Mongabay.co.id

Karl Marx dan Ekososialisme

 

 

Kohei Saito, “Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism.

 

 

Karl Marx tetap menarik meskipun sudah meninggal 140 tahun lalu. Seorang jenius dengan pemikiran yang mengubah sejarah. Marx dan keluarganya tiap hari membaca Shakespeare. Dia sosok ilmuwan besar yang tak pernah bekerja di universitas.

Seluruh bacaannya- ekonomi dan sosiologi, sejarah dan antropologi, kimia dan fisika- diarahkan untuk membayangkan masa depan yang emansipatoris.

Sumbangan Marx terbesar adalah analisanya terhadap kapitalisme. Di sini,  alat-alat produksi (means of production), yaitu seluruh tanah, karya buruh serta uang yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang berada di tangan swasta.

Sistem ini lahir di Eropa antara abad ke-16 hingga ke-18, kemudian menyebar ke setiap penjuru bumi. Kapitalisme berbeda dalam segala aspeknya dengan cara mengurus aktivitas ekonomis sebelumnya.

Di tengah kerusakan alam yang disebabkan kapitalisme kini, inilah saat tepat kembali membaca Marx.

Untuk menghasilkan suatu barang – katakanlah mesin uap –perlu kerjasama antara bumi, tempat bahan mentah seperti bijih besi digali, lalu insinyur beserta buruh yang merakit barang itu dan uang dari sang kapitalis yang mengharapkan keuntungan.

Bagi Karl Marx muda, hanya insinyur beserta buruh dan uang dianggap bermasalah. Buruh diperas oleh pemilik modal untuk menghasilkan laba bagi dirinya.

Sedang bumi, sebagai penyedia bahan mentah- proses industrial mengorek kekayaan- dianggap tidak bermasalah. Bahkan dia merayakan teknologi industrial sebagai bukti kehebatan manusia menguasai alam.

 

Peremasasn pokok sagu oleh para petani di Samo, Hakmahera Selatan. Masyarakat adat yang biasa dihup dari alam, dan penuhi keperluan dari sekitar, sudah alami kesulitan kala perusahaan-perusahaan ekstraktif mulai menguasai ruang hidup mereka. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Marx bersikap “promethean” (mengacu kepada dewa yang memberikan manusia api penguasa alam). Kebanyakan orang abad ke-19 bersikap demikian.

Menurut Marx muda, ketegangan sosial antara buruh dan pemodal akan makin parah tiap kali kapitalisme mengalami boom-and-bust. Akhirnya, ketegangan akan meledak, revolusi menjungkirbalikkan seluruhnya, buruh mengambil alih alat-alat produksi. Zaman Firdaus-sosialis di tengah kemakmuran material yang berlimpah adalah tujuan akhir dari proses yang disebutnya materialisme historis.

Hampir setiap pergerakan sosial besar abad ke-20 dimotori pengharapan kembar ini: pergolakan revolusioner yang akan membebaskan kaum tertindas di satu pihak. Juga janji kemakmuran fantastis hasil produktivisme promethean (yang dikuasai rakyat) di pihak lain.

Kelahiran Uni Soviet, Repubik Rakyat Tiongkok, dan hampir seluruh negara-negara baru merdeka di Asia dan Afrika pasca-Perang Dunia II dijiwai utopia Marxis ini (tentu ditafsir oleh Engels, Lenin, Stalin, Trotsky, Mao Tsetung dan lain-lain).

Di Indonesia pun, kebanyakan kaum nasionalis mulai menganut gagasan sama pada dasawarsa 1920-an. Buku Lenin Imperialisme jadi ilhamnya. Keterbelakangan budaya pun bukan masalah utama lagi di Indonesia, melainkan modal asing. Dalam pleidoi yang termasyur pada 1930, Sukarno bicara bak Lenin Indonesia. Perjuangan ditujukan untuk memecat penguasa asing dan kapitalis asing.

Di dalam tangan orang Indonesia, kemajuan industrial dianggap akan membawa kesejahteraan bagi seluruh bangsa. Pabrik baja Krakatau yang dibuka di Cilegon tahun 1962 pertama atas gagasan Presiden Sukarno. Seluruh negara baru merdeka di Afrika, tanpa menghiraukan kemiskinannya, meminjam uang yang berlebihan untuk membangun pabrik.

Sementara itu, setiap insan dengan jiwa lingkungan hidup sekecil apapun menyadari bahwa produksi promethean telah melukai Ibu Bumi secara parah.

 

Kawasan hutan di Pulau Bangka yang terkotak-kotak oleh perkebunan sawit skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kerusakan di Uni Soviet yang komunis (Chernobyl) menyamai atau bahkan melebihi kerusakan di Amerika yang kapitalis (“Musim Bunga Yang Bisu”- Silent Spring, karya Rachel Carson 1962 tentang kematian burung akibat DDT).

Protes terhadap situasi ini jelas tidak datang dari sudut yang ngotot kapitalis. Tetapi juga tidak dari pihak Marxist yang merah. Protes datang dari ilmuwan ekologis yang hijau seperti Rachel Carson, dan dari pecinta alam “deep ecologya la Arne Naess. Akibatnya, sebuah jurang menganga antara aktivis hijau dan merah.

Temuan-temuan dalam buku Kohei Saito mengenai pemikiran Karl Marx masa tua dapat menutupi jurang itu. Buku ini barangkali sumber terbaik untuk apa yang disebut Eko-Marxisme atau Eko-Sosialisme. Buku yang lain termasuk karangan John Bellamy Foster dan James O´Connor.

Ketika berusia 30 tahun, Marx menerbitkan Manifesto Komunis pada tahun penuh gejolak 1848. Juga menerbitkan Das Kapital jilid I pada 1867 saat usia 49 tahun. Ini hanya dua karya termasyur dari banyaknya tulisan dia yang lain.

Mengapa Marx tidak pernah menerbitkan Das Kapital Jilid II dan III sebelum akhirnya meninggal, meskipun didesak terus oleh sahabat karib dan editornya Friedrich Engels? Alasannya, menurut Kohei Saito, Marx merasakan berada di persimpangan jalan. Dia tak mampu menyelesaikan Das Kapital hingga memikirkan kembali seluruh kerangka teoritisnya.

Sambil menulis disertasinya di Heidelberg, Kohei Saito mempelajari buku catatan Marx yang begitu banyak tersimpan di Berlin dan Amsterdam. Yang dia temukan di situ, dia tulis dalam buku ini.

Buku asli berbahasa Jepang ini telah terjual setengah juta eksemplar-best seller.

Saito berkesimpulan,  pembaca muda Jepang sudah jenuh dengan janji-janji kapitalisme yang gagal. Mereka mencari masa depan yang lain.

Alasan utama mengapa Marx berubah pikiran, menurut Saito, bukanlah karena dia sakit-sakitan apalagi pikun. Bukan juga karena hatinya telah melunak menjadi romantis.

Alasannya, Marx mulai membaca buku-buku ilmu alam, di samping pembacaan intensif di humaniora dan ilmu sosial. Bacaan ini mengakibatkan pergeseran paradigmatik (paradigmatic shift) di kepala Karl Marx.

Dia meninggal sebelum sempat menuangkan gagasan final dalam bentuk buku. Saito telah berjasa dengan menyelesaikan karya Marx.

Kalau pikiran Marx saja telah berubah, mengapa warisannya yang “promethean” berlangsung begitu lama bahkan hingga saat ini? Sebagian alasan adalah karena Friedrich Engels tidak pernah mengubah pikirannya seirama dengan Marx.

Ada  Engels yang mengejawantahkan tulisan-tulisan sahabatnya–karya yang luas jangkauannya dan tinggi kompleksitasnya– menjadi buku yang dapat menjiwai pergerakan politis.

Saat Marx mulai cemas bahwa jangan-jangan produktivisme industrial telah menjadi problem tersendiri lepas dari peranannya di tangan kaum kapitalis, maka Engels tetap meyakini pandangan yang lama.

 

Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah Papua, oleh  PT Freeport Indonesia. Foto: PT FI

 

Sikap tidak kritis terhadap industri modern kemudian dipegang baik oleh kaum kapitalis penganut pasar bebas maupun oleh kaum komunis. Kini, kita lihat musibah ekologis disebabkan oleh pandangan itu di mana-mana. Apabila kaum Marxis memiliki pandangan emansipatoris sejauh menyangkut urusan manusia, maka tidak demikian sejauh menyentuh relasi dengan non-manusia. Hingga kini, “tekno-optimisme” tetap berpengaruh di kalangan kiri.

Marx sendiri mulai mengubah sikap sekitar tahun 1868. Kala itu, dia berumur 50 tahun pas Das Kapital jilid I terbit. Pemikiran baru ini kemudian menyibukkan dia dalam 15 tahun terakhir masa hidupnya.

Dia membuang produktivisme promethean karena terbatasnya bumi. Dia juga membuang materialisme historisnya karena bersifat eurosentris. Dia mulai memikirkan kemungkinan masyarakat non-kapitalis di luar Eropa Barat Laut, yang melawan kapitalisme. Seperti Irlandia jajahan Inggeris, atau Rusia, saat itu masih feodal.

Dia membaca tentang masyarakat pra-kapitalis. Di antaranya Suku Jerman Teutonik yang mempraktikkan markgenossenschaft – desa-desa komunal yang swadaya dalam segala hal.

Dia membaca tentang desa rural di India jauh hari sebelum kedatangan Inggris. Juga tentang daerah rural Prancis zaman Kekaisaran Romawi. Julius Caesar yang melintasi daerah itu mengamati, mereka sengaja tak meningkatkan produksi, karena akan menciptakan kecemburuan yang membahayakan.

Bab VI buku Saito ini bisa jadi sangat inspiratif bagi sejarawan lingkungan hidup Indonesia.

Bagaimanakah tempat alam di dalam analisis Marx yang final ini? Bagaimana rupanya sebuah dunia pasca-kapitalis?

Temuan kuncinya, proses pertukaran material bernama metabolisme. Tiap makhluk hidup secara terus-menerus menyerap materi ke dalam tubuhnya dan mengeluarkan dalam bentuk lain. Binatang menarik napas dan menghembuskan, makan dan kembali mengeluarkan sebagai tinja.

Pada skala lebih luas, tanah yang hidup juga menyerap cahaya dan gizi dari lingkungan, dan mengeluarkan tumbuhan. Pecahlah siklus metabolik ini, matilah makhluk organik.

Dari ahli kimia Justus von Liebig, dia belajar bahwa pertanian modern justru melakukan itu – memecahkan siklus metabolik tanah. Liebig menamakannya perpecahan metabolik (metabolic rift). Pangan yang dihasilkan di daerah pertanian di Inggris, misal, kemudian dibawa jauh-jauh ke kota besar London. Kota penuh dengan buruh pabrik mantan petani yang telah kehilangan tanahnya (yang dipagari oleh kaum kapitalis awal).

 

Hutan Bati, ruang hidup Masyarakat Adat Bati kini terancam karena perusahaan migas akan datang ke kampung mereka. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Buruh makan kentang, roti, sayur dan sebagainya, lalu buang air besar ke dalam Sungai Thames. Tinja tidak kembali ke tanah sebagaimana mestinya, melainkan dihanyutkan ke laut. Perpecahan metabolik ini menguras tanah di daerah pertanian. Ini pantas disebut perampasan alam.

Seluruh produksi industrial telah melakukan dosa perampasan terhadap alam, kata Liebig. Lebih parah lagi, kapitalisme memiliki ciri bertumbuh terus.

Ia ‘berlayar’ jauh ke negeri lain, mencari tanah baru. Bila tanah itupun kemudian terkuras habis, ia mencari wilayah perampasan baru lagi, hingga akhirnya seluruh bumi menjadi korban. Ini adalah konsekwensi anti-ekologis dari kapitalisme.

Pertumbuhan terus-menerus di bumi yang terbatas memang tidak mungkin. Ekonom Amerika Kenneth E. Boulding tahun 1973 berkelakar setengah serius: “Siapa saja yang percaya bahwa pertumbuhan eksponensial dapat berlangsung untuk selamanya di bumi yang terbatas adalah orang gila atau seorang ekonom.”

Kesadaran ini menghentakkan hati Marx 100 tahun sebelumnya hingga mendorong pergeseran paradigmatiknya. Ekonom perintis John Stuart Mill pada saat hampir sama menyadari itu juga, tetapi beda dengan Marx, dia tidak menindaklanjutinya.

Marx lalu mengaitkan perpecahan metabolik dengan perpecahan sosial, yang dua-duanya disebabkan kapitalisme. Ia sudah tulis dalam Das Kapital jilid I:

Perburuhan secara paling fundamental adalah sebuah proses antara manusia dengan alam, sebuah proses di mana manusia, melalui tindakannya, menengahi, mengatur, dan menguasai metabolisme antara dirinya dan alam (Kapital I: 283). Perburuhan adalah ayah dari kemakmuran material, bumi adalah ibunya (Kapital I: 134).

Marx menyimpulkan, sumber asli seluruh kekayaan adalah tanah dan buruh. Kapitalisme menguras tidak hanya kekuatan manusia untuk berkarya, juga kekuatan alam yang terkandung di dalam tanah.

Salah satu pemisahan analitis paling penting yang dibuat Marx menyangkut “nilai” sesuatu benda.

Sebuah kursi, misal, memiliki “nilai guna” – kursi sebagai tempat duduk. Kursi juga memiliki “nilai tukar”– harga saat membelinya. Kedua jenis nilai ini sangat berlainan.

Dalam kehidupan sehari-hari, adalah nilai guna yang paling berperan. Masyarakat pra-kapitalis ingin memproduksi barang yang memiliki nilai guna tinggi agar kehidupan jadi lebih nyaman.

 

Polusi udara dari sebuah pembangkit listrik bertenaga batubara. Foto : shutterstock

 

Pada sisi lain, kapitalisme hanya mempertimbangkan nilai tukar suatu benda. Kepercayaan akan pentingnya nilai tukar dan peremehan terhadap nilai guna menjurus kepada ide-ide palsu tentang kekayaan. seolah-olah hanya ditentukan nilai uang,  tidak lagi oleh kebahagiaan seseorang.

Saito meringkas pemikiran Marx: Kalau ingin mengatakannya secara kasar, maka “kekayaan” masyarakat dan kekayaan alam telah mengalami pemiskinan yang berat di bawah kapitalisme.

Mungkin terasa aneh bahwa di sini “kekayaan” malah mengalami pemiskinan di bawah kapitalisme. Menurut Saito,  Marx beranggapan bahwa kekayaan masyarakat ditemukan di dalam kayanya budaya, keterampilan, waktu luang serta pengetahuan yang dipertunjukkan masyarakat.

Bab terakhir buku Saito menggambarkan wawasan Marx yang final tentang masyarakat pasca-kapitalis. Ini sebuah masyarakat yang berhasil mengatasi baik keterasingan antara manusia (buruh lawan kapitalis) dan keterasingan antara manusia dan alam.  (Kehancuran yang ditimpakan kepada bumi melalui pengurasan tanah).

Emansipasi pertama disebut sosialisme dan sudah lama kita kenal. Yang kedua disebut ekologi. Jika digabung, hasilnya adalah eko-sosialisme.

Kapitalisme telah menghancurkan kekayaan sosial bagi kaum buruh. Ia menghancurkan kekayaan alam yang sebelumnya leluasa tersedia ketika manusia masih hidup secara subsisten dekat dengan tanah. Ketika udara bersih, air bersih dan ikan di dalam sungai, kelimpahan tanaman dalam tanah yang subur.

Setelah kaum buruh pindah ke kota, satu demi satu bentuk kekayaan alam ini dicaplok swasta. Hari ini,  kita harus beli air dalam botol plastik– air minum telah diswastanisasi. Udarapun telah diswastanisasi – perusahaan bahan bakar fosil menganggap normal kalau CO2 dibuang begitu saja di udara.

 

Petugas Badan Penanggulan Bencana Daerah kota Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Pekanbaru, Riau, Senin (1/3/2021) malam. Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di wilayah provinsi Riau menjadi ancaman baru ditengah Pandemi COVID-19. Foto: Wahyudi

 

Masyarakat pasca-kapitalis berusaha memulihkan kembali kekayaan alam yang dapat diakses oleh setiap insan secara umum, baik manusia maupun non-manusia. Ini adalah kelimpahan yang ditemukan dalam masyarakat pra-kapitalis, di mana pemuasan nilai gunalah yang menjadi tujuan, bukan pemuasan nilai tukar yang maksimal.

Marx sadar betul bahwa sosialisme tak dapat menghilangkan segala macam kekurangan. Ada bentuk-bentuk kekurangan yang ditetapkan oleh batasan bumi itu sendiri. Satu-satunya jenis kekurangan yang dapat ditangani oleh eko-sosialisme adalah kekurangan yang diciptakan secara sosial. Pemiskinan orang Somalia dan Yemen, sementara jumlah miliarder terus bertumbuh adalah ciptaan kapitalisme. Mengatasi kekurangan buatan ini hanya bisa sukses dengan menggabungkan dua upaya. Pertama, sosialisasikan penguasaan terhadap alat-alat produksi (komunisme). Kedua, mengurangi dampak produksi industrial terhadap bumi (degrowth). Dari sinilah muncul istilah “komunisme degrowth” dalam subjudul buku Kohei Saito.

Implikasinya tetap seradikal ketika Marx muda menerbitkan Manifesto Komunis. Sebuah proletariat lingkungan hidup global sedang menyadarkan diri. Udara terkotor di dunia di Jakarta. Kebakaran hutan Kalimantan, Sumatera dan pulau-pulau lain bisa terulang a la Kanada atau Yunani. Kesadaran muncul bahwa pemerintah telah gagal melindungi rakyat. Kesadaran ini menuju kepada ekososialisme Marx tua.

 

 

 

*Resensi buku Kohei Saito, Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism. Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2023 [orig Jap 2020] oleh Gerry van Klinken.  Gerry van Klinken adalah professor emeritus sejarah Asia Tenggara di Universitas Amsterdam dan KITLV Leiden <klinken@kitlv.nl>.

 

Pembukaan hutan untuk tambang nikel di Pulau Wawonii.  Tak hanya lingkungan hidup rusak, hidup warga pun terganggu.  Foto: Riza Salman/ Mongabay Indonesia 

 

Ekosistem laut rusak. Laut yang menjadi ruang hidup bagi masyarakat pesisir berubah jadi lautan lumpur merah (limparan tanah dari aktivitas tambang nikel) di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

******

 

 

 

Exit mobile version