Mongabay.co.id

Tradisi Konsumsi Anjing di Minahasa dan Ancaman Penyakitnya

 

 

Bagi masyarakat Indonesia, mengonsumsi daging anjing bukanlah hal yang wajar. Namun di Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, hidangan daging anjing adalah hal yang biasa. Daerah ini memang dikenal memiliki tradisi kuliner unik berbahan daging, yang olahannya disebut RW [Rintek Wuuk], artinya bulu halus.

Terhadapa kondisi tersebut, beberapa tahun belakangan ini, banyak aktivis yang peduli konservasi satwa liar melakukan protes terhadap kebiasaan mengonsumsi satwa liar, termasuk anjing.

Sejak kapan masyarakat Minahasa mengonsumsi daging anjing?

Baca: Akhirnya, Pasar Ekstrem Tomohon Dilarang Jual Anjing dan Kucing

 

Pemerintah Tomohon, Sulawesi Utara, resmi melarang perdagangan anjing dan kucing di Pasar Tomohon. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Hari Suroto, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, mengatakan bahwa mengonsumsi daging anjing merupakan hal yang biasa dan sudah dilakukan sejak leluhur mereka. Kuliner daging anjing sudah menjadi bagian dalam tradisi Minahasa. Umumnya, anjing yang dikonsumsi adalah anjing peliharaan bukan anjing liar.

Meski demikian, hasil penelitian atau ekskavasi di situs-situs prasejarah di Sulawesi Utara hingga saat ini belum menemukan tulang anjing yang dapat dijadikan bahan penanggalan karbon, untuk mengetahui perkiraan tahun, sejak kapan anjing dikonsumsi di Sulawesi Utara.

Data yang dapat dijadikan referensi yaitu relief motif anjing pada tinggalan Waruga di Sulawesi Utara. Sistem penguburan Waruga sendiri mulai dikenal di Sulawesi Utara sekitar abad ke-7 Masehi dan berakhir ketika bangsa Eropa mulai masuk ke Minahasa.

Namun dalam tradisi Minahasa, hanya satu hewan yang tidak boleh dimakan yaitu burung hantu atau manguni, karena hewan ini sangat disakralkan.

Baca: Manguni, Burung Hantu yang Dihormati Masyarakat Minahasa

 

Celepuk sulawesi, burung hantu yang biasa disebut manguni, begitu dihormati masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Foto: Wikimedia Commons/Reydi Manahampi/CC BY-SA 3.0

 

Menurut Hari, anjing diperkenalkan oleh manusia berbahasa Austronesia sekitar 3000 tahun lalu. Manusia berbahasa Austronesia ini juga mengenalkan budaya megalitikum yaitu Waruga. Kemana pun manusia berbahasa Austronesia pergi dan tinggal di tempat yang baru, mereka turut serta membawa anjing karena telah menjadi teman terbaik.

Selain di Minahasa, mengonsumsi daging anjing juga dikenal di China Selatan, Vietnam utara, Taiwan, dan Filipina. Daerah tersebut merupakan jalur migrasi manusia berbahasa Austronesia.

“Pada masa lalu, daging anjing hanya dikonsumsi sebatas untuk keluarga, tidak diperjual belikan. Anjing dikonsumsi ketika hewan buruan sulit didapatkan atau ketika terjadi musim paceklik atau gagal panen,” ungkap Hari kepada Mongabay, akhir Agustus 2023.

Seiring perkembangan zaman moderen, serta mulai dikenalnya ekonomi pasar, jumlah penduduk semakin meningkat, serta muncul mata pencaharian lain selain berburu, sehingga anjing mulai dipelihara untuk diperjualbelikan. Kemudian, di pasar muncul profesi baru yaitu penjual daging anjing.

Dijelaskan Hari, anjing pada mulanya membantu dalam hal memburu hewan di hutan, menjaga rumah atau sebagai teman berkebun. Selain itu, anjing merupakan hewan yang sangat cepat dalam reproduksi. Rata-rata, induk anjing mampu beranak 6 hingga 8 ekor. Ada kemungkinan kebiasaan mengonsumsi daging anjing, pada mulanya untuk mengurangi jumlah populasinya.

“Konsumsi daging anjing bagi masyarakat Minahasa sudah berakar sejak masa lalu dan terus terbawa hingga kehidupan moderen ini. Untuk mengubah pandangan masyarakat Minahasa bahwa anjing bukanlah hewan yang dapat dikonsumsi, perlu kerja keras mengkampanyekannya melalui berbagai cara dan platform media,” ujar Hari.

 

Animasi 3D struktur virus rabies. Sumber: Scientific Animations/Wiki Images/Free to share

 

Larangan konsumsi daging anjing

Salah satu pusat perdagangan daging anjing di Minahasa berada di Kota Tomohon, yang terkenal dengan julukan pasar ekstrem, karena berbagai daging jenis satwa liar bisa ditemukan di pasar ini.

Namun sejak 21 Juli 2023, Pemerintah Kota Tomohon resmi melarang perdagangan anjing dan juga kucing untuk menyelamatkan ribuan hewan tersebut dari pemukulan dan pembantaian untuk dikonsumsi manusia. Juga, sebagai langkah penting dalam melindungi masyarakat dari ancaman rabies yang merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis dan penyakit lainnya.

Perdagangan daging anjing tidak hanya kontroversial, tapi juga memberikan ancaman bagi kesehatan manusia. Pada tahun 2018, Pemerintah melalui Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan juga telah berupaya membuat surat edaran Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 tentang Peningkatan Pengawasan Terhadap Peredaran/Perdagangan Daging Anjing.

Dalam surat edaran itu diterangkan, daging anjing tidak termasuk dalam definisi pangan dan juga dengan mengonsumsi daging anjing justru sangat berisiko penularan zoonosis, yaitu penyakit yang menular dari hewan ke manusia.

Dalam publikasi ilmiah berjudul Peran dan Fungsi Dog Meat Free Indonesia (DMFI) dalam Menangani Kasus Perdagangan Daging Anjing di Indonesia yang ditulis Herzalia Maya [2020], menjelaskan bahwa perdagangan dan konsumsi anjing memiliki dampak negatif, di antaranya adalah kesehatan dan psikologis anak.

Untuk kesehatan disebutkan bahwa anjing menjadi penular utama penyakit rabies di Indonesia, yakni sebesar 98% serta 2% berasal dari kucing dan monyet. Selain itu, mengonsumsi daging anjing juga menyebabkan penyakit hipertensi, gangguan saluran pencernaan, juga menimbulkan penyakit kolera.

Dampak terhadap psikologis anak dijelaskan dengan mencontohkan perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon, yaitu penjagalan dilakukan dengan sangat kejam dan juga dilakukan di tempat yang sama dengan tempat penjualannya.

“Pasar tersebut sangat ramai dikunjungi dari berbagai kalangan, baik muda ataupun tua, yang berarti bahwa kekejaman tersebut diperlihatkan pula kepada anak-anak,” ujar penulis dalam penelitiannya.

 

Exit mobile version