Penelitian terbaru para ilmuan dari Universitas Harvard dan Universitas Columbia soal dampak kabut asap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, pada 2015, mengungkapkan temuan sungguh mencengangkan.
Dalam penelitian berjudul,”Dampak Kesehatan Masyarakat akibat Asap di Ekuatorial Asia pada September-Oktober 2015,” ini, yang rilis Senin (19/9/16), menyebutkan, dari paparan ~60 mikro gram per meter kubik (µg m-3) dari PM2,5 asap yang menimpa penduduk menyebabkan kematian dini 100.300 orang di seluruh Indonesia, Singapura dan Malaysia.
Rincian perkiraan kematian dini itu, Indonesia 91.600 orang (24.000-159.200), Malaysia 6.500 orang dari range 1.700-11.300, dan 2.200 orang (600-3.800 orang) di Singapura.
Angka ini, lebih dari dua kali lipat dari 25 µg m-3 dari PM2,5 asap dan 37.600 kematian dini yang diperkirakan selama kabut asap serupa pada 2006. Paparan asap pada wilayah-wilayah berpenduduk padat ini sesuai arah tiupan angin pada 2006 dan 2015.
Dalam penelitian ini menyebutkan, angka perkiraan sejumlah itu baru fokus pada kematian dini dewasa. Mereka kurang pengetahuan mengenai efek polusi udara terhadap kematian anak. Kemungkinan dampak pada anak-anak, sangat signifikan.
Pendekatan model ini dengan mengkuantifikasi dampak kesehatan masyarakat akibat polusi asap, termasuk asap lintas batas.
Untuk melihat paparan asap, penelitian ini menggunakan perbandingan kejadian 2006, tak memakai perbandingan asap hebat dan parah pada 1997, karena ketiadaan data satelit tahun itu.
Dari data terlihat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah terbakar hebat pada 2006, menyumbang 30% dan 31% total emisi organic carbon dan black carbon terlepas.
Emisi kebakaran di Indonesia, selama Juli-Oktober 2015, sebesar adalah 2,1 teragram (Tg) lebih tinggi jika dibandingkan emisi bulan sama 2006, atau naik 110%.
Dari penelitian ini juga bisa terlihat, provinsi mana yang memberikan kontribusi pemasok asap ke berbagai wilayah itu. Sumatera Selatan menyumbang 62% atau 1,3 Tg, pada 2015, dibandingkan emisi 2006, Kalimantan Tengah 18% (0,4 Tg). Jambi, bertanggung jawab kurang 5% asap 2006, tetapi menyumbang emisi tertinggi ketiga pada 2015 atau 12% . Kontribusi asap Kalimantan Barat menurun dari 16% pada 2006 menjadi 6% pada 2015.
Dari sana, terungkap, daerah penyebar asap paling banyak dari Sumatera Selatan, yang memberikan lebih tiga kali lipat dari paparan asap dari Kalimantan Tengah.
Pada 2006, Kalbar memberikan kontribusi 16% terhadap emisi regional, tetapi bertanggung jawab atas paparan asap tertinggi kedua setelah Sumsel di Malaysia.
Pada 2015, persentase kontribusi terhadap paparan asap dari Sumsel naik 10%-15% secara mutlak pada ketiga wilayah jika dibandingkan dengan kontribusi 2006.
Kontribusi paparan dari Jambi dua kali lipat pada 2015, jika dibanding 2006. Sedang kontribusi dari wilayah-wilayah lain menurun.
Menurut penelitian ini, pada karhutla 2006 atau 2015, Riau, tak memberikan kontribusi signifikan tehadap paparan asap. Kondisi ini, karena angin dominan di Riau, berubah dari arah barat pada Juni ke tenggara, selama September-Oktober. Ia membawa asap dari Riau, mengarah ke barat laut daripada ke Semenanjung Malaka yang penuh penduduk.
Para peneliti ini juga menyebutkan beberapa keterbatasan seperti sulit mengkuantifikasi emisi lahan gambut hingga membawa pada prakiraan emisi melebar di seluruh api.
Kebakaran gambut terjadi di permukaan selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelah api menyala, seringkali temperatur terlalu rendah untuk terdeteksi dari angkasa. Jadi, kontribusi pembakaran temperatur rendah terhadap emisi asap di lahan gambut tak dapat dipastikan.
Hasil penelitian ini, disebutkan bisa bermanfaat, antara lain, buat mengidentifikasi lokasi-lokasi api utama yang mendekati waktu sesungguhnya, pemberi kontribusi signifikan terhadap paparan asap sesuai arah tiupan angin selama kejadian di Equatorial Asia.
Penelitian ini, juga bisa jadi perkiraan cepat dampak kesehatan buat para pengambil kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat sipil sedang mencari jalan efektif membahas karhutla musiman di Equatorial Asia. Pendekatan ini, memberikan diagnosa respon awal dari provinsi-provinsi dimana pengelolaan pemanfaatan lahan dan kebakaran efektif akan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi kesehatan manusia.
Riset ini dikerjakan oleh Shannon N Koplitz, Loretta J Mickley, Miriam E Marlier, Jonathan J Buonocore, Patrick S Kim, Tianjia Liu, Melissa P Sulprizio, Ruth S DeFries, Daniel J Jacob, Joel Schwartz, Montira Pongsiri dan Samuel S Myers. . Mereka ini para ilmuan dari berbagai departemen di Harvard dan Columbia University. Lihat link riset di sini.
Etelle Hogonnet, Campaign and Legal Director Waxman Strategies, menanggapi penelitian ini. Dia mengatakan, penelitian ini baru menghitung PM2,5 tanpa memasukkan kandungan lain seperti arsenik, karbon dioksida dan logam berat lain di dalam debu yang sangat berbahaya itu.
Kemungkinan, katanya, korban jatuh lebih banyak dari itu. Partikel-partikel asap dari kebakaran lahan gambut itu kotor sekali.
“Angka prediksi ini sangat konservatif,” katanya di Jakarta, Senin (19/9/16).
Dia menjelaskan, PM2,5 merupakan partikel debu yang sangat-sangat kecil hingga mudah masuk ke tubuh manusia dan menyebar melalui aliran darah. Ia bisa menimbulkan penyakit yang tiba-tiba seperti serangan jantung atau stroke dan lain-lain.
Hogonnet memberikan contoh, ketika kabut asap sedang parah, di dalam rumah tertutup rapat, kala ada lubang sangat kecilpun, partikel debu PM2,5 bisa masuk dan terhirup.
“Ini sangat bahaya bagi tubuh. Bagaimana anak-anak? Bagaimana orangtua bisa melindungi anak-anak mereka. Begitu juga perempuan-perempuan hamil, tentu rentan sekali,” katanya.
Dia juga tak bisa membayangkan betapa petugas pemadam kebakaran hidup dalam bahaya partikel berbahaya ini. Mereka yang berada di depan, bergulat memadamkan api berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Menurut dia, perlu ada perhatian pemerintah kepada para pemadam kebakaran ini. “Andai mereka sakit, bagaimana pengobatan. Apakah ada asuransi untuk itu? Ini perlu diperhatikan,” ujar dia.
Terhadap warga yang terpapar partikel berbahaya ini, sampai kini, juga belum terlihat siapa yang bertanggung jawab. “Andai warga sakit terpapar asap, dan perlu perawatan panjang, siapa yang akan bayar biaya mereka? Kalau ada anggota keluarga meninggal dan jadi penopang keluarga, siapa yang akan biaya kehidupan keluarga mereka?” kata Hogonnet.
Lewat riset ini, katanya, bisa terlihat, daerah mana saja penyumbang paparan asap (penyebar PM2,5). Dengan begitu, sebenarnya bisa terlihat di lokasi terbakar itu siapa pengelola kawasan hingga bisa terlihat penyebab asap kebakaran itu. “Siapa yang akan bertanggung jawab? Saya pun belum punya jawaban untuk ini.”
Peringatan bahaya
Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, temuan penelitian ini harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk serius perbaiki tata kelola hutan dan lahan di negeri ini.
Memang, katanya, pemerintah sudah melakukan beberapa langkah perbaikan seperti membuat Badan Restorasi Gambut.
“Ini respon bagus pemerintah tetapi kerjaan masih sangat besar, termasuk manajemen semua lahan gambut, bagaimana memonitor tata kelola gambut,” katanya.
Pemerintah, sudah memiliki regulasi soal kelola gambut (PP No 71/2014) yang kini masih revisi. “Pemerintah harus kuatkan aturan ini, bukan malah melemahkan.”
Selain itu, katanya, antar kementerian, harus memiliki pemahaman sama soal perbaikan tata kelola seperti yang menjadi komitmen Presiden Joko Widodo.
“Antar kementerian jangan gak senada. Mau praktik berkelanjutan tapi di lapangan mereka masih kedodoran,” ucap Yuyun.
Dia mengingatkan, pemerintah perlu serius tangani isu gambut. Seruan ini, katanya, sudah lama disuarakan Greenpeace. “Perlu perlindungan total dari gambut yang tersisa. Lahan-lahan yang masuk moratorium, lindungi permanen. Itu dulu.”
Setelah itu, katanya, masuk kepada review semua perizinan. Yuyun, juga menekankan, penegakan hukum harus tegas kepada perusahaan pelanggar hingga memberikan efek jera.
Dalam penanganan karhutla maupun kabut asap, kata Yuyun, pemerintah tak bisa lagi menggunakan cara-cara lama.
Penanganan kesehatan warga (korban), katanya, selama ini tertinggal, termasuk kesehatan para pemadam kebakaran.
Para pemadam kebakaran, katanya, seperti tentara, Manggala Agni dan relawan lain, di lapangan tak dilengkapi peralatan memadai. Mereka, katanya, berbulan-bulan terpapar asap. “Jadi mereka juga bagian dari korban.”
Dalam konteks ini, katanya, harus kembali ke konstitusi, bahwa, pemerintah wajib menjamin penduduk Indonesia mendapatkan lingkungan hidup sehat.
Untuk itu, katanya, perlu ada standard operating procedure (SOP) nasional terkait penanggulangan karhutla ini, misal, tenaga kesehatan seperti apa, dan apa yang harus disediakan.
“Tentara harus seperti apa. BNPB harus seperti apa. Ada lembaga dan itu diatur. Gak ada saling tuding-tudingan lagi,” katanya.
Hal penting lagi, ucap Yuyun, sistem peringatan dini (early warning system) bekerja dengan baik, hingga tak tunggu sampai kebakaran parah. “Bener-bener respon terhadap hotspot cepat, diteksi dan verifikasi.”
Tak hanya pemerintah, katanya, perusahaan juga harus berperan, misal harus audit regular terhadap alat-alat pemadaman api, deteksi api dan hal-hal yang berhubungan dengan pencegahan.
“Termasuk bagaimana pemerintah memonitor. Apakah perusahaan kelola gambut dan sekat-sekat kanal supaya gambut tetap basah?” ujar dia.
Walhi juga angkat bicara. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, temuan riset ini merupakan alarm tanda bahaya bagi pemerintah terkait dampak bencana ekologis karhutla.
Pada karhutla 2015, ada 20 balita meninggal dunia, 500.000-an orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan sekitar 40 juta orang terpapar asap.
“Sampai saat ini pemerintah masih membantah seolah-olah itu bukan dampak yang signifikan,” kata perempuan yang biasa disapa Yaya ini.
Menurut dia, sudah seharusnya dampak karhutla terhadap kesehatan masyarakat dianggap hal serius oleh pemerintah. Terlebih, masalah ini terus berulang setiap tahun.
Yaya mengingatkan, kewajiban konstitusi sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 28, bahwa lingkungan hidup bersih dan sehat adalah hak asasi manusia.
Untuk itu, katanya, seharusnya dipastikan korban karhutla mendapakan penanganan kesehatan menyeluruh. “Bukan hanya saat terjadi karhutla, juga pasca kejadian, dimana ada perawatan kontinu terhadap penderita ISPA maupun yang terpapar hingga mereka sembuh atau sehat kembali. Semua ditanggung negara.”
Selain itu, pemerintah harus bisa memastikan bencana ekologis karhutla tak terjadi lagi, antara lain dengan memberikan sanksi terhadap korporasi penyebab dominan dari karhutla. Juga kaji ulang seluruh perizinan sektor kehutanan dan perkebunan hingga luasan izin sesuai kapasitas pengawasan dan pengendalian pemerintah.
“Jika pemerintah tak mampu mengawasi konsesi, jangan beri izin dengan skala luas.”
Kementerian Kesehatan kala diminta konfirmasi soal penelitian ini menyatakan, sangsi dengan angka perkiraan sebesar itu.
M. Subuh, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes tak yakin angka ini menggambarkan keadaan sesungguhnya.
“Kalau hanya hitungan-hitungan statistik saja saya kira tak tepat menyimpulkan kematian sedemikian besar,” katanya kepada media.
Dia mengklaim, untuk data kematian, Indonesia sudah memiliki sistem pencatatan dan pelaporan dari daerah sampai pusat, sejak tingkat rukun tetangga (RT) sampai kelurahan, kecamatan bahkan kabupaten/kota, provinsi sampai pusat.