Mongabay.co.id

Warga Was-was Ngungsi ke Hutan, Mahasiswa Protes Eksplorasi Panas Bumi di Pulau Buru

 

 

 

 

 

“Maluku bukan tanah kosong untuk dijadikan tumbal oligarki.”  “Tolak Geothermal#SaveMasyarakatAdatWapsalit #SaveTitarPito.” “#SavePulauBuru.” “Kondisi masyarakat di tempat pengungsian sebagian besar korban adalah perempuan, lansia, dan anak-anak, krisis iklim salah siapa? Salah KESDM karena telah memasukkan hantu geothermal di Indonesia Timur.

Begitu bunyi poster dan spanduk aksi solidaritas di Jakarta, 23 Agustus lalu. Mereka menyuarakan nasib miris Masyarakat Wapsalit di Pulau Buru, Maluku, yang ngungsi ketakutan ke hutan karena wilayah adat sedang ada proyek pembangkit panas bumi.

Puluhan mahasiswa ini unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), mendesak menteri mencabut izin PT Ormat Geothermal,  di wilayah Titar Pito, Desa Wapsalit, Kabupaten Buru, Maluku.

Persatuan mahasiswa dari 11 kabupaten dan kota di Maluku ini datangi KESDM untuk menolak rencana pembangunan pembangkit panas bumi di Pertuanan Adat Soar Pito Soar Pa.

Solidaritas ini terdiri dari gabungan mahasiswa asal 11 kabupaten kota di Maluku dan Organisasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga mendesak KESDM untuk bertanggungjawab atas pelanggaran HAM pada Masyarakat Wapsalit.

Menurut mahasiswa, kehadiran proyek pembangkit panas bumi akan menghapus jejak-jejak sejarah Titar Pito, merupakan generasi Soar Pito Soar Pa yang sudah turun temurun.

“Pada saat eksplorasi mereka menjanjikan sasi adat, ternyata tidak ada proses itu. Ketika masyarakat ritual sasi, perusahaan melakukan intimidasi dan sengaja mengadudomba Masyarakat Tita Pito,” kata Christina Rumalatu, Koordinator Aksi Solidaritas untuk Masyarakat Wapsalit juga Ketua Umum Saka Mese Nusa Student Association.

 

Masyarakat Wapsalit di Pulau Buru, Maluku, di hutan tempat mereka ngungsi karena was-was eksplorasi panas bumi. Foto: Edison Waas

 

Dia bilang, sejak kehadiran proyek ini masyarakat Desa Wapsalit, Kecamatan Lolong Guba, menggungsi ke hutan.

Mereka meninggalkan kampung sejak 2 Agustus lalu hingga kini.  Mereka meninggalkan kampung dan berjalan sejauh 10 KM dari Wapsalit karena tak tahan dengan gangguan dampak eksplorasi sumur panas bumi oleh Ormat di tiga titik.

“Jaraknya sangat dekat dari pemukiman masyarakat. Titik pertama berjarak 2.800 meter, titik kedua 1.400 meter dan titik terdekat 700 meter. Karena dekat, ketika perusahaan mulai pengeboran masyarakat merasakan dampak getaran luar biasa seperi gempa bumi yang sangat besar,” katanya.

Belum lagi, kalau malam hari suara operasi perusahaan terdengar dekat dan sangat mengganggu masyarakat Wapsalit. “Masyarakat khawatir terkait dampak racun yang dihasilkan gas bumi itu,” kata Christina.

Perusahaan,  tidak pernah memberikan informasi jelas langsung kepada masyarakat setempat soal kehadiran pembangkit panas bumi dan dampak-dampak yang mungkin muncul.

“Fakta lapangan perusahaan hanya melakukan pertemuan terbatas hanya satu kali,  14-15 Juli 2022 dengan tujuan sosialisasi dan grown breaking dengan tema “Pelaksanaan Penugasan Survei Pendahuluan dan eksplorasi Panas Bumi. Sosialisasi tanpa melibatkan seluruh tua-tua adat Soar Pito Soar Pa Petuanan Kayeli. Tanah adat Titar Pito adalah lokasi tambang beroperasi.”

Mirisnya, kata Christina, perusahaan diduga memanipulasi tempat pertemuan sosialisasi di Desa Wapsalit secara administrasi. Faktanya,  kegiatan ini berlangsung di satu warung Citra Wanggi Webabi,  Desa Waikasar, Kecamatan Waeapo, bukan Desa Wapsalit, Kecamatan Lolong Guba.

Sosialisasi ini, katanya, tidak diteruskan kepada masyarakat luas hingga masyarakat takut dan meninggalkan kampung mereka. Warga yang ketakutan dan mengungsi meninggalkan segala, dari kebun, ternak dan hal lain yang selama ini menghidupi mereka.

Di lokasi pengungsian juga ada ibu hamil, anak-anak di bawah umur maupun lansia. Di pengungsian mereka  membangun tenta darurat dengan terpal dan tempat tidur dari bambu maupun kayu-kayu seadanya.  Warga yang mengungsi juga kesusahan air, makanan dan kedinginan saat malam. Anak-anak terpaksa tak bersekolah.

Tabi Wael, warga Pulau Buru, dalam orasi mengatakan, potensi kerusakan lingkungan sangat besar hingga mereka aksi untuk menyuarakan persoalan ini.  “Kami sebagai masyarakat adat menolak dan menentang keras Ormat hadir di Kabupaten Buru.”

Zatli Nacikit, pemuda Buru lain juga mengecam aktivitas Ormat. Seharusnya,  sebelum beroperasi Ormat harus sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat hingga mereka paham dampak-dampak buruk dan positifnya.

“Ini sangat menciderai. Kehadiran bukan bagian dari masyarakat,  bukan keinginan masyarakat, tetapi keinginan yang ingin mengeruk kekayaan di Buru,” katanya.

 

 

Pemerintah pusat maupun provinsi, kata Zatli,  tidak punya etikat baik menyelesaikan masalah kemanusiaan ini. Mereka juga terkesan membiarkan masyarakat terlunta-lunta di pengungsian.

Masyarakat di Buru, katanya, berkali-kali menolak kehadiran proyek ini, bahkan sasi (tanda larangan secara hukum adat) tetapi perusahaan sasi  tak dianggap.

“Mereka mematahkan atribut bendera adat (lestari) padahal bendera dan sasi merupakan kehormatan yang sangat dihargai bagi masyarakat adat Pulau Buru.”

Penolakan masyarakat,  katanya, karena hutan dikaveling sepihak perusahaan padahal merupakan tempat hidup masyarakat  adat.  Menyuling minyak kayu putih, salah satu sumber ekonomi warga dari hutan yang kini terhambat setelah proyek ini masuk. DI hutan juga  warga bertani, berkebun dan ruang-ruang penghidupan tradisional lain.

Zatli bilang, area yang kini ada aktivitas pengeboran itu ada tiga sungai waimkedan (sungai adat), yakni,  Air Wae Apo, Air Waigeren Air Laba,  dan Air Wahidi. Sejumlah sungai ini merupakan sumber air bagi masyarakat. Sungai-sungai ini juga digunakan para petani untuk kebutuhan irigasi.

Christina menyebut, operasi perusahaan ini berada dalam wilayah tanah sakral (tanah adat) Soar Pito-Soar Pa yang mana Titar Pito ini merupakan tanah keramat atau tempat bersejarah yang menjadi asal-usul  tujuh suku,  yakni, Soar Pito Soar Pa, yang kaya peninggalan situs sejarahnya.

 

 

Masyarakat Wapsalit di Pulau Buru, Maluku, bikin tenda ngungsi karena terganggu aktivitas eksplorasi panas bumi. Foto: Edison Waas

 

Intimidasi warga

Atas penolakan ini, kata Christina, masyarakat adat setempat juga kerap mendapat intimidasi. Pada 17 Agustus 2023, Kaksodin, tetua adat Suku Wael untuk dataran tinggi, Gebamkeda Wahidi mendapat intimidasi dari TNI. Oknum TNI berseragam mendatangi rumah Kaksodim dengan mobil tronton.

“Oknum anggota TNI ini kemudian berteriak dengan suara lantang sambil mendobrak pintu. Dia juga masuk tanpa izin serta mencaci maki. Sementara beberapa oknum TNI lain juga turut mengintimidasi dengan membentak Bapak Kaksodim sambil menunjuk-nunjuk wajah Bapak Kaksodim,” kata Christine sambil menunjuk video amatir saat kejadian di Desa Wapsalit.

Dalam rekaman video itu, terlihat sejumlah oknum TNI. Sempat terjadi adu mulut antara warga, setelah mengetahui tetua adat mereka diintimidasi.

Solidaritas mahasiswa untuk Masyarakat Adat Soar Pito, Soar Pa Wapsalit mengeluarkan sejumlah rekomendasi tertulis kepada Menteri ESDM dan Kementerian Dalam Negeri.

Pertama, menolak keras Ormat beroperasi di wilayah Titar Pito. Kedua, meminta KESDM transparan atas informasi terkait perizinan Ormat. Ketiga, mendesak KESDM segera mencabut izin Ormat yang   beroperasi di wilayah Titar Pito.

Keempat, mendesak KESDM untuk bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang terjadi pada masyarakat Wapsalit. Kelima, mendesak Kemendagri mengevaluasi Gubernur Maluku dan Pj. Bupati Buru terkait tindakan pembiaran pelanggaran HAM atas Masyarakat Wapsalit.

Keenam, Kementerian Dalam Negeri perlu meninjau kembali SK Pj. Bupati Buru atas nama perlindungan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Uyan Purwawa, perwakilan  Jatam Nasional di hadapan perwakilan KESDM menjelaskan, proyek panas bumi memerlukan ratusan kilometer untuk penggalian energi panas di perut bumi hingga hasilkan geothermal. Proyek ini juga perlu banyak sekali air sungai, sementara warga di sekitar merupakan petani kebun dan sawah.

“Hampir semua warga Buru petani. Ketika air kekeringan bagaimana? Karena perlu air banyak. Proyek itu juga menghasilkan limbah yang banyak,” katanya.

 

Aksi solidaritas mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil ptotes eksplorasi panas bumi hingga Masyarakat Wapsalit di Pulau Buru, Maluku, ngungsi ke hutan. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indinesia

 

Tak hanya air, proyek panas bumi ini juga berdampak kepada perempuan dan anak-anak.

“Perempuan butuhkan air banyak, untuk kebutuhan baik untuk memasak, cucian, minum, hingga kebutuhan perempuan.  Itu bisa berdampak untuk kesehatan mereka.”

Tanah, kata Uyan, bak ibu bagi masyarakat adat di Wapsalit. Kalau terjadi kerusakan, katanya, barang tentu juga merusak ibu.

Kemiskinan, katanya, juga bisa terjadi secara struktural karena sebagian masyarakat adalah petani atau pekebun.

Dia juga soroti transparansi. “Kan ada pelibatan warga dalam setiap proses izin, apakah hanya mengakomodir beberapa orang tanpa memikirkan masyarakat adatnya.

Pembangkit panas bumi, katanya, pemerintah gadang-gadang sebagai energi rendah karbon, namun bagi masyarakat adat malah bisa bawa malapetaka.

“Bagi mereka geothermal akan rendah karbon, kata masyarakat ini akan tinggi korban.”

Dia khawatir, kalau izin tidak dicabut bisa terjadi konflik di masyarakat. Karena, yang menyebabkan konflik adalah pemerintah sendiri.

Pewakilan KESDM, di hadapan mahasiswa berjanji menindaklanjuti tuntutan mereka kepada sang menteri.

“Kami akan tindaklanjuti tuntutan ini,” kata Roni, staf KESDM.

Para mahasiswa juga dijanjikan bertatap muka langsung dengan Dirjen Panas Bumi serta mereka juga akan memanggil Direktur Ormat.

 

Mahasiswa Buru saat menyerahkan pernyataan sikap kepada perwakilan KESDM. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

 

Pertemuan dengan KESDM dan perusahaan

Janji bertemu para mahasiswa akhirnya terealisasi difasilitasi Haris Yahya, Direktur Panas Bumi, Ditjen Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE), di Kantor KESDM, 5 Agustus lalu. KESDM juga menghadirkan Presiden Direktur Ormat Geothermal Indonesia, Dion Murdiono.

Pertemuan yang difasilitasi Humas KESDM selain bertatap muka dengan gabungan mahasiswa Maluku juga diikuti virtual oleh para tetua adat Petuanan Kayeli.

Dalam pertemuan itu, para tetua adat Petuanan Kayeli (Soar pito-Soar Pa) menuntut agar geothermal harus diberikan sanksi administrasi, Perusahaan mereka nilai  cacat prosedural dan menyeleweng dari peraturan perundang-undangan hingga harus angkat kaki dari petuanan adat mereka.

Hal sama disampaikan kepada Dion, segera hentikan aktivitas dan bertanggung jawab atas pengungsian warga dampak operasi geothermal di Desa Wapsalit.

Para tetua adat juga menuntut agar Ormat Geothermal transparan mengenai informasi terkait UPL-UKL dan dokumen-dokumen lain kepada masyarakat dan tua-tua adat Soar Pito-Soar Pa di petuanan adat Kayeli.

Solidaritas dan tetua adat yang mengikuti rapat virtual ini meminta, Ditjen Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM segera membentuk tim guna meninjau masyarakat dan lokasi pengeboran.

Mereka juga menuntut pengawasan dan mendengar langsung suara masyarakat agar tak saling lempar antara pemerintah pusat dan daerah dalam menyelesaikan persoalan ini.

 

Mahasiswa saat diterima perwakilan KESDM di salah satu ruangan humas, 5 September lalu. Foto: Solidaritas Mahasiswa

 

*******

 

Exit mobile version