Mongabay.co.id

Kebakaran Hutan dan Lahan di Berbagai Daerah, Kabut Asap Mulai Cemari Udara

 

 

 

 

 

Musim kemarau datang.  Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Kalimantan dan Sumatera, bahkan di Jawa,  dan daerah lain. Kabut asap pun mulai tebal dan kualitas udara buruk dan berbahaya bagi kesehatan. Di Kalimantan Barat, misal,  titik api terpantau di beberapa kabupaten/kota diikuti dengan kabut asap dan kualitas udara buruk bahkan sangat buruk.  Bahkan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, sudah menyetop sekolah tatap muka, beralih ke kelas daring sejak pekan lalu.

Dari Jambi, BPBD mencatat, sejak Januari-16 Agustus 2023 terdeteksi 938 titik panas, lebih separuh terpantau di Kabupaten Tebo. Luas lahan terbakar sampai 17 Agustus 2023 mencapai 316 hektar. Kabupaten Batanghari paling rawan, dengan luas kebakaran 155 hektar.

Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, sejak awal Agustus hingga pertengahan Agustus, karhutla mulai mendominasi di Indonesia. Data BNPB per 7-13 Agustus, sudah 38 kejadian bencana, 21,61%  adalah Karhutla. Sisanya, bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem.

“Kalau karhutla di wilayah Kalimantan dan Sumatera itu mayoritas berada di wilayah gambut. Karhutla di Jawa, Bali, NTT dan NTB itu di lahan mineral atau semak-semak,” kata Muhari dalam acara Disaster Briefing BNPB 14 Agustus lalu.

BNPB mencatat, data karhutla periode Juni-Juli, kabupaten paling banyak bencana karhutla adalah Aceh Besar dengan 16 kejadian. Lalu, Klaten (11), Kota Palangkaraya (8), Belitung Timur (7), dan Bener Meriah (7).

Data karhutla 2023 per 13 Agustus menyebut, Aceh jadi wilayah mengalami karhutla terbanyak di Indonesia dengan 40 kejadian.

“Sebenarnya, sangat banyak karhutla di Aceh yang tidak dilaporkan resmi. Misal, karhutla seluas satu hektar itu biasa tidak tercatat,” katanya.

 

 

 

Muhari bersyukur, tak ada korban jiwa karena karhutla, dan api tidak merambat ke pemukiman warga.

Dia bilang, ada perubahan tren karhutla di beberapa wilayah di Indonesia. Misal, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, , Kalimantan Barat,  Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, yang kerap terjadi karhutla, kini bergeser ke wilayah lain.

Kepulauan Bangka Belitung,  kurun waktu satu bulan, juga terjadi karhutla. Kebakaran juga terjadi di beberapa kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali hingga NTT serta NTB. Selain, frekuensi karhutla di Kalimantan Timur dan Kalimantan Timur juga mulai merangkak naik.

Data BNPB, analisis curah hutan melalui citra satelit Himawari menyebut, akumulasi curah hujan harian di Sumatera dalam satu minggu terakhir lebih banyak di bagian utara. Sedangkan, di Kalimantan sejak 7-8 Agustus terjadi hujan secara menyeluruh yang dominan di bagian utara.

Adapun di Sulawesi, akumulasi curah hujan harian terjadi di bagian tengah, di Papua, bagian utara hingga tengah. Untuk Jawa, hanya sebagian kecil Jawa Barat dan Banten alami hujan. Secara keseluruhan, akumulasi curah hujan harian terjadi di wilayah Indonesia adalah rendah-sedang.

Dia bilang, karhutla ini harus diwaspadai dan jadi perhatian pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), agar segera melakukan upaya-upaya mitigasi.

BNPB,  sedang memaksimalkan dukungan logistik dan perlengkapan pemadaman darat berupa pompa 273 unit, selang 819, 312 nozzle, 312 konektor 312, APD (750 paket), dan flexible tank 39. Juga sarana prasarana operasi udara berupa helikopter patroli dan water bombing, maupun integrasi aplikasi pemantauan karhutla.  Sekarang, katanya,  31 helikopter tersebar di enam provinsi prioritas.

 

Sebagian hujan

Walaupun Indonesia sudah masuk musim kemarau dan bencana yang mendominasi adalah karhutla, tetapi beberapa wilayah di Indonesia mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi basah.

Kondisi itu karena wilayah Indonesia dipengaruhi dua samudra dan topografi yang bergunung di khatulistiwa. Meski begitu, BMKG memprediksi kemarau tahun ini lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya.

“Musim hujan di Indonesia, bukan musim hujan tanpa karhutla, dan musim kemarau di Indonesia, bukan musim tanpa banjir. Selalu ada fenomena yang berlawanan terjadi di Indonesia, bahkan terjadi di satu provinsi sekalipun,” katanya.

Data BMKG menyebut, akhir Juli lalu ada sekitar 63$ wilayah Indonesia memasuki kemarau meliputi, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. Sementara, wilayah alami curah hujan rendah hingga Oktober mencakup sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Selain itu, wilayah yang mengalami hari tanpa hujan antara 21-60 hari terjadi di sebagian Jawa, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Bahkan, Bali, NTB dan NTT disebutkan sudah masuk krisis, karena sudah 60 hari tidak turun hujan.

Adapun prediksi curah hujan pada Oktober masih dalam kategori rendah-menengah dan terjadi di sebagian Sumatera Utara.  Juga sebagian Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

 

Kebakaran hutan dan lahan di Riau, sudah meluas ke seluruh kabupaten kota. Rokah Hilir, salah satu yang alami karhutla cukup luas. Foto: BPBD Rokan Hilir

 

Kondisi sama juga akan terjadi di Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, sebagian Papua Barat dan sebagian Papua.

Pada November mendatang, curah hujan diprediksi masih kategori rendah-menengah dan akan terjadi di sebagian Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, dan Banten. Juga, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan,

Hal serupa juga akan terjadi di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, sebagian Papua Barat hingga sebagian Papua.

Sedangkan, prediksi curah hujan pada Desember 2023 dan Januari 2024 akan berada pada kategori menengah-tinggi, di sebagian Aceh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, dan sebagian Banten. Lalu, sebagian Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, sebagian Maluku dan sebagian Papua Barat.

 

 

 

Karhutla di Jambi

Jambi pun mulai karhutla.  Wak Janggut dan dua rekannya ditangkap polisi karena membakar lahan di Desa Sungai Baung, Kecamatan Pengabuan, Tanjung Jabung Barat, Jambi.

Penangkapan lelaki 81 tahun itu bermula dari tim Regu Pemadam Kebakaran (RPK) PT. WKS mendapat informasi ada kebakaran di Kanal 6 Ujung Jaddam, Desa Sungai Baung 1 Agustus lalu.

Sehari kemudian tim RPK memasukkan alat berat untuk membuat embung guna memadamkan api yang membakar kawasan gambut. Kelompok Wak Janggut menghalangi.

“Ketika itu Wak Janggut datang beserta rombongan berkisar tujuh orang dan menghalangi penggalian dengan menodongkan parang kepada pekerja dan memaksa untuk memberhentikan kegiatan serta menghalangi petugas RPK memadamkan api,” kata AKBP Padli, Kapolres Tanjung Jabung Barat, saat jumpa pers, 9 Agustus lalu.

Api yang membakar delapan hektar lebih lahan gambut itu baru bisa padam setelah petugas mengerahkan helikopter water bombing.

Kapolres bilang, Wak Janggut  ditangkap 6 Agustus. Dia sempat melawan bahkan mengancam gunakan parang.

Tiga petani Tanjung Jabung Barat itu dijerat dengan  UU Nomor 41/1999 dan UU 32/2008 dengan acaman hukuman 15 tahun dan denda Rp10 miliar.

Kebakaran lahan juga terjadi di Muaro Jambi. Lahan kosong bekas sawah di Desa Talang Duku, Kecamatan Tanggo Rajo, Kabupaten Muaro Jambi terbakar pada 9 Agustus lalu. Api baru berhasil padam oleh tim gabungan berjibaku selama delapan jam dibantu helikopter water bombing. Luas kebakaran diperkirakan 20 hektar.

Udara di Kota Jambi sempat memburuk beberapa hari dampak kebakaran, meski tidak sampai level berbahaya.

 

Penangkapan Wak Janggut Foto: .Dok.Polres Tanjung Jabung Barat

 

Saat ini Satreskrim Polres Muaro Jambi masih menyelidiki penyebab kebakaran. Tujuh pemilik lahan telah diperiksa, tetapi tidak ada yang mengaku sengaja membakar.

Analisis Walhi Jambi menunjukkan titik kebakaran itu berada di wilayah Kesatuan Hidrologi Gambut Sungai Batanghari-Sungai Kumpeh.

Abdullah, Direktur Eksekutif  Daerah Walhi Jambi, menilai,  kebakaran lahan di Talang Duku akibat tata kelola gambut buruk. “Kebakaran lahan masyarakat di Talang Duku itu tidak bisa kita pisahkan dengan tata kelola gambut di wilayah itu,” katanya, 18 Agustus lalu.

Walhi Jambi mencatat, ada delapan perusahaan perkebunan sawit dan satu perusahaan HTI yang mendapatkan izin kelola di KHG Sungai Batanghari-Sungai Kumpeh. Mereka antara lain, PT Kharisma Kemingking, PT Erasakti Wiraforestama, PT Fajar Pematang Indah Lestari, PT Rickim Mas Jaya Sakti, PT Puri Hijau Lestari, PT Aneka Pura Multikerta, PT Ricky Kurniawan Kertapersada, dan PT Wira Karya Sakti (HTI).

Menurut dia, proses pengeringan gambut perusahaan dengan membuat kanal-kanal, membuat wilayah Talang Duku rawan kebakaran.

“Akibatnya yang kering bukan hanya di titik itu saja, tetapi semua. Hingga mengakibatkan seluruh wilayah KHG mudah terbakar. Baik dalam konsesi perusahaan maupun wilayah kelola masyarakat yang berada di sekitarnya,” katanya.

 

Upaya pencegahan karhutla melalui surat edaran Polda Jambi tentang larangan pembakaran hutan dan atau lahan, kata Abdullah,  tidak cukup, karena tidak bisa menjawab akar persoalan.

“Jika prioritas pencegahan tidak dengan menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan industri di wilayah gambut, kebakaran hutan dan lahan bukan hanya sebagai bayang-bayang, namun berpeluang terus berulang.”

Abdullah juga menyinggung salah satu dari enam instruksi yang disampaikan Presiden Joko Widodo melalui rapat koordinasi nasional pengendalian karhutla bersama para menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah di istana negara 22 Februari 2021 soal penataan ekosistem gambut dalam kawasan hidrologi gambut.

“Jika kita periksa, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Jambi tidak lepas dari buruknya pengelolaan gambut, khusus gambut berizin.”

Analisis Walhi Jambi dengan data satelit landsat 8 dan sentinel 2 juga diperkuat cek lapangan, pada karhutla 2019 di Jambi mencapai 165.186, 58 hektar. Dari jumlah itu, lahan terbakar 114.900,2 hektar di wilayah gambut.

Walhi Jambi mendorong penataan kesatuan hidrologi gambut jadi prioritas dengan evaluasi tata kelola perizinan. “Ini langkah pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang sangat strategis,” katanya seraya bilang, Jambi tercatat memiliki 14 KHG seluas 904.424 hektar.

BPBD Jambi mencatat, sejak Januari-16 Agustus 2023 terdeteksi 938 titik api. Gubernur Jambi Al Haris sudah menyetujui membuat hujan buatan demi mencegah karhutla terus meluas.

 

Pantauan kualitas udara dan titik api di Kalimantan Barat, 20 Agsutsu 2023.

 

Mengapa terus berulang?

Karhutla merupakan bencana ‘langganan’ di negeri ini.  Setidaknya beberapa kali karhutla terparah antara lain, tahun 2015 dan 2019. Pada 2015, dengan karhutla hampir sebulan menghasilkan karbon harian lebih tinggi dari yang dikeluarkan Amerika Serikat. Sekitar 2.6 juta hektar terbakar.

Menurut data Greenpeace, kabut apa dari karhutla saat itu mengakibatkan penyakit pernapasan dan lain-lain terhadap ratusan ribu orang di Asia Tenggara, serta memicu kerugian US$16 miliar di sektor kehutanan, agrikultur, pariwisata dan lain-lain. Pada 2019, ada seluas 1.639.500 hektar kembali terbakar.

Berdasarkan analisis Greenpeace Southeast Asia-Indonesia yang dibuat pada 2020 menyebutkan, dari 2015 hingga 2019, ada sekitar 4.440.500 hektar terbakar di Indonesia. Lahan seluas 789.600 hektar atau 18% dari 4.4 juta hektar terbakar berulang kali. Ironisnya, ada sekitar 27% lahan yang terbakar berlokasi di konsesi perusahaan sawit dan bubur kertas.

Menurut Pasal 49 UU 1999 tentang Kehutanan, pemegang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area mereka. Konsep ini, yang dinamakan strict liability atau tanggung jawab mutlak. Ia diperkuat Pasal 88 dari UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam regulasi itu, katanya, apabila konsesi perusahaan terbakar, maka perusahaan itu dapat dihukum dengan beragam sanksi, seperti denda, pencabutan izin, hingga gugatan perdata dan pidana.

Pemerintah berjanji menerapkan langkah-langkah akuntabilitas yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab menjaga lahan dibawa manajemen mereka dari kebakaran.

Sayangnya, Greenpeace menemukan, perusahaan sawit dan bubur kertas dengan luas lahan terbakar terbesar sejak 2015-2019 secara umum tidak mendapatkan hukuman yang serius. Selain itu, dengan pengesahan UU Cipta Kerja juga menyebabkan hilangnya perlindungan lingkungan demi investasi.

“Kami sedang memantau apakah wilayah perusahaan-perusahaan yang pernah terbakar pada 2015 dan 2019, apakah terbakar kembali pada 2023 ini,” kata Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia kepada Mongabay, 17 Agustus lalu.

 

Sebanyak 53 kasus karhutla terjadi di Aceh periode Januari-Juni 2023. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, Belgis di Kalimantan Barat untuk membantu warga yang tertimpa karhutla di beberapa titik. Dia bilang, ada informasi bahwa beberapa titik lahan di konsesi perusahaan sawit mulai terbakar. Meski begitu, mereka sedang pengecekan.

Karhutla dalam konsesi perusahaan sawit dan bubur kertas berpotensi terjadi lagi. Apalagi,  El-Nino 2023 diperkirakan lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, katanya, harus  benar-benar  serius merestorasi, melindungi dan memulihkan ekosistem gambut guna mencegah karhutla.

Gambut merupakan ekosistem esensial di Indonesia karena memegang peranan penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, mengatur tata air di sepanjang lanskap dan meminimalisir resiko banjir, dan mitigasi perubahan iklim. Gambut menyimpan kandungan karbon banyak di dalam tanah dan biomassa, terutama dalam keadaan utuh, dengan rata-rata 12 kali lebih banyak kandungan karbon per hektar daripada hutan hujan tropis di tanah mineral di pulau-pulau Asia.

Sejak karhutla 2015, Pemerintah Indonesia berkomitmen melindungi dan memulihkan ekosistem gambut dengan target 2 juta hektar  sampai 2020. Langka itu untuk meminimalisir penyebaran dan intensitas kebakaran gambut guna mengatasi krisis iklim.

Pada 2020, Pemerintah Indonesia mengklaim berhasil. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akhir 2018, Indonesia sudah memulihkan ekosistem gambut lebih 1 juta hektar dari upaya sendiri. Seluas 3,47 juta hektar dari upaya perusahaan sawit dan bubur kertas.

Namun, berdasarkan temuan Greenpeace dalam laporan berjudul “Restorasi Hilang dalam Kabut Asap” pada 2021 menemukan, upaya Pemerintah Indonesia melindungi dan memulihkan ekosistem gambut tak efektif mencegah kebakaran. Pembukaan lahan gambut termasuk deforestasi dari ekspansi industri sawit dan bubur kertas masih terus berlanjut.

Greenpeace juga menemukan, masih banyak konsesi dan perusahaan di dalam KHG yang terus merusak fungsi hidrologis gambut dengan mempertahankan dan memperpanjang kanal, menurunkan tinggi muka air, dan memperluas pembukaan lahan.

Bukan hanya itu, hampir sepertiga dari KHG di tujuh provinsi prioritas restorasi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) memiliki status “kritis sedang” dan “kritis tinggi” karena penggunaan lahan untuk sawit dan HTI.

Meski ada upaya restorasi, api terus membara di dalam KHG ini dan mendegradasi gambut lebih lanjut. Dari 2015-2019, terdapat kebakaran pada 200 dari 520 KHG di tujuh provinsi prioritas restorasi, dengan hampir 2 juta hektar gambut terdampak kebakaran. Meski dua pertiga dari KHG yang dianalisis ada pada kondisi relatif baik, namun kawasan ini berisiko mengalami kerusakan.

Belgis bilang, kehadiran perkebunan sawit dan bubur kertas, serta izin-izin baru di atas lahan gambut dan KHG, akan meningkatkan risiko kerusakan gambut. El-Nino 2023, katanya,  akan memperparah karhutla.

Dia bilang, modifikasi cuaca bukan solusi efektif menghadapi karhutla, karena teknologi itu membutuhkan biaya cukup besar.  Dengan melindungi dan memulihkan ekosistem gambut serta review izin perusahaan sawit dan bubur kertas yang wilayah-wilayah berulang kali terbakar, katanya,  jadi solusi terbaik.

Menurut dia, apabila upaya rehabilitasi dan perlindungan gambut ketat tidak segera berjalan, area ini mungkin akan rusak hingga level kritis, sampai ke titik kerusakan tak bisa pulih lagi.

 

 

********

Exit mobile version