Mongabay.co.id

Burung Prasejarah yang Diyakini Punah Seabad Lalu, Kini Kembali ke Alam Liar

 

 

Pelepasan 18 burung takahē [Porphyrio hochstetteri] di Danau Whakatipu di South Islan,  Selandia Baru, baru-baru ini memiliki makna yang cukup besar. Spesies burung prasejarah yang besar dan tidak dapat terbang ini pernah dianggap punah sejak seabad lalu.

Takahē, seperti banyak hewan lain di Selandia Baru, berevolusi tanpa mamalia darat asli yang mengelilinginya.

Sebaliknya, mereka beradaptasi untuk mengambil peran yang biasanya dimainkan oleh mamalia dalam ekosistemnya. Burung-burung ini tidak dapat terbang dan memiliki tinggi rata-rata sekitar 50 cm.

Catatan menunjukkan, mereka telah menjadi bagian dari Aotearoa sejak zaman kuno, yang dapat ditelusuri kembali hingga zaman Pleistosen prasejarah, seperti hasil penelitian sisa-sisa fosil mereka.

“Tampaknya hampir seperti zaman prasejarah. Dari depan, tubuh mereka terlihat hampir bulat sempurna, ditambah dengan bulu berwarna biru kehijauan, mereka tampak seperti Planet Bumi kecil yang berdiri di atas dua kaki panjang berwarna merah cerah,” kata Tūmai Cassidy, dari Suku Ngāi Tahu, yang mendiami habitat burung takahe, dikutip dari Greek Reporter.

Baca: Pisonia, Pohon Pembawa Kematian Bagi Ribuan Burung

 

Sepasang takehe berada di Punanga Manu o Te Anau atau di Te Anau Bird Sanctuary. Foto: Anja Kohler/Department of Conservation

 

Keberhasilan konservasi di Selandia Baru

Di Selandia Baru, sebuah cerita keberhasilan konservasi menjadi pembicaraan hangat, ketika burung-burung takahē yang dulu hilang, kini sedang mengalami kebangkitan meski perlahan. Burung-burung ini, yang termasuk paling langka di dunia, dinyatakan punah pada 1898.

Jumlah mereka berkurang akibat introduksi hewan-hewan seperti musang, kucing, ferret, dan tikus oleh para pemukim Eropa. Namun, pada 1948, mereka ditemukan kembali, dan sejak itu, populasinya meningkat.

Saat ini, ada sekitar lima ratus burung takahē dan jumlah mereka bertambah sekitar delapan persen setiap tahun. Ini merupakan pencapaian signifikan bagi upaya konservasi.

Baca: Setan Ini Memusnahkan Populasi Penguin di Sebuah Pulau di Australia

 

Peta persebaran Takehe di Selandia Baru. Sumber: Wikimedia Commons/C.J., Hyvönen, P., Fraser, M.J., Pickard, C.R. (2007)/CC BY-SA 4.0

 

Pengumpulan dan inkubasi

Pada awalnya, para pelestari takahē mengambil pendekatan proaktif, mengumpulkan hati-hati dan menginkubasi telurnya. Hal ini dilakukan untuk melindungi dari pemangsa. Ketika telur-telur menetas, perhatian khusus diberikan saat pemberian makanan dan pemeliharaan anak-anak burung hingga remaja.

Mereka mengenakan boneka di tangan, yang menyerupai paruh merah khas burung takahe. Kemudian, strategi bergeser ke arah pembiakan di lingkungan yang terlindungi.

Departemen Konservasi [DOC] Selandia Baru secara bertahap memperkenalkan burung ini ke pulau-pulau terlindung dan taman nasional terpilih.

Untuk memastikan keamanan, upaya besar dilakukan untuk mengatur perangkap dan menghilangkan hama yang membahayakan kelangsungan hidup burung-burung tersebut. Upaya ini mencerminkan komitmen besar negara untuk melindungi makhluk berharga ini.

“Pemasangan perangkap untuk musang, ferret, dan kucing liar telah mengurangi jumlah pemangsa,” kata Deidre Vercoe, pekerja dari DOC, yang mengawasi operasi pemulihan pemulihan burung takahe.

Dalam perkembangannya, pasangan-pasangan takahē diperkenalkan ke lingkungan baru mereka.

Dr. Vercoe, yang terlibat dalam inisiatif ini, sangat optimis. Dia mengakui telah puluhan tahun bekerja keras, untuk meningkatkan populasi takahē. Fokus saat ini beralih ke arah mendirikan populasi baru dari spesies asli liar ini.

Namun, upaya ini bukan tanpa tantangan. Proses menciptakan populasi baru untuk spesies asli di habitat alaminya membutuhkan waktu dan dedikasi. Tidak ada jaminan bahwa usaha ini akan berhasil, menurut nya.

Baca juga: Studi: Manusia Memiliki Andil Punahnya Jenis Burung Tidak Terbang

 

Takehe yang pernah diduga punah, kini hidup di Selandia Baru. Foto: Toni Hutton/Department of Conservation

 

Misi nasional untuk menghilangkan pemangsa invasif

Upaya untuk melindungi burung takahē adalah bagian dari kampanye lebih besar di Selandia Baru. Negara tersebut aktif terlibat dalam misi nasional untuk menghilangkan pemangsa invasif paling merusak, seperti tikus, oposum, dan musang pada 2050.

Saat upaya mengendalikan pemangsa mendapat momentum, telah ada dorongan bersama untuk memperkenalkan kembali spesies langka ke daerah di luar zona dilindungi.

Tahun lalu, burung kiwi yang ikonik dan mendapat tempat istimewa sebagai identitas negara, berhasil diperkenalkan kembali di pinggiran daerah perkotaan. Ini merupakan tonggak penting, karena kiwi kembali ke ruang seperti itu, setelah beberapa generasi.

Upaya seperti hal itu, tengah dilakukan untuk menciptakan populasi takahē yang baru di tanah Ngāi Tahu, yang merupakan kerja sama signifikan antara pemerintah dan suku asli wilayah tersebut.

Bagi orang-orang Māori, pelepasan takahe ke dalam wilayah mereka memiliki makna besar, terutama bagi leluhur Ngi Tahu, karena bulu-bulunya dikumpulkan dan dianyam menjadi jubah.

Penurunan populasi takahē liar, bersamaan dengan hilangnya sebagian besar tanah suku tersebut melalui pengambilan paksa, penjualan, dan pencurian oleh para pendatang Eropa. [Berbagai sumber]

 

Exit mobile version