- Hidup warga Wawonii banyak bergantung dari kebun dan Bertani. Kala tambang nikel mulai beroperasi di Wawonii, tanaman di kebun warga pun diduga mulai terdampak. Pohon di kebun terkena debu hilir mudik truk pemuat material ore nikel menempel di daun. Tanaman cengkih dan mete rusak dan mulai alami gagal panen.
- Warga yang biasa hidup dari berkebun pun mulai banting setir mencari kehidupan di laut. Bukan perkara mudah karena perairan sungai dan laut dekat mereka sudah berubah warna. Tangkap ikan pun harus lebih jauh dan memerlukan biaya tidak sedikit.
- Mete merupakan produk unggulan Konkep, disusul kelapa, cengkih, kakao, pala, dan aneka hasil panen lain. Badan Pusat Statistik Konkep mencatat, ada penurunan produksi perkebunan dari 2021-2022 di Wawonii Tenggara. Antara lain, mete dari 400 ton lebih jadi 300 ton lebih, dan cengkih dari 92 ton jadi 86 ton lebih.
- Dulu, air muara jernih, kini berubah oranye. Dulu, muara ini habitat jenis ikan lompa mea. Jumlah melimpah, mudah mendapatkan ikan ini. Saat musim angin kencang disertai gelombang tinggi mendera laut, sebagian besar masyarakat nelayan desa-desa di Wawonii Tenggara tak berani melaut. Mereka memilih menangkap lompa mea di muara, untuk memenuhi kebutuhan lauk dan protein sehari-hari. Situasi ini berlangsung selama berbulan-bulan, hingga musim angin teduh. Setelah air berubah warga dan sedimen menerpa sungai maupun muara, lompa mea sulit mereka dapatkan lagi.
Pada sepertiga malam, air laut sedang pasang di Desa Sukarela Jaya, pesisir Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara. Awan tebal terbang beriringan dari timur ke barat, menghalangi pandangan nelayan membaca tanda-tanda bintang di langit untuk tahu waktu tepat melaut.
Anwar, laki-laki usia paruh baya, mengacuhkan ilmu perbintangan itu. Anwar mengenakan celana cargo pendek hitam, baju kaos lengan panjang hitam, dan headlamp. Dia bergegas naik ke perahu dengan mesin tempel berkekuatan sedang ke laut, pergi memancing cumi bermil-mil di kedalaman laut Banda. Cumi adalah umpan utama berburu tuna.
Anwar berbadan langsing, berambut ikal. Warga sekampung mengenal dia sebagai sosok berpendirian teguh, sedari awal menolak segala bentuk usaha pertambangan nikel di kampung halamannya.
Dia pernah menjalani masa tahanan selama dua bulan di Markas Polda Sultra pada 2021. Anwar ditahan bersama dua rekan seperjuangan, lantaran ‘menyandera’ sembilan pekerja perusahaan tambang PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group, yang kedapatan menerobos kebun warga dengan eksavator.
Selama masa penahanan itu, sebagian perkebunan warisan orang tua Anwar dijual kerabat dekatnya ke GKP, dengan klaim kepemilikan lahan sepihak pakai alas hak surat keterangan tanah (SKT) yang diterbitkan pemerintah kecamatan.
Lahan itu merupakan kebun bersama keluarga besar Anwar yang diwarisi dari ayahnya. Posisi lahan itu strategis bagi GKP untuk merintis jalan tambang demi mengakses area utama penggalian nikel di ketinggian gunung. Setelah GKP memiliki lahan itu, dibuka akses jalan selebar tujuh meter.
Kini, Anwar hanya mengolah kebun lain warisan orangtuanya yang berisi ratusan pohon mete dengan usia tanam puluhan tahun, dan pohon cengkih. Produktivitas dua komoditas itu menurun dari tahun ke tahun, sejak debu dari hilir mudik truk pemuat material ore nikel menempel di daun.
Pada 2021, tanaman cengkih bahkan rusak, gagal panen. Sebelumnya, dia sanggup panen 100 kg cengkih per musim panen. Selama tanaman mete rusak, menyusul gagal panen.
Baca juga: Nestapa Warga Wawonii Kala Air Bersih Tercemar
Sejak awal tahun ini, sebagian besar waktu dia habiskan dengan berburu tuna di perairan laut Banda. Di waktu luang, dia merawat dan menyiang sisa kebun kelapa, dengan masa panen per tiga bulan.
“Hasil bertani lebih menguntungkan [dari melaut]. Tidak mengeluarkan biaya operasional tinggi,” katanya.
Untuk sekali turun melaut, dia habiskan waktu berjam-jam menempuh perjalanan sejauh puluhan mil hingga ke perairan terdalam laut Banda. Perjalanan ini menghabiskan 40 liter bensin dengan biaya bahan bakar cukup mahal.
Perairan dangkal di sekitar pesisir tempat tinggal Anwar sudah keruh, orange, tercemar lumpur yang makin hari membentuk sedimen menyelimuti karang dan padang lamun.
Warga lain yang tak sanggup menangkap ikan di laut dalam, berjalan kaki sejauh satu kilometer hingga ke pesisir desa lain dengan laut belum tercemar lumpur, hanya untuk mengais biota laut di kala air sedang surut.
Baca juga: Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang
***
Mete merupakan produk unggulan Konkep, disusul kelapa, cengkih, kakao, pala, dan aneka hasil panen lain.
Badan Pusat Statistik Konkep mencatat, ada penurunan produksi perkebunan dari 2021-2022 di Wawonii Tenggara. Antara lain, mete dari 400 ton lebih jadi 300 ton lebih, dan cengkih dari 92 ton jadi 86 ton lebih.
“Sebelum datang tambang kita sejahtera,” kata Tahir.
Metę gagal panen pada 2022. Dia bilang, daun mete terpapar debu bersumber dari jalan tambang (hauling) dan aktivitas pertambangan nikel GKP.
Tahir punya kebun yang sebagian besar berisi pohon mete, ada juga pala, kelapa dan durian. Kepemilikan lahan dibuktikan dengan taat membayar pajak selama 20 tahun lebih, tak jauh beda dengan usia tanam pohon-pohon mete dalam kebun itu.
Di musim panen mete, dia sanggup mempekerjakan 20 tenaga upah harian dari warga setempat dan pekerja dari desa lain. Bahkan, dari desa kabupaten terdekat (Buton Utara) yang datang menggunakan transportasi laut.
Mereka bertugas memasukkan buah mete yang jatuh di tanah ke dalam kaleng berkapasitas lima liter. Setiap kaleng berisi mete dinilai Rp5.000. Dalam sehari, para pekerja rata-rata membawa pulang uang Rp100.000 lebih, upah dari memungut jambu mete yang jatuh di tanah.
Istrinya, Mas mewarisi kebun berisi puluhan pohon jambu mete dari mendiang orang tuanya. Beberapa tahun terakhir ini, hasil panen anjlok.
“Tadinya kita panen empat ton. Sekarang, tiga tahun ini ada kalanya kita dapat 100 kilo(gram) lebih,” kata Mas.
Baca juga: Kala Warga Wawonii Tolak tambang Terjerat Hukum, KKP Temukan Pelanggaran Perusahaan
Mas pernah ditawari uang tunai Rp100 juta tunai, plus iming-iming naik umroh kalau mau menyerahkan sebagian dari kebun jambu mete untuk pelebaran hauling GKP. Berbagai tawaran dan iming-iming itu dia tolak. Dia konsisten tak mau menyerahkan lahan.
Kerabat-kerabat dekat pun gencar melancarkan bujuk rayu agar jual tanah. Mas bergeming. Jalan tambang pun tak ada perluasan. Yang sekarang saja, katanya, hanya bisa dilalui satu truk operasional GKP sudah menerbangkan debu menutupi daun mete hingga entah mengapa jadi enggan berbuah.
Pasangan pekebun ini hidup bergantung dari hasil panen. Dari untuk keperluan sehari-hari sampai menyekolahkan empat anak mereka.
Mas bangga, uang hasil berkebun untuk menyekolahkan putra sulungnya hingga menamatkan jenjang pendidikan akademi pelayaran di Jakarta. Kini sudah bekerja di Vietnam.
Saat warga keluhkan debu ganggu kehidupan mereka, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Konkep, mengklaim setiap enam bulan rutin memantau kualitas air dan udara–yang terdampak aktivitas penambangan GKP.
Hasnawati dari Bidang Penataan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DLH Konkep mengatakan, kualitas lingkungan di wilayah izin usaha pertambangan GKP “masih dalam standar baku mutu.”
Pengakuan itu membuat warga dengan kebun terdampak mempertanyakan di mana lokasi DLH melakukan pemantauan dan mengambil sampel air dan udara.
Warga di sini serba kebingungan ketika membicarakan perihal keabsahan dokumen permasalahan lingkungan GKP, yang katanya ‘tidak pernah’ ada sosialisasi.
Saya lantas mengkonfirmasi itu ke GKP. Alexander Lieman, Manager Strategic Communication GKP mengatakan, kalau perusahaan telah sosialisasi sesuai aturan berlaku.
“Sosialisasi dilakukan pada saat konsultasi publik kepada perwakilan warga, pemerintah desa, kabupaten, dan provinsi.”
Baca juga: Cerita Warga Menanti Wawonii Terbebas dari Pertambangan
Hilangnya lompa mea
Hujan deras mengguyur Wawonii Tenggara sejak pagi buta, namun tak sanggup melunturkan debu merah yang menempel pada tanaman di kebun warga.
Tidak satupun warga terlihat pergi berkebun. Sebagian dari mereka memanfaatkan air hujan untuk mencuci pakaian di teras rumah dan mandi. Sebagian lain mengeluarkan aneka jenis perabot untuk menampung air hujan.
Anwar yang baru berjarak dua mil melaut, terpaksa memutar kemudi perahunya kembali pantai terdekat. Dia mengurungkan niat meneruskan perjalanan ke titik lebih jauh. Dia merasa aktivitas pergi melaut kali ini seperti menantang maut di tengah badai.
Menjelang siang, hujan reda sesaat. Abdul Latif, warga Wawonii yang lain, menatap Sungai Kemohalo yang membawa material lumpur oranye bertemu mencemari Sungai Roko-roko yang jernih. Pertemuan dua aliran sungai ini tepat di moncong muara, tak jauh dari dermaga jetty GKP.
Latif menjalani hari-hari di masa tuanya dengan berkebun. Paruh waktu dia gunakan untuk melaut. Area muara ini jadi ruang hidup sejak masa kanak-kanak. Begitu pula dengan warga desa-desa di sini.
Dulu, muara ini habitat jenis ikan lompa mea. Lompa berarti loncat, dan mea berarti merah. Warga mendeskripsikan hewan ini sebagai jenis ikan tembang dengan sisi berwarna kemerah-merahan. Jumlah melimpah, mudah mendapatkan ikan ini.
Saat musim angin kencang disertai gelombang tinggi mendera laut, sebagian besar masyarakat nelayan desa-desa di Wawonii Tenggara tak berani melaut. Mereka memilih menangkap lompa mea di muara, untuk memenuhi kebutuhan lauk dan protein sehari-hari. Situasi ini berlangsung selama berbulan-bulan, hingga musim angin teduh.
Sebelum ini, kata Latif, air muara jernih. “Kalau pagi ikan itu naik ke sungai, kalau sore turun ke muara,” kenangnya.
Kalau sedang kesulitan ikan, dia datang ke muara untuk membentangkan pukat berukuran kecil–lalu memukulkan telapak tangan ke permukaan air, lompa mea mendadak muncul meloncat-loncat seperti air mendidih dalam jumlah banyak terperangkap masuk ke jebakan pukat.
Baca juga: Krisis Air Bersih Hantui Pulau Wawonii Kala Tambang Nikel Mulai Beroperasi
Dari tahun ke tahun, kelimpahan lampo mea berangsur kurang, dan hilang tanpa jejak pada akhir 2022–sejak aliran sungai mengalirkan lumpur dan membentuk sedimen tebal di dasar muara.
Di tengah perubahan kondisi sungai dan laut, GKP mengklaim mereka sudah lakukan praktik pertambangan berwawasan lingkungan sesuai peraturan.
Lieman bilang, untuk mengantisipasi risiko penambangan pada aliran air, khusus di sungai ataupun di laut, pertama, mereka bikin rencana pertambangan dengan memperhitungkan pengelolaan air.
Kedua, bikin drainase, drop structure, settling pond (kolam penyaringan) dan menambah kolam endapan di sepanjang titik jalan hauling. “Ini berfungsi mengurangi kecepatan aliran air, dan memberi kesempatan untuk air bisa mengendap,” katanya dalam jawaban tertulis kepada Mongabay.
Ketiga, perusahaan rutin baik harian, bulanan, dan triwulan monitoring bakumutu (kualitas) air sungai dan laut. “Ini untuk memastikan mutu air memenuhi baku mutu.”
Keempat, pemulihan lahan yang sudah tak terpakai tanpa menunggu tambang tutup. Dia bilang, perusahaan mulai lakukan melalui tahap awal reklamasi dan revegetasi, dengan pembuatan dan aktivasi area pembibitan, pengelolaan biodiversity di darat, sungai, dan laut, serta pemasangan cover crop di sekitar wilayah operasional.
Perusahaan klaim lakukan berbagai hal itu, namun di lapangan warga melihat fakta dan merasakan dampaknya.
Bukan hanya air sungai dari jernih jadi oranye dan sedimentasi, kini, kata Latif, muara kerap menguapkan aroma minyak solar.
Dia menduga, aktivitas membersihkan truk dan kendaraan bermotor di badan sungai adalah penyebabnya. Dia sering menjumpai itu ketika sedang berjalan menyusuri pinggiran sungai menuju ke kebun.
Selain lompo mea, muara Sukarela Jaya menjadi habitat bagi jenis biota laut lain seperti ikan baronang, balanang, dan kepiting.
“Kalau sekarang kita setengah mati mi cari ikan itu,” ujar Latif.
*****