Mongabay.co.id

Kala Tambang Nikel Datang, Biodiversitas Pulau Wawonii Mulai Terdampak

 

 

 

 

 

Pulau Wawonii,  Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, berubah setelah pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) masuk. Air sungai dan laut berubah warna, debu-debu mengganggu pemukiman dan kebun. Beragam satwa, seperti burung-burung sampai lebah yang dulu jadi keseharian kini sulit ditemui.

Anwar dan Wilman, warga Wawonii Tenggara, menceritakan, perubahan lingkungan sejak anak usaha Harita Group ini beroperasi selama beberapa tahun terakhir. Lokasinya tidak jauh dari perkebunan mereka.

Saban hari mereka terpapar debu saat sedang beraktivitas di kebun masing-masing. Bahkan,  pakaian yang mereka kenakan sampai ditempeli debu-debu berwarna merah-merah kecoklatan, yang berterbangan dari jalan hauling GKP ketika dilintasi truk-truk pemuat ore nikel.

Debu terbang sampai ke perkebunan warga, menutupi daun-daun tanaman dan tanah.

Situasi  ini  telah berlangsung selama dua tahun terakhir, seiring meningkatnya aktivitas GKP. Selama itu, pekebun mengalami penurunan hasil, bahkan sebagian gagal panen mete.

Kebun Wilman berisi 30 pohon mete berumur puluhan tahun tidak terpapar polusi debu, namun pohon-pohon mete nya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan bunga. Tahun sebelumnya, kebun ini gagal panen.

Tahun lalu, lebah sudah tidak terlihat di perkebunan metenya, tak seperti sebelumnya.

“Kalau musim mau pecah bunga, bukan hanya lebah yang datang. Ada burung lain, orang di sini sebut burung tomi-tomi atau burung pipit,” kata Wilman.

 

 

Baca juga: Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar

Tanaman perkebunan dan pertanian warga penuh dengan debu hilirm mudik truk pengangkut ore nikel. Tanaman pun kini mulai susah berbuah atau alami gagal panen. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

 

Wilman merindukan masa-masa sebelum GKP beroperasi memangkas gunung-gunung di Wawonii Tenggara. Saat matahari mulai meninggi di pagi hari, burung kea-kea, sebutan lokal nuri bayan bermain.

Meski oleh sebagian warga paruh bengkok ini kategori sebagai hama memakan buah mete muda, tetapi perannya dianggap penting untuk mengendalikan keseimbangan produktivitas mete. Dia terakhir melihat kemunculan kea-kea awal 2020.

“Siklus rantai makanan itu sudah tidak ada…hutan hilang,” ujar Wilman.

Selain itu, katanya, maleo pun sudah tidak ada jejaknya. Maleo tidak pernah terlihat lagi di habitat yang kini telah jadi akses jalan truk-truk GKP yang memuat galian ore nikel dari pegunungan ke dermaga jetty.

Laode Alhamd, ahli Ekologi Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN menyatakan, Wawonii adalah pulau kecil yang tak berpegangan dan beradaptasi dengan mainland atau pulau besar. Kelestariannya, perlu dijaga, apalagi ada dampak perubahan iklim hingga bisa mengancam hidup masyarakat.

“Klaim perusakan lingkungan di Wawonii ini tidak terbukti benar,” tulis Bambang Murtiyoso, General Manager External Relations GKP, dalam jawaban tertulis saat dikonfirmasi Mongabay.

GKP,  memegang teguh prinsip good mining practice dalam setiap tahapan pengelolaan pertambangan. Sudah menjadi kewajiban GKP membawa dampak positif signifikan pada segala aspek, baik sosial, ekonomi, budaya, serta pengembangan lingkungan secara berkelanjutan.

GKP mengklaim telah melakukan berbagai program terkait pengelolaan dan pemantauan lingkungan.  Antara lain, program pembibitan, pemantauan dan pengelolaan kualitas udara, pemantauan kebisingan dan emisi, dan lain-lain.

Bambang menjelaskan, sampai akhir 2023, GKP mulai merintis program pemantauan dan pengelolaan biodiversiti, di darat, sungai, dan laut. Juga, pengembangan program pendidikan masyarakat yang akan bermanfaat dalam memberikan edukasi dan pandangan baru seperti apa pengelolaan lingkungan di area tambang pada publik.

 

Baca juga: Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang

Ilustrasi. Maleo, salah satu satwa yang ada di Pulau Wawonii, kini sudah sulit terlihat. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kaya keragaman hayati

Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara seluas 706 km persegi. Sesuai hukum Indonesia, pulau kecil harusnya tak boleh ada tambang.

Para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) khawatir penambangan nikel akan menghancurkan ekosistem Pulau Wawonii dengan kaya keragaman hayati.

BRIN mencatat, ada sekitar 1.000 jenis tumbuhan di Wawonii. Untuk sehari-hari, warga Wawonii memanfaatkan sekitar 200 jenis tumbuhan sebagai bahan pangan, papan, obat dan kosmetika, hingga anyaman dan sumber energi. Sekitar 80% tumbuhan itu dari hidupan liar, tumbuh di hutan, semak belukar, atau gulma pertanian.

“Tanaman okra atau hoinu awalnya dari Eropa dibudidaya warga Wawonii untuk bahan makanan, obat tradisional, dan adat ritual selama lebih 200 tahun,” kata Rugayah, pakar Taksonomi Pusat Biosistematika dan Evolusi BRIN.

Mulyati Rahayu, Ahli Etnobitani dari BRIN mengatakan,  untuk mensejahterakan masyarakat tidak dari tambang, bisa dari alam yang sudah ada. “Seperti meningkatkan sistem agroforestry”.

Masyarakat, perlu diberi penyuluhan yang baik untuk meningkatkan sistem agroforestr, misal, tanaman lada, kemiri, kopi, cokelat, dan mete, yang menjadi komoditi unggulan Pulau Wawonii.

Rugayah dan Mulyati, merupakan ilmuwan BRIN yang pertama kali eksplorasi pendataan flora dan fauna di Wawonii pada 2003-2006. Hasil penelitian itu dituangkan ke dalam buku berjudul Pulau Wawonii: Keanekaragaman ekosistem, Flora, dan Fauna (2019).

Dari 1000 jenis tumbuhan dan hewan yang mereka rekam,  delapan jenis flora endemik Sulawesi, 70 rekaman baru,  lebih 10 jenis perlu penelitian baru. Serta lebih 100 jenis tumbuhan sudah dimanfaatkan memenuhi kebutuhan masyarakat.

 

Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan

Tambang nikel mulai beroperasi di gunung di Wawonii. Foto:  Riza Salman/ Mongabay Indonesia

 

Kepada Mongabay, mereka menjelaskan karakteristik Wawonii berbeda dengan pulau-pulau lain di garis Wallacea. Keanekaragaman tumbuhan pada sisi timur pulau banyak kesamaan dengan jenis flora di Pulau Maluku. Pada bagian barat pulau, seperti tanaman di Pulau Kalimantan.

Di Wawonii, terdapat ada eha (Castanopsis buruana) di hutan. Biji tanaman ini dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat ketika memasuki musim paceklik–di kala musim ombak besar mengakibatkan pasokan bahan pangan dari Kendari, Ibu Kota Sultra, tersendat. Biji eha diolah menjadi tepung, lalu disajikan sebagai bubur. Fungsi lain Eha untuk menambah ASI dan imunitas untuk mencegah kanker.

Rugayah mengatakan, masyarakat Wawonii tangguh menghadapi krisis pangan, meskipun mereka tak menanam padi sawah. Dengan hadirnya tambang ekstraktif, katanya, jadi ancaman biodiversitas di Wallacea.

Dalam jurnal lain berjudul Keanekaragaman Jenis Anggrek Pulau Wawonii oleh Diah Sulistiarini, peneliti LIPI (sebelum berganti nama menjadi BRIN), yang dipublikasikan pada 2008.

Dia menginventarisasi dan mengeksplorasi Pulau Wawonii dengan tujuan mendokumentasikan flora yang masih tersisa, sebelum daerah ini jadi tak berhutan lagi.

 

Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan

Nuri bayan jantan yang berwarna hijau cemerlang. Foto: Shutterstock

 

Diah mendata ada ada 91 jenis anggrek, 36 jenis merupakan rekaman baru untuk Sulawesi.

Anggrek yang sebelumnya hanya tersebar di Indonesia Barat juga ditemukan di Wawonii, antara lain, anggrek Trichoglottis javanica J.J.Sm, jenis endemik Jawa.

Demikian pula anggrek yang persebaran hanya di Australia dan Filipina juga ada pulau ini.

Jurnal itu mendata dari 53 jenis anggrek yang berpotensi sebagai obat dari berbagai negara termasuk Indonesia. Empat jenis ada di Wawonii, yaitu Acriopsis javanica Reinw. ex Bl., D. crumenatum Sw., C. triplicata (Willemet) Ames dan Grammatophyllum scriptum Bl.

Keempat tanaman anggrek itu berguna untuk: menurunkan demam dan menaikkan tekanan darah, obat infeksi pada kuku jari, dan mencegah sakit beri-beri. Juga, obat sariawan, disentri, sebagai bahan campuran untuk mengobati penyakit kaki gajah, dan air rebusan itu berpotensi mencegah penyakit setelah melahirkan.

Untuk itu, katanya, Wawonii perlu dilestarikan karena kekayaan dan banyak jenis endemik, dan jenis baru. “Jika tumbuhan itu hilang, akan mempengaruhi pulau-pulau kecil lain di sekitar Wawonii,” kata Rugayyah.

Erwin Suraya dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan,perubahan warna Sungai Roko-Roko yang dulu jernih menjadi keruh juga mempengaruhi ritme hidup ikan lompamea yang sering keluar-masuk dari muara sungai. Akibat air keruh, Ikan Lompamea tidak lagi ditemukan di sungai itu.

“Penghancuran alam dan sedimentasi dari aktivitas tambang itu yang membuat ikan-ikan tak lagi bisa hidup di air keruh,” ujar Erwin.

 

Pohon mete penuh debu di kebun warga Wawonii. Kini tanaman sulit berbuah. Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version