Pohon bernama lengkap Pisonia brunoniana ini dikenal memiliki reputasi mengerikan. Nama indahnya itu justru membawa kematian untuk burung-burung yang hinggap di tubuhnya. Pohon berbunga kecil ini asli dari kawasan tropis, terbentang dari Hawaii, Selandia Baru, hingga India.
Pohon ini tidak memiliki wujud ‘mengancam’, tanpa duri dan tanpa buah beracun, serta tiada pula bagiannya yang berfungsi menjebak hewan. Namun, jika diteliti dari akar hingga rantingnya, akan kita temukan ribuan tulang dan tubuh-tubuh kecil yang kaku dan mengering.
Belum ditemukan alasan jelas mengapa pohon ini begitu ‘suka’ membantai burung. Ahli ekologi menyatakan, bisa jadi ini hanya salah satu kebiasaan mengerikan evolusi.
Alan Burger dari University of Victoria di Kanada yang telah mendengar reputasi garang Pisonia sejak 1990-an, pergi ke Pulau Cousin di Seychelles. Tujuannya, untuk melihat lebih dekat populasi pohon tersebut dan koloni-koloninya, sebagaimana dilansir dari Science Alert.
Pisonia menghasilkan kacang berukuran panjang di mana polongnya berlapis getah tipis yang lengket. Getah inilah yang menjebak serangga dan burung saat mereka tergoda untuk memakan kacang di dalamnya.
Serangga yang terjerat, terlihat mudah dipatuk burung yang tidak menaruh curiga. Burung yang tidak hati-hati dapat dengan mudah terjerat di polong kacang yang lengket itu.
Banyak sekali bangkai burung yang terlihat terurai dengan tanah di kaki pohon. Beberapa burung malang, bahkan terjebak tinggi di cabang-cabang pohon itu. Washington Post menulis, burung-burung yang terjebak di cabang-cabang pohon tersebut seperti merupakan “hiasan pohon natal yang mengerikan.”
Alan E. Burger menghabiskan waktu 10 bulan pada 1999-2000 untuk meneliti dan mengetahui, manfaat apa yang diperoleh sang pohon dari membunuh ribuan burung. Alan memulainya dari area di sekitar bangkai-bangkai burung yang kaya nutrisi untuk tanah, untuk melihat apakah biji-biji dari pohon akan tumbuh lebih cepat dan subur.
Ternyata tidak. Biji-biji yang tersebar di sekitar bangkai burung sama sekali tak berbeda dengan biji di tempat lain. Mereka tumbuh biasa saja. Jadi, pada dasarnya Pisonia tidak mendapatkan manfaat dari banyaknya bangkai burung di kaki pohonnya.
Justru, di kaki pohon terlihat begitu banyak sisa kotoran burung yang dipercaya lebih bermanfaat dibanding bangkainya. Artinya, Pisonia akan lebih mendapatkan manfaat dari burung yang hidup dibandingkan yang mati.
Lalu, mengapa ada getah lengket yang membunuh banyak burung?
Alan Burger mencelupkan biji-bijian dari kacang polong tersebut ke dalam air laut untuk meneliti apakah pohon menggunakan bangkai burung sebagai rakit, untuk menyebarkan diri dari pulau ke pulau. Ternyata, polong kacang mati dalam waktu 5 hari setelah dicelupkan ke air laut, sekaligus mematahkan teori tersbeut.
Alan Burger kemudian mencoba mencelupkan bibit Pisonia di air selama beberapa minggu. Ternyata, bibit itu bertahan hidup. Sementara, bibit-bibit Pisonia yang tertinggal dapat hidup dan tumbuh menjadi pohon yang baru dimanapun bibit itu menempel.
“Burung yang hidup tampaknya tetap menjadi kunci penyebaran Pisonia. Meski begitu, ada konsekuensi yang sungguh mematikan dari memiliki bibit yang benar-benar lengket dan memproduksi banyak bibit dalam satu tandannya. Itulah yang membuat beberapa burung terjebak,” jelas Alan Burger.
Matinya burung-burung karena terlengket getah adalah hanyalah “kerusakan yang tak disengaja”. Selama burung-burung itu hidup untuk menyebarkan bibit, Pisonia akan terus tumbuh menyebar, di tempat-tempat lain.
Bagian yang sulit dimengerti dari hal ini adalah bahwa meskipun berbahaya, burung laut suka dengan Pisonia. Di beberapa tempat, seperti di Pulau Utara dari Selandia Baru, Pisonia hampir punah sebagai akibat ditebang secara intensif demi mencegah burung terjebak.
Sementara di Pulau Cousine, Seychelles, petugas konservasi mempunyai cara berbeda. Mereka membebaskan dan membersihkan burung yang terjebak demi menyelamatkan hewan tersebut. (Berbagai sumber).
Laporan penelitian Alan E. Burger ini, telah dipublikasikan di Journal of Tropical Ecology Vol. 21, No. 3 (May, 2005), pp. 263-271.