Mongabay.co.id

Menggapai Indonesia Bersih 2045

Polusi di Jakarta saat ini ramai dibicarakan banyak orang. Hampir semua menyalahkan biang keroknya, yaitu transportasi yang mengeluarkan gas karbon dioksida (CO2) yang berkelebihan, melewati ambang batas yang masih ditoleransi dari kacamata lingkungan.

Namun dibalik itu semua, masih banyak penyebab lainnya, dari mulai pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang masih menggunakan batubara, industri yang menggunakan sumber energi yang tidak terbaharukan, limbah industri dan rumah tangga, dan alih guna lahan dan kehutanan yang melupakan pentingnya aliran permukaan dan serapan air hujan. Jangan lupa, semua itu ditambah dengan gaya hidup yang boros enengi akan menambah tingginya polusi udara.

Menurut hasil riset panel antar negara tentang perubahan iklim (Inter-govermental Panel on Climate Change/IPCC), lebih dari 80% emisi GRK merupakan anthropogenic emission atau emisi yang disebabkan berbagai aktivitas manusia. Jangan lupa juga, Jakarta yang saat ini dihuni oleh sekitar 11,24 juta jiwa menurut World Population Review, merupakan kota ke-28 yang terpadat di dunia. Populasi manusia berbanding lurus dengan jumlah emisi GRK. Semakin padat penduduk, semakin tinggi populasi manusia, dan semakin tinggi pula emisi GRK-nya.

 

Mimpi Indonesia Emas 2045

Pada tahun 2045 nanti, saat 100 tahun usia kemerdekaan Indonesia, mimpi anak bangsa adalah melihat lingkungan yang bersih dan baik dan dikelola dengan bijaksana guna mewujudkan amanah UUD 1945 untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Berkelanjutan memiliki makna pembangunan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan hasilnya terdistribusikan secara adil dan merata bagi seluruh masyarakat.

Dalam kaitan ini, maka sangat penting untuk menempatkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan sebagai landasan untuk memastikan kehidupan sosial dan ekonomi berjalan menuju arah yang lebih baik. Apabila dikaitkan dengan komitmen pemerintah Indonesia saat ini, maka mimpi tersebut dapat diletakkan dalam kerangka pembangunan rendah emisi/karbon dan berketangguhan (long-term strategy for low Emission/Carbon and Climate and Resilience Development/LTS-LCCR).

baca : Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Jabodetabek

 

Daerah sekitar Gelora Bung Karno ditutupi kabut polusi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Laporan IPCC: ‘Global Warming of 1.5 degrees’ (2018) memperkuat pernyataan bahwa tanpa ada kebijakan dan implementasi yang koheren dan konsisten dalam mengatasi perubahan iklim, maka akan berakibat buruk pada keberlanjutan pembangunan ke depan. Oleh sebab itu, sepatutnya Pemerintahan yang baru nanti sudah harus menempatkan persoalan pengelolaan lingkungan dan perubahan iklim sebagai prioritas strategis dalam menuju Indonesia Emas 2045.

Perubahan iklim dapat mengganggu bukan saja siklus produksi, khususnya pada sektor pertanian, tetapi juga akan meningkatkan risiko bencana kehidupan dan ekosistem seperti banjir, erosi, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, kesehatan, meningkatnya muka air laut, kerusakan wilayah pesisir, dll, yang akhirnya mengganggu keberlanjutan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

 

Peluang dan Tantangan

Menurut Bappenas, sikap resmi pemerintah Indonesia terhadap isu dan agenda lingkungan dan perubahan iklim adalah dengan memanfaatkan peluang atau kesempatan untuk memulai fase transisi yang akan mengarah pada transformasi pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan secara berkelanjutan. Pelaksanaan strategi rendah karbon dan ketahanan iklim memerlukan fokus yang seimbang pada proses koordinasi pemerintah dan pelibatan pemangku kepentingan serta mempertimbangkan isu-isu transisi yang adil, gender, antar generasi, kebutuhan kelompok rentan, masyarakat adat (masyarakat hukum adat) dan masyarakat setempat.

Untuk mencapai hal ini diperlukan dukungan pendanaan yang tidak sedikit. Menurut Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPLDH) diperlukan sumber dana dari luar APBN, karena kondisi keuangan negara yang masih jauh dari yang dibutuhkan. Melalui LTS-LCCR 2050, Indonesia mencari peluang kemitraan internasional untuk mendukung transisi berkelanjutan menuju ekonomi rendah karbon dan pemulihan hijau pasca pandemi COVID-19 serta keadilan global.

Kemudian menangkap peluang yang ditawarkan dengan tetap memprioritaskan bantuan yang sifatnya hibah lebih diutamakan daripada pinjaman luar negeri. Mencermati pendanaan yang telah masuk atas nama bantuan perubahan iklim harus betul-betul dipastikan penggunaannya dengan baik dan tepat guna. Selain itu perlu ditingkatkan kerja sama dengan sektor swasta dan pengembangan inovasi pembiayaan lainnya. Seluruh pemanfaatan pendanaan ini wajib memperhatikan aspek-aspek kredibilitas dan transparansi pemerintahan serta prioritas pembangunan.

baca juga : Kebijakan Iklim Indonesia Dinilai Masih Rendah, Apa Masukan Mereka?

 

Panorama di sebuah kawasan industri dengan asap pekat emisi karbondioksida yang mengotori udara. Foto : shutterstock

 

Tantangan Indonesia saat ini dan ke depan dalam agenda pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim lebih memfokuskan pada perbaikan pengelolaan lingkungan hidup yang masih dominan terjadi di banyak wilayah dan di sisi lain untuk merespons ancaman perubahan iklim, kesiapan di dalam negeri melalui dibangunnya mekanisme kerja yang jelas, detail dan capaian kerja yang terukur. Kejelasan dimaknai oleh hasil sikap yang disepakati secara konsisten oleh instansi atau sektor. Ini terwujud bila tugas dan fungsi masing-masing sektor dipahami melalui semangat integrasi program.

Perusakan dan pencemaran air, udara dan tanah, masih menjadi tantangan utama di bidang lingkungan hidup saat ini dan ke depan. Sampah dan limbah, polusi udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak, pencemaran air tanah dan sungai, penyedotan air tanah oleh industri dan pemukiman, kerusakan dan perubahan fungsi lahan hutan berdampak kepada menurun dan hilangnya keanekaragaman hayati di dalamnya, dan perusakan dan pencemaran yang terjadi pada ekosistem laut. Perusakan dan pencemaran kerap terjadi, yang diikuti dengan munculnya konflik ekonomi dan sosial serta bencana lingkungan.

Kegagalan pengelolaan lingkungan juga ditunjukkan pada persoalan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Data menunjukkan bahwa persoalan air di kota–kota besar di Indonesia tidak saja akibat tingginya limpasan air (run off) sebagai dampak minimnya daerah resapan/tangkapan air, tapi juga kualitas air akibat pencemaran industri, intrusi air laut, penurunan air tanah dan kekeringan. Perambahan dan penebangan ilegal dan legal sudah sering disampaikan dan dilaporkan melalui advokasi sejumlah organisasi yang memiliki perhatian dengan persoalan lingkungan.

Kondisi lingkungan hidup yang buruk pada suatu wilayah akan berdampak lebih buruk lagi ketika dihadapkan dengan perubahan iklim. Dampak merugikan yang lebih besar dipicu oleh buruknya pengelolaan lingkungan hidup. Dalam banyak kasus juga diperburuk lagi oleh pelanggaran kebijakan tata ruang, termasuk lemahnya penegakan hukum lingkungan.

baca juga : Strategi Inklusif Pembangunan Rendah Karbon Berketahanan Iklim

 

Deforestasi, salah satu penyebab makin cepat pelepasan emisi karbon. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Sebagai bagian kesepakatan Paris Agreement, Indonesia telah menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC). Melalui Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTS-LCCR 2050, Indonesia akan meningkatkan ambisi pengurangan GRK untuk semua sektor yang diharapkan puncaknya akan dicapai pada tahun 2030. Kemudian dengan berbagai aksi yang konsisten, peluang untuk maju pesat menuju emisi nol bersih bisa dicapai pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Beberapa kebijakan, yang sifatnya sektoral maupun multi sektoral dituangkan ke dalam instrumen operasional dan panduan teknis. Tantangan saat ini dan ke depan, adalah sejauh mana implementasi program dan kegiatan mitigasi dapat mencapai tujuan yang ditargetkan; yaitu menurunkan tingkat emisi CO2. Demikian pula untuk aksi adaptasi, sejauh mana mampu menurunkan kerentanan dan meningkatkan ketangguhan.

Kedua aksi ini sarat dengan kebutuhan pengembangan kapasitas, teknologi dan pendanaan yang besar, sehingga sinergisitas keduanya mendorong efisiensi dan efektivitas pembangunan. Ini artinya investasi yang dilakukan harus mampu menjawab pembangunan rendah karbon dan ketangguhan baik dalam skala nasional maupun skala provinsi, kabupaten dan kota.

 

Solusi ke Depan

Inisiatif daerah untuk memperkuat agenda pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim ke dalam kebijakan lokal adalah sangat penting, dan ini perlu difasilitasi dengan baik. Karakteristik geografi, demografi dan topografi masing-masing wilayah menjadi alasan perlunya pendekatan yang berbeda. Keterlibatan aktif pemerintah kota, misalnya, dinilai sangat strategis mengingat hampir 70% masyarakat dunia tinggal di kota-kota. Tingkat urbanisasi terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan dinamika didalamnya, seperti peningkatan kebutuhan energi, konsumsi, dan lahan, maka kota dituding sebagai salah satu kontributor pemanasan global.

Melalui pendekatan wilayah atau daerah, peluang untuk mengetahui iklim mikro akan lebih mudah untuk dilakukan dan validitas kebijakan yang dirumuskan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena didasari oleh data proyeksi iklim mikro di wilayah atau daerah tersebut. Sehingga upaya mitigasi dan adaptasi lebih merupakan tindakan proaktif dari kecenderungan yang akan terjadi.

baca juga : Bagaimana agar Pembangunan Tak Perparah Krisis Iklim?

 

Di Indonesia hutan-hutan yang ditebangi berizin bukan deforestasi. Data Greenpeace, deforestasi yang terjadi di hutan gambut di dalam konsesi salah satu perusahaan besar di Pulau Pedang, Bengkalis, Riau. Foto : Ulet Ifansasti / Greenpeace

 

Dengan melihat isu perubahan iklim dari sisi positif, maka ini menjadi momentum untuk wilayah kabupaten/kota dalam melakukan untuk bertransformasi dalam aktivitas masyarakat dan pembangunan menuju kota yang rendah emisi karbon dan menjadi wilayah yang tangguh terhadap dampak dan risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Oleh karenanya, untuk merealisasikan harapan tersebut, pemanfaatan ragam sumber pembiayaan seperti APBN dan non APBN termasuk pembiayaan swasta, lembaga donor perlu terus digalakkan. Selain itu, inovasi pendanaan melalui sumber-sumber baru dan memiliki nilai keberlanjutan perlu dikembangkan.

Perlu terobosan yang tidak biasa dalam merespons agenda keberlanjutan dan perubahan iklim. Dalam RUU APBN 2019-2024 yang dibacakan Presiden, pemerintah telah mengalokasikan anggaran yang diperuntukkan bagi belanja modal, diantaranya untuk mendukung kegiatan aksi perubahan iklim. Berdasarkan bugget tagging yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, dana untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tahun 2019 mencapai Rp.83,5 triliun. Tak ada penjelasan kenapa di tahun 2019, angka tersebut turun dibanding tahun 2018, yang mencapai Rp.126,0 triliun. Di tahun 2020, tercatat sebesar Rp.77,7 triliun.

Dibutuhkan upaya luar biasa, mulai dari tingkat koordinasi antar sektor, antar pemerintah pusat-daerah, antar pemerintah dan masyarakat, dan sistem anggaran belanja negara yang baik. Dampak perubahan iklim telah terjadi, dan hanya terdapat dua pilihan: apakah kita tetap melakukan kerja sebagaimana biasanya dengan konsekuensi ‘gagal’ merespon ancaman dan dampak perubahan iklim atau melakukan suatu terobosan melalui mekanisme dan instrumen yang jauh melampaui sistem birokrasi yang ada saat ini.

Terakhir, memiliki kebijakan yang menyeluruh, dan hal ini harus dilakukan melalui pendekatan yang utuh juga. Basis analisis akademis yang jelas dalam menjawab persoalan dan peluang aksi perubahan iklim oleh karenanya perlu dilakukan melalui pendekatan yang holistik dan utuh.

Tentu saja semua yang disampaikan di sini adalah potret kecil dari gambaran besar dan utuh yang berpengaruh dalam mendukung upaya menuju kerangka pembangunan rendah emisi/karbon dan berketangguhan iklim. Oleh sebab itu kolaborasi yang melibatkan multi-disiplin dan lintas sektor dan disusun melalui cara berpikir yang sistematis perlu dilakukan agar di tahun 2045 kita tidak saja merayakan usia Republik Indonesia yang ke 100 tahun namun juga membaiknya tata kelola pemerintahan pada agenda keberlanjutan yang ditandai dengan program pembangunan yang rendah emisi/karbon dan tangguhnya sebuah wilayah dari ancaman dampak dan bencana akibat perubahan iklim.

Semoga!

 

*Ari Mochamad, Program Director Climate Change and Circular Economy, Save the Children-Indonesia

**Doddy S. Sukadri, Executive Director Yayasan Mitra Hijau Indonesia, UNITAR Climate Change Ambassador

Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version