnya. Sementara sektor industri, masih menjadi penopang terbesar perekonomian Indonesia, hingga kuartal II 2022.

Namun, pada 2021, emisi sektor energi menyentuh 600 juta ton karbon dioksida, menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Efisiensi energi, energi terbarukan di sektor kelistrikan, dan elektrifikasi transportasi perlu dimulai sekarang.

“Hingga tahun 2030, ketiga pengungkit ini memberikan sekitar 80 persen pengurangan emisi dari sektor energi yang dibutuhkan untuk menempatkan Indonesia di jalan menuju emisi nol bersih,” dikutip dari Peta Jalan Sektor Energi menuju NZE di Indonesia, di situs resmi Badan Energi Internasional, iea.org.

Untuk memenuhi permintaan konsumsi energi dari sejumlah sektor diatas, terutama sektor industri yang menjadi penopang ekonomi Indonesia, batubara punya peran penting, karena posisinya sebagai penyokong utama kebutuhan energi primer nasional, dengan persentase diatas 50 persen [2021]. Diproyeksikan naik hingga 2030.

Situasi menjadi sulit, ketika Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] batubara dianggap sebagai energi kotor, sehingga tidak lagi relevan. Mengingat, posisi Indonesia yang sedang mengejar target pengurangan emisi karbon 2030 dan NZE 2060.

Pemerintah akhirnya mengambil keputusan; pembangunan PLTU baru akan dihentikan, namun dipastikan tidak akan mengganggu pembangkit-pembangkit yang sudah berjalan. Ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, yang mengatur tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

“Dengan teknologi yang kita pahami saat ini, PLTU yang menggunakan batubara merupakan pembangkit listrik yang menghasilkan emisi, maka kita stop untuk pembangunan pembangkit baru, namun perekonomian tidak boleh terganggu dengan upaya-upaya ini,” kata Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana, dikutip dari situs resmi ebtke.esdm.go.id, September 2022.

Seiiring waktu, muncul juga skenario pensiun dini secara bertahap pada sebagian besar PLTU batubara. “Dengan adanya target netral karbon pada 2060, maka kapasitas PLTU berbasis batubara akan dikurangi signifikan menjadi hanya kurang dari 1 GW pada 2057,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara [Minerba], Irwandy Arif, seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Ditengah upaya proses transisi energi Indonesia dengan terus memperbesar peran energi terbarukan serta melepas ketergantungan terhadap PLTU, wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir [PLTN] sebagai pengganti PLTU kian menguat.

Dikutip dari situs resmi DEN [Dewan Energi Nasional], saat ini Indonesia masih didominasi penggunaan PLTU Batubara [sebagai energi baseload -70 persen] untuk mendapatkan ketahanan energi nasional. Target EBT [Energi Baru Terbarukan] yang telah ditetapkan pada KEN [Kebijakan Energi Nasiona] sebesar 23 persen pada 2025 akan sulit tercapai, bila pada tahun 2021 pemanfaatan EBT baru mencapai 12 persen.

“Untuk memenuhi target tersebut, penggunaan PLTN merupakan alternatif,” tegas Anggota DEN, Agus Puji, Mei 2023.

Sebelumnya, wacana pembangunan PLTN memang sudah muncul dalam peta jalan transisi energi Indonesia 2021-2060 untuk mencapai nol emisi karbon pada sektor energi.

“Kita juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai dengan 2060,” kata Arifin Tasrif, Menteri ESDM, Oktober 2021 lalu.

 

Tampak batuan granit penyusun Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengapa PLTN?

Profesor Riset, sekaligus Peneliti Ahli Utama dari Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan, alasan pemerintah mempertimbangkan PLTN sebagai salah satu kontributor untuk mencapai target Net Zero Emission [NZE] memang untuk menggantikan peran PLTU.

“PLTN, punya sifat base load atau bisa menghasilkan energi yang besar, beroperasi terus menerus, emisi karbonnya sangat rendah, dan bisa dibandingkan dengan renewable energy yang memang emisi karbonnya rendah,” katanya, saat dihubungi Mongabay Indonesia via telepon, Selasa [8/8/2023].

Dijelaskannya, saat ini Indonesia sedang berada dalam situasi ketergantungan tinggi terhadap energi fosil, misalnya batubara itu diatas 50 persen masih mendominasi, dan itu sangat besar. Di sisi lain, pemerintah harus segera mencari solusi terkait PLTU-PLTU ini.

Sifat negatif PLTU itu menghasilkan emisi karbon dan sebagainya, namun sisi positifnya adalah mendukung industrialisasi, karena punya daya besar, dan beroperasi terus menerus [base load]. Maka, pemerintah harus mencari tipe pembangkit listrik yang seperti PLTU, tetapi emisi karbonnya rendah.

“Memang keinginan Pemerintah Indonesia, pertama renewable energy, karena mudah diterima oleh masyarakat. Tapi sayangnya, tidak semua renewable energy itu punya sifat yang sama dengan PLTU yang punya daya besar, serta bisa beroperasi terus menerus. Sementara surya atau angin, itukan tergantung cuaca dan situasi,” lanjutnya.

Namun, menurut Djarot, beberapa renewable energy memang punya sifat base load dan bisa menggantikan PLTU. Misalnya pembangkit hydro atau PLTA, serta panas bumi.

“Tapi kendala keduanya kan, sangat spesifik pada lokasi. Tidak semua daerah punya PLT hydro, dan tidak semua daerah punya panas bumi. Maka, salah satu opsinya adalah menggunakan PLTN,” katanya.

 

Kapal akan sulit menepi di Pulau Gelasa, karena hamparan karang tepi yang mengelilinginya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kapan beroperasi?

Merujuk peta jalan transisi energi [2021-2060] Kementerian ESDM, pertimbangan penggunaan energi nuklir direncanakan mulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai 2060.

Kapan mulai beroperasi? Berdasarkan penelusuran pemberitaan di media, terlihat rencana operasi PLTN beberapa kali mengalami perubahan.

Pertama, pada 24 November 2021, dikutip dari finance.detik.com, Kementerian ESDM berdasarkan peta jalan yang mereka susun, menargetkan Indonesia bisa melakukan penyediaan listrik [Commercial Operation Date/tanggal operasi] tenaga nuklir tahun 2049. Ini bisa dipercepat atau diperlambat, diikuti oleh perubahan target energi PLTN menjadi 40 GW akhir 2060.

Kedua, pada 2 Desember 2021 lalu, dikutip dari katadata.co.id, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar menyatakan, pada 2041 pemerintah berupaya PLTN beroperasi tepat waktu. Ini berkaitan dengan konsumsi listrik yang dibutuhkan pada 2045. Untuk mencapai visi Indonesia Emas atau sebagai Top 5 ekonomi dunia, kebutuhan energi tidak akan cukup dari sektor EBT saja.

Ketiga, pada 15 Desember 2022, mengutip cnnindonesia.com, Sekjen ESDM Rida Mulyana, mengatakan PLTN direncanakan beroperasi 2039, untuk tujuan menjaga keandalan sistem karena berfungsi sebagai base load [penopang beban dasar pembangkit listrik].

Sejalan itu, opsi pemanfaatan energi nuklir disertakan pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional [RPJPN] periode 2025-2045, yang diharapkan disahkan pada September tahun ini [2023].

“Kemungkinannya [RPJPN] menggunakan energi nuklir karena hitung-hitungannya kelihatannya tidak cukup kalau kita hanya mengandalkan energi terbarukan saja,” ujar Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas, Vivi Yulaswati, Jumat [19/5/2023], dikutip dari ekonomi.republika.co.id.

Sementara pada 4 April 2023, anggota DEN, Agus Puji menyampaikan PLTN pertama akan beroperasi lebih cepat, yakni tahun 2032, dengan kondisi menggunakan tapak yang sudah selesai dievaluasi untuk PLTN besar atau tapak potensial SMR.

“Jika NEPIO terbentuk tahun 2024, maka PLTN pertama akan dapat beroperasi tahun 2032 dengan target tahun 2040 bisa tercapai 8-10 GW jika dibangun PLTN ukuran bervariasi antara 1000 sampai dengan 1600 MW,” lanjut Agus, dikutip dari situs resmi DEN.

Dia juga menjelaskan, urgensi Perpres Komite Pelaksanaan Program Energi Nuklir yakni dalam rangka pelaksanaan kebijakan, strategi dan program pembangunan untuk memenuhi NDC 2030, Net Zero Emission 2060, dan pertumbuhan ekonomi 6 persen.

“Memerlukan penyediaan energi yang bersih termasuk pemanfaatan PLTN, sehingga penguatan posisi nasional, pembentukan KPPEN yang melibatkan pemangku kepentingan mutlak diperlukan,” lanjutnya.

 

Karang masif dengan diameter sekitar 5-11 meter di sekitar Perairan Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan ambisius PLTN

Kementerian ESDM merencanakan PLTN akan beroperasi tahun 2039, sedangkan DEN merencanakan 2032. Target akhirnya, berdasarkan peta jalan Kementerian ESDM, kapasitas PLTN dapat mencapai 35 GW pada 2060.

Kapan PLTN seharusnya mulai dibangun? Apakah sesuai dengan target NZE 2060?

Djarot Sulistio Wisnubroto punya hitung-hitungan. Menurutnya, PLTN di seluruh dunia saat ini butuh waktu pembangunan hingga 10 tahun. Pembangunan yang dimaksud mulai dari deklarasi go nuclear hingga tahap operasi.

“Kita ambil contoh PLTN di Bangladesh, yang awalnya diasumsikan cepat selesai, ternyata melebihi 10 tahun juga, -walaupun ada alasan COVID-19, tapi situasinya memang seperti itu,” lanjutnya.

Dijelaskannya, tidak hanya di Indonesia, tantangan terbesar pembangunan PLTN di dunia adalah proses perizinan. Sementara proses kontruksi diperkirakan hanya memakan waktu 38-48 bulan [3-4 tahun]. Mulai dari Izin lokasi, sertfikasi desain, izin pembangunan, izin komisioning, izin koperasi, dan sebagainya, termasuk di dalamnya ada izin AMDAL [Analisis Mengenai Dampak Lingkungan].

“Nuklir termasuk isu sensitif, karenanya butuh waktu panjang. Masyarakat harus diyakinkan ini akan aman dan selamat. Karena itulah seluruh regulator di dunia tidak pernah memberikan izin secepatnya. Jadi hitungan saya, itu sekitar 10 tahun baru bisa beroperasi,” lanjutnya.

Dengan demikian, menurut asumsi Djarot, rencana operasi PLTN tahun 2032 oleh DEN merupakan jangka waktu yang terlalu singkat. Apalagi itu akan melewati tahun politik.

“Sekarang 2023 kan, 2023-2024 itu pemerintah tidak mungkin mendeklarasikan nuklir, karena semua sibuk dengan pemilu Presiden. Semua calon presiden juga tidak mungkin dengan lantang memutuskan “kami go nuclear”, baru mungkin tahun 2025, asumsi saya begitu,” lanjutnya.

Masih menurut Djarot, “2025 ke 2032 itu hanya tujuh tahun. Memang bisa kalau kita mau optimis sekali, 2025 deklarasi dan lain sebagainya, terus konstruksinya empat tahun, tiga tahun sisanya itu proses perizinan. Tetapi jangka waktu itu terlalu singkat,” katanya.

Djarot juga memperkirakan, pemenuhan target PLTN 35 GW atau 35 ribu MW pada 2060 merupakan target ambisius. Jika diasumsikan, masing-masing PLTN punya kapasitas 1.000 MW, akan ada 35 PLTN tahun 2060.

“Ini juga mungkin akan ada PLTN berkapasitas kecil 300-500 MW, lebih dari 40 [PLTN], saya duga. Bayangkan saja, dari 2023 ke 2060 itu 37 tahun. Diasumsikan jika DEN optimis beroperasi tahun 2032, berarti 2032 sampai 2060 itu tiap tahun harus ada PLTN yang baru untuk dibangun dan beroperasi. Itu ambisius,” terang Djarot.

Di sisi lain, menurut Djarot, bahan bakar untuk PLTN saat ini, yakni uranium dan thorium itu memang Indonesia punya. Tapi itu baru sebatas potensi, bukan cadangan. Selain itu, proses pembuatan uranium hingga menjadi bahan bakar nuklir, harus melalui teknologi pengkayaan.

“Nah, teknologi inilah yang menjadi teknologi sensitif, hanya sedikit negara yang punya. Jadi, untuk pembangunan PLTN pertama, kedua dan ketiga, mungkin itu sumber uraniumnya beli dari luar negeri,” katanya.

Menurut Djarot, tahapannya juga akan melalui proses kerja sama antar negara, karena ketika kita beli uranium, kita tidak hanya punya potensi sebagai bahan bakar nuklir tetapi juga sebagai senjata. Karenanya, suatu negara akan hati-hati menjual uranium kepada negara lain.

Selain itu, ketika menjual uranium ke negara lain, itu akan memunculkan ketergantungan baru terhadap negara yang menjual. Karena, saat dijual itu akan diawasi oleh IAEA, dan harus dipastikan PLTN beroperasi terus menerus, dengan kata lain bahan bakar uranium akan terus di- supply.

“Karenanya, ketika kita membeli uranium dari negara lain, kita akan tergantung. Misalnya seperti jual beli minyak dan lainnya, yang bisa sewaktu-waktu diboikot oleh penjual,” lanjutnya.

 

Struktur terumbu karang di Pulau Gelasa yang memiliki slope atau lereng, habitat yang disukai nautilus. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Risiko

Memasukkan PLTN sebagai salah satu alternatif menuju NZE 2060 Indonesia, bukannya tanpa risiko. Namun, menurut Djarot, risiko tersebut tidak datang dari teknologi.

“Risikonya ada di sistem, budaya korupsi itu. Karena, kalau sudah PLTN itu tidak main-main.

Jika memang dibangun, ini akan jadi proyek besar sekian triliun, kalau ada kasus korupsi, dikhawatirkan spare part yang digunakan untuk PLTN ini tidak menggunakan yang semestinya,” katanya.

Menurut Djarot, dari sisi teknologi tidak ada masalah. “Karena sudah banyak teknologi baru yang sudah digunakan di negara lain, dan aman-aman saja. Kalau Fukushima itu kan generasi lama,” lanjutnya.

Merujuk laporan data IAEA [International Atomic Energy Agency], per 31 Desember terdapat 437 reaktor tenaga nuklir yang beroperasi di dunia. Saat ini teknologi reaktor nuklir sedang memasuki generasi III dan III+ dan akan menuju ke generasi IV.

Sebagai catatan, reaktor nuklir Fukushima yang mengalami kecelakaan pada Maret 2011 lalu merupakan reaktor generasi II. Sejak PLTN pertama kali dibangun pada 1950-an, diketahui telah terjadi tiga kecelakaan besar, yakni Three Mile Island [AS 1979], Chernobyl [Ukraina 1986], dan Fukushima Dai-chi [Jepang 2011].

Menuru Djarot, pemerintah itu akan rasional. PLTN pertama secara komersial yang akan dibangun itu adalah PLTN yang sudah dibangun di negara lain dan terbukti aman di negara lain.

“Bisa jadi generasi III+. Semua negara yang mulai mengoperasikan PLTN sekitar 1990-2000 menggunakan generasi III, yang mengoperasikan sesudahnya generasi III+. Sementara negara yang sudah mengoperasikan generasi IV baru Tiongkok dan akan terkoneksi ke jaringan listriknya tahun ini atau tahun depan,” lanjut Djarot.

Terkait limbah, Djarot menjelaskan, dari pengalaman reaktor riset di Serpong, satu tahun PLTN 1.000 MW itu limbah yang dihasilkan hanya 300 meter kubik. Diatas 90 persen diasumsikan itu limbah aktivitas rendah- sedang. Dibawah 10 persen itu yang limbah aktivitas tinggi.

“Kalau limbah aktivitas rendah-sedang itu disimpan dalam disposal facility, di bawah tanah dengan ke dalam ratusan hingga puluhan meter saja, itu sudah dipraktikkan di banyak negara. Aman pokoknya,” katanya.

Namun, yang menjadi tantangan adalah jenis limbah bekas bahan bakar nuklir, karena hingga saat ini belum ada satu negara pun yang mampu membuang jenis limbah ini, termasuk Amerika Serikat.

“Tapi banyak negara juga menahan untuk membuang limbah ini, karena kandungan uranium dan plutonium bisa dimanfaatkan sewaktu-waktu, lagipula jumlahnya tidak besar. Sebagai contoh, hingga saat ini Amerika punya banyak PLTN, tapi tidak pernah pusing dengan limbahnya. Siapa tahu kelak punya teknologi itu bisa di daur ulang lagi,” katanya.

Djarot yakin, teknologi saat ini tidak ada masalah. Tetapi perilaku atau budaya korupsi yang harus dihilangkan.

“Masyarakat Indonesia itu, kalau diajak disiplin bisa. Tetapi harus ada contoh dari atasnya dulu. Saya yakin kalau PLTN dikelola dengan baik dan ada role model dari atasnya, yang buruknya dihilangkan, itu akan berjalan baik. Tapi, harus ada contoh-contoh yang bagus dulu,” katanya.

 

Cangkang Nautilus pompilius yang ditemukan di sekitar Teluk Pisang, Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

  

Perusahaan ThorCon

PT. ThorCon Power Indonesia bersama BRIN akan melakukan riset dan pengembangan serta inovasi ketenaganukliran, khususnya teknologi PLTN jenis Molten Salt Reactors [MSR]. PLTN generasi ke-IV ini dianggap lebih ekonomis, tingkat keselamatannya tinggi, limbah nuklir minimal, dan ketahanan proliferasi.

Merujuk katadata.co.id, Thorcon akan membangun PLTN eksperimental 500 megawatt [MW] di Kepulauan Bangka Belitung, yang ditargetkan beroperasi pada 2030. Dikatakan eksperimental, karena harus menempuh sejumlah penelitian dan pengembangan sebelum menjadi reaktor komersial.

“Karena reaktor kami adalah reaktor terkini, maka belum dikomersialkan. Artinya, harus dibangun dulu sebagai reaktor daya non-komersial. Inilah yang kami sebut PLTN eksperimental,” kata kata Bob S. Effendi, Chief Operating Officer PT. ThorCon Power, dikutip dari katadata.co.id.

Setelah dinyatakan lulus dari tahap penelitian dan pengembangan dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir [Bapeten], PLTN akan memperoleh izin operasi sebagai PLTN komersial. Selanjutnya, PLTN yang sudah memperoleh perizinan komersial dapat segera dioperasikan. “Target operasionalnya tahun 2030,” lanjut Bob.

Menurut Djarot, dalam mekanisme teknologi yang diusung oleh ThorCon ini akan tetap menggunakan uranium, karena thorium tidak bisa melakukan pembelahan sendiri untuk menghasilkan energi. Karenanya, thorium harus diubah menjadi uranium, sehingga dalam prosesnya harus menggunakan uranium sebagai pemantik.

“Tetapi sebelum beroperasi, baiknya ThorCon membuat rantai pasok sebelum PLTT [Pembangkit Listrik Tenaga Thorium] itu terbangun. Jika ingin gunakan thorium, sebaiknya terlebih dahulu membuat industri bisnis atau rantai pasok thorium tersebut. Karena, hingga saat ini belum ada satupun negara yang menggunakan thorium sebagai bahan bakar nuklir,” katanya.

Di sisi lain, karena ini akan jadi yang pertama [PLTN menggunakan thorium], keberlanjutannya sangat tergantung pada pemasoknya. “Karenanya, saya sering merekomendasikan pemerintah untuk awal itu membangun PLTN yang sudah banyak dibangun di banyak negara. Tujuannya, kalau kita punya masalah, mudah untuk mendapatkan spare part,” kata Djarot.

Terkait lokasi tapak, PLTN berbasis thorium atau PLTT ini direncanakan dibangun di Pulau Gelasa. Dikutip dari kompas.com, pada tahap awal, PLTT akan dibangun bekerja sama dengan Korea Selatan. Selanjutnya, reaktor akan dibawa ke Pulau Gelasa di Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung. Reaktor akan dibangun di sebuah tongkang lalu ditarik ke pinggir pantai dan dibenamkan.

“Kalau kita olah dari awal, ini akan butuh waktu lebih lama. Jadi tahap awal ini dengan Korea Selatan, baru setelah itu kita bertahap pengolahan sendiri dari monasit yang dimiliki,” kata Bob S. Effendi.

 

Salah satu jenis soft coral yang menjadi rumah bagi jenis clownfish. Foto: Muhammad Rizza Muftiadi/Mongabay Indonesia

 

Tapak belum dipastikan

Heddy Krishyana, Nuclear Energy System Manager PT. Thorcon Power Indonesia, melalui keterangan tertulisnya kepada Mongabay Indonesia, pada 3 Agustus 2023 menyatakan, hingga saat ini baik dari hasil kajian maupun diskusi belum ada kesimpulan bahwa Pulau Gelasa sudah dipastikan sebagai tapak.

“Sampai saat ini ThorCon di Pulau Gelasa hanya melakukan kegiatan persiapan pembangunan PLTN. Tidak ada regulasi yang melarang persiapan. Kepastian tapak PLTN hanya didapat jika sudah ada izin dari Bapeten, KLHK [AMDAL], dan kesepakatan Pemerintah Pusat dan Provinsi,” katanya.

Persiapan Pembangunan PLTN telah disebutkan dalam RPJMN 2020-2024 dalam Peningkatan kapabilitas iptek dan penciptaan inovasi mencakup Teknologi Garda Depan untuk bidang-bidang strategis seperti energi baru dan tenaga nuklir.

Dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 juga disebutkan bahwa dalam melakukan percepatan transisi energi menuju ekonomi hijau dilakukan melalui empat tahap yaitu, penyiapan pendukung PLTN [2025-2029], penyiapan pendukung PLTN, small modular [2030-2034], implementasi PLTN skala kecil [2035-2039] dan Implementasi PLTN skala kecil [2040-2045].

ThorCon, sebutnya juga telah menyelesaikan kajian ekologi di Pulau Gelasa sebagai bakal calon tapak untuk persiapan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berbasis Thorium [PLTT].

“Bakal calon tapak belum diputuskan, semua tergantung izin Bapeten, kajian ekologi maupun kajian lainnya sebaga dokumen pendukung dalam persiapan dan diskusi dengan para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan,” lanjut Heddy.

Dalam pengoperasian PLTN, dia menyebut jaminan terhadap keselamatan menjadi hal yang penting untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat yang tinggal di sekitar.

“Untuk mengetahui opini penduduk sekitar terhadap pengoperasian instalasi nuklir, kami lakukan dengar pendapat dan hasilnya kemudian diumumkan secara resmi kepada publik,” lanjutnya.

 

Seorang nelayan memperoleh ikan tenggiri saat perjalanan menuju Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kepentingan nasional

Menurut Heddy, sejauh ini seluruh kegiatan ThorCon adalah legal, karena sudah berkoordinasi untuk melakukan studi kelayakan tapak PLTN dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun Pemerintah Pusat.

Dijelaskannya, referendum penggunaan energi nuklir juga tidak mutlak harus dilakukan, karena menurut UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 13 Ayat 4, disebutkan bahwa pembangunan reaktor nuklir komersial berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

“Saat ini, yang menjadi kepentingan nasional yang mendesak adalah transisi energi memenuhi target Net Zero Emission di tahun 2060,” jelas Heddy. Ini merupakan langkah lanjut setelah Pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan Paris dan telah diratifikasi dengan UU No. 16 tahun 2016. Dimana pembangkit fosil, khususnya batubara, akan mulai di phase out tahun 2025.

Menurut Heddy, pada 12 Juni 2023, Anggota Dewan Energi Nasional [DEN] telah melakukan audiensi dan sosialisasi Opsi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kegiatan tersebut diterima langsung oleh Pj. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Suganda Pandapotan Pasaribu beserta jajarannya.

“Dalam paparannya, salah satu anggota DEN mengungkap bahwa nuklir merupakan salah satu alternatif pemanfaatan energi ke depan. Nuklir juga akan menjadi salah satu poin dalam perubahan kebijakan energi nasional sehingga mengisi salah satu porsi bauran energi nasional tahun 2032 sebesar 1GW,” lanjutnya.

Adanya sosialisasi pada tanggal 29 Juli 2023, Pemprov Bangka Belitung bersama Bapeten dan DEN di Desa Batu Beriga, dia menyebut, bahwa masyarakat sudah diberitahu dari awal kalau suatu saat di Pulau Gelasa akan dibangun PLTN.

“Sejauh ini, ThorCon telah melakukan diskusi dengan masyarakat dan perangkat Desa Batu Beriga secara informal. Namun, ThorCon belum secara resmi melakukan diskusi, karena ThorCon belum memastikan Pulau Gelasa sebagai Tapak PLTN,” terang Heddy.

Dilanjutkan Heddy, sejauh ini menurut Kepala Desa Batu Beriga, belum ada pernyataan penolakan masyarakat Desa Batu Beriga terkait rencana pembangunan PLTN di Pulau Gelasa.

“Ini juga membuktikan bahwa PT. ThorCon Power Indonesia berkoordinasi baik dengan Pemprov Bangka Belitung, Bapeten, maupun DEN serta Pemkab dan masyarakat setempat,” paparnya.

 

Cumi-cumi telah ditetapkan sebagai sumber perikanan strategis Bangka Belitung dan potensinya ada juga di perairan Pulau Gelasa. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Diklaim tidak mengancam sosial lingkungan

Pulau Gelasa yang direncanakan sebagai tapak, luasnya sekitar 220,83 hektar. Pulau ini adalah pulau terdepan dari Kepulauan Bangka Belitung yang menghadap Laut Natuna [Laut China Selatan]. Merujuk jurnal oleh Adi et al., [2020]. Secara umum kondisi terumbu karang di Pulau Gelasa merupakan karang tepi atau fringing reef berupa reef flat dengan sebaran terumbu mengelilingi pulau. Karang tumbuh dengan baik di kisaran kedalaman 3-9 meter.

“Pulau Gelasa umumnya banyak dimanfaatkan oleh nelayan lokal maupun daerah lain sebagai fishing ground dikarenakan kondisi ekosistem Perairan Pulau Gelasa masih alami dan jauh dari aktifitas manusia di daratan utama [main island/Pulau Bangka),” jelas tulisan tersebut.

Hasil penelitian itu menunjukkan persentase tutupan karang hidup Pulau Gelasa berkisar antara 40,3-62,06 persen.

“Berdasarkan Kepmen Lingkungan Hidup No.4 tahun 2001 tentang baku mutu kriteria kerusakan terumbu karang, karang Pulau Gelasa termasuk kategori sedang sampai dengan baik,” tulis jurnal itu.

Di Gelasa, pihak ThorCon sedang dalam tahap melakukan studi kelayakan Tapak PLTN, termasuk kajian ekologi di sekitar Pulau Gelasa. Seluruh dampak dari pembangunan PLTT, baik dampak negatif maupun positif akan dikaji dalam AMDAL, yang akan melibatkan masyarakat setempat. Dampak positif akan menjadi nilai tambah pembangunan PLTT.

Adapun peraturan yang harus diikuti adalah Undang-Undang RI No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran, PP No 54/2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir, PP No. 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, serta Undang-Undang [UU] Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“KLHK dan Bapeten mempunyai wewenang memberikan izin AMDAL dan Tapak. Jika akan membahayakan lingkungan maka izin AMDAL/Tapak tidak akan diberikan oleh kedua institusi tersebut,” lanjut Heddy.

“Di sekitar Pulau Gelasa, di teluk tempat direncanakan penempatan PLTT, tidak ada ikan karena tumbu karang sudah rusak, sedangkan nelayan menangkap ikan di tengah laut di luar area Pulau Gelasa,” lanjutnya.

“Pembangunan PLTN harus didukung kajian komprehensif. Mulai dari studi pemantauan lingkungan di sekitar lokasi PLTN dan kajian kendali kualitasnya,” lanjut Heddy.

 

Ekosistem mangrove di Pulau Gelasa yang masa lalu disebut Pulau Kelasa. Foto: [Drone] Muhammad Rizqi Ramadhani/Mongabay Indonesia

 

Pengolahan limbah

Dalam buku Lyman, [2022] yang menganalisisi teknologi MSRE [Molten Salt Reactor] yang diusung oleh ThorCon, dijelaskan bahwa proyek eksperimental di Amerika Serikat di Laboratorium Nasional Oak Ridge tersebut, tercatat sebagai kegagalan nyata dalam pembuangan limbah secara efektif dari MSRE di Laboratorium Nasional Oak Ridge, yang ditutup hampir 50 tahun lalu.

Menurut Heddy, gas flourine memang timbul dalam limbah MSRE seperti yang dikutip dari buku Lyman. “Berdasarkan pengalaman itu, maka ThorCon telah melakukan tindakan perbaikan dalam pencegahannya timbulnya gas florine, dengan mengendalikan temperatur seluruh wadah bahan bakar dan limbah,” lanjutnya.

Sebagai catatan, menurut dia, masalah keselamatan maupun persoalan limbah nuklir telah diatur oleh Bapeten [Badan Pengawas Tenaga Nuklir]. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 23 dan 24, Pemerintah telah menunjuk Bapeten sebagai Badan Pengawas.

Masalah limbah telah diatur juga dalam PP No 61 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif dan Peraturan Kepala Badan No 8 Tahun 2016 tentang Pengolahan Limbah Radioaktif Tingkat Rendah dan Sedang.

Menurut Heddy, Indonesia tidak diposisikan sebagai “kelinci percobaan”. Teknologi PLTN yang diusung, lebih aman dan murah. Proyek PLTN berbasis thorium memang belum ada yang beroperasi komersial, namun pada 1965-1969, teknologi reaktor ini telah dioperasikan selama kurang lebih 13.000 jam di Oak Ridge National Laboratory. Teknologi ini dianggap sebagai teknologi nuklir generasi IV untuk masa depan yang telah banyak dikembangkan berbagai negara.

Dia menyebut regulasi di Indonesia juga tidak melarang jika ada inovasi baru dalam desain teknologi nuklir. Hal ini sesuai PP 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

“Dapat terlihat bahwa TMSR500 merupakan PLTN generasi IV yang patut dipertimbangkan untuk dimanfaatkan masa akan datang, karena selain mempunyai sistem keselamatan yang aman juga harganya murah,” paparnya.

 

Pulau Gelasa yang begitu indah dan kaya biota laut. Foto: [Drone] M. Rizqi Rama/Mongabay Indonesia

 

Target Pembangkit Listrik EBT

Untuk tetap berada pada jalur nol emisi karbon [2060], Indonesia punya target pembangkit listrik EBT [Energi Baru Terbarukan] sekitar 700 GW pada tahun 2050-2060. Namun, pada tahun 2022, kapasitas pembangkit listrik masih didominasi batubara atau PLTU sebesar 42 GW [55 persen], sedangkan dari EBT hanya 12 GW [14 persen]. Dengan demikian, target 15 persen bauran EBT tahun 2022 tidak tercapai.

Menurut Surya Darma, Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia, target-target tersebut hanya akan menjadi angan-angan, karena hingga saat ini belum ada rencana yang tersusun secara detil. Mulai dari kapan akan dibangun, kapan akan dimulai, berapa biayanya, berapa lama akan dibangun, siapa saja yang bisa terlibat, mekanisme anggaran, dan sebagainya.

“Ini kan jangka panjang [2060], seharusnya pemerintah membuat semacam otorita atau badan khusus Pengelola Energi Terbarukan, dan itu belum ada. Sejauh ini pemerintah masih mengandalkan masing-masing kementerian, dan itu punya keterbatasan, baik dari sisi anggaran, maupun sentimen proporsional anggaran pada setiap kementerian,” terangnya, Selasa [8/8/2023].

Dengan adanya badan tersebut, jelas Surya Darma, semua dapat terlibat dan bersinergi memikirkan tentang target NZE 2060. “Semuanya harus komprehensif, agar apa yang direncakan bisa diimplementasikan dengan baik,” lanjutnya.

Dikutip dari detikfinance.com, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi [EBTKE] Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan, potensi EBT yang dimiliki Indonesia sekitar 3.600 GW, atau sekitar 5 kali lipat dari kebutuhan EBT pada 2060 [700 GW].

Potensi EBT ini terdiri dari energi matahari [3.295 GW], angin [155 GW], hidro [95 GW], laut [63 GW], bioenergi [57 GW], dan panas bumi [24 GW].

Surya Darma menjelaskan, ada baiknya pemerintah terlebih dahulu mengoptimumkan potensi energi-energi tersebut. Karena semua potensi tersebut ada di dalam negeri. Namun, setiap sumber energi punya kelemahan dan sifat masing-masing.

“Misalkan matahari, air, angin, itu masih punya kendala terkait intermitensi, atau masih tergantung cuaca, sehingga berpengaruh terhadap kapasitas listrik yang dihasilkan tidak maksimal atau terputus-putus. Ini bisa disiasati dengan baterai, atau smart grid. Pertanyaannya apakah kita sudah siap dengan itu semua?,” lanjutnya.

Sementara nuklir, itu punya kelebihan terkait lamanya waktu bisa beroperasi dan kapasitasnya besar, tetapi dampaknya juga besar.

“Limbahnya kita tidak tahu dibawa kemana. Kalau mau di buang di pulau-pulau kecil di Indonesia, itu berisiko atau dampaknya cukup besar. Bahan bakar nuklirnya juga cuma potensi, belum sebagai cadangan. Belum dilakukan survei detil, apakah bahan bakunya cukup dan bisa digunakan atau tidak,” tuturnya.

Semua proses terkait nuklir juga ada pada pihak internasional dan itu panjang prosesnya. Kemudian, bahan bakar itu kan harus impor, karena semua porses ada di internasional.

“Kita akhirnya menjadi importir. Kalau sekarang kita ekspor migas, nanti kita akan impor nuklir juga, prosesnya akan panjang dan menjadi tidak secure bagi Indonesia. Banyak orang tidak memahami. Ini harus menjadi kehati-hatian kita,” terangnya.

Di sisi lain, kalau kita lihat roadmap dari IEA, nuklir itu untuk tahun 2050 porsinya kecil sekali. Karena nanti akan dikurangi juga, untuk kepentingan kesehatan hingga pertanian.

Sementara potensi energi terbarukan yang lain, besar di Indonesia, termasuk angin, air, matahari, panas bumi, dan sebagainya. Artinya keuntungan dan kelebihan itu kembali ke dalam negeri. Penelitiannya bisa di dalam negeri, begitu juga dengan pengembangan teknologi dan sebagainya.

“Semua peluang itu ada di kita,” tegas Surya.

 

* Artikel ini direvisi pada 29 Agustus 2023.

 

Referensi jurnal:

Adi, W. et al. (2020). Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Gelasa Kabupaten Bangka Tengah. Akuatik: Jurnal Sumberdaya Perairan, 14(2), pp. 13–19.

Elsheikh, B.M. (2013). Safety assessment of molten salt reactors in comparison with light water reactors. Journal of Radiation Research and Applied Sciences, 6(2), pp. 63–70. Available at: https://doi.org/10.1016/j.jrras.2013.10.008.

Erlan, D. and Tagor, M.S. (2018). Assessment of TMSR (Thorium Molten Salt Reactor) safety system. Available at: https://inis.iaea.org/search/search.aspx?orig_q=RN:52004378.

Lumbanraja, S.M. and Liun, E. (2018). Reviu Implementasi Thorcon Molten Salt Reactor di Indonesia. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir, 20(1), p. 53. Available at: https://doi.org/10.17146/jpen.2018.20.1.4083.

Lyman, E. (2022). “Advanced” Isn’t Always Better: Assessing the Safety, Security, and Environmental Impacts of Non-Light-Water Nuclear Reactors. in APS April Meeting Abstracts, pp. E06-003. Available at: https://www.ucsusa.org/sites/default/fles/2021-05/ucs-rpt-AR-3.21-web_Mayrev.pdf.

 

Exit mobile version