Mongabay.co.id

Agro Maritim 4.0, Ekonomi Biru, dan Keberlanjutan Lautan

 

Pengembangan paradigma kemaritiman terus dilakukan Pemerintah Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu fokusnya, adalah menjadikan ekonomi biru sebagai platform utama pengembangan ekonomi berbasis wilayah kelautan dan perikanan.

Banyak yang salah memahami tentang paradigma kemaritiman yang terus mengalami peningkatan popularitasnya sampai sekarang. Kemaritiman, sejatinya bukan merupakan sektor pada kehidupan, melainkan sebuah sudut pandang dengan pemimpin sektornya adalah kelautan.

Pernyataan tersebut ditegaskan Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (PPN/Bappenas) Vivi Yulaswati belum lama ini di Jakarta.

Menurut dia, negara maritim berarti negara yang optimal memanfaatkan ruang dan seluruh sumber daya secara berkelanjutan. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, terdapat delapan sektor yang berkontribusi terhadap pembangunan kemaritiman.

Kedelapan sektor itu, adalah perikanan; energi dan sumber daya mineral; sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; sumber daya non konvensional; industri kelautan; wisata bahari; perhubungan laut; dan bangunan laut.

Kontribusi delapan sektor tersebut, secara garis besar bertautan langsung dengan pembangunan kelautan secara nasional. Itu sebabnya, diperlukan strategi untuk menjalankan optimalisasi pembangunan kelautan dalam pembangunan nasional.

“Pengelolaan sumber daya laut harus dilakukan melalui science based policy and community based implementation,” ucapnya.

baca : Meluruskan Kembali Konsep Ekonomi Biru di Indonesia

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Untuk bisa melakukan strategi tersebut, diperlukan kombinasi data dan informasi yang akurat, riset/kajian yang memadai, serta sarana prasarana dan sumber daya manusia yang memadai. Perpaduan tersebut berguna saat menjalankan program pembangunan berbasis kelautan.

Dengan kata lain, strategi melalui kombinasi tersebut, diharapkan bisa menuntun pembangunan tetap memperhatikan keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Jangan sampai, ada dikotomi antara keduanya.

Selain itu, karena sudah ada strategi yang jelas, maka diharapkan ada pemanfaatan yang berkelanjutan, dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Tegasnya, tidak boleh lagi ada eksploitasi berlebihan yang bisa mengancam kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.

Cara bekerja seperti itu, diyakini akan bisa membawa kemaritiman bisa berkembang menjadi lebih maksimal di masa mendatang. Terutama, mengembangkan sektor yang saat ini masih potensinya sangat besar.

Selain budi daya perikanan laut yang sudah berkembang, sektor lain yang saat ini dinilai sudah bisa mandiri adalah energi berupa angin di lepas pantai; energi terbarukan di laut berupa arus dan gelombang; pengawasan dan pengamanan laut; serta bioteknologi kelautan.

Secara khusus, Vivi Yulaswati memaparkan sejumlah tantangan yang senantiasa akan dihadapi pada proses pembangunan kemaritiman. Ada enam tantangan yang menjadi catatan dia dan wajib diperhatikan oleh para pihak yang berkepentingan di dalamnya.

Pertama, mayoritas pelaku usaha agro maritim adalah berskala kecil, kompetensi usaha rendah, dan melemahnya budaya maritim. Kedua, tidak terintegrasinya rantai usaha hulu hilir di semua sektor kemaritiman.

Ketiga, infrastruktur dan teknologi kemaritiman yang belum memadai, mencakup pelabuhan, galangan, kapal, fasilitas pembenihan, dan sebagainya. Keempat, Pengelolaan sumber daya tidak berbasis data dan sistem pengendalian yang handal.

Kelima, degradasi ekosistem, polusi, dan limbah laut yang terus terjadi. Terakhir atau keenam, masih rendahnya investasi berkelanjutan, termasuk di dalamnya adalah melaksanakan riset-riset tentang isu kemaritiman.

baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim

 

Tumpukan pari dan hiu Apendiks II di Pelabuhan Tasikagung, Rembang, Kabupaten Jawa Tengah. Foto diambil pada 1 Juli 2022. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengingatkan, dengan potensi besar yang ada saat ini, kontribusi produk domestik bruto (PDB) pada 2021 dari kemaritiman masih sangat rendah dengan capaian 7,6 persen saja. Itu berarti, Indonesia masih belum memanfaatkan dengan optimal klaster pembangunan pada kemaritiman.

Di antara yang sedang fokus dikembangkan pada klaster kemaritiman, adalah konsep dan kebijakan ekonomi biru. Konsep tersebut berkembang cepat di Indonesia, karena dinilai selaras dengan kondisi faktual dengan laut dan pesisir sebagai garda depannya.

Rektor IPB University Arif Satria memaparkan bagaimana konsep dan kebijakan ekonomi terus dilakukan akselerasi di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir ini. Dia menyebut, kenapa ekonomi biru berkembang di dunia, adalah karena itu adalah alternatif model ekonomi bagi pembangunan berkelanjutan yang menempatkan laut sebagai intinya.

“Ekonomi biru adalah upaya untuk memperluas aspek biru dari ekonomi hijau, dan khususnya menjadi perhatian penting bagi small island developing states atau SIDT,” jelas dia.

Secara garis besar, ada beragam definisi untuk menjelaskan apa itu ekonomi biru. Itu pula yang ditekankan Arif Satria saat membeberkan apa konsep dari ekonomi biru yang saat ini sedang menanjak popularistasnya di dunia.

Dia mengutip lima lembaga berbeda yang membuat definisi tentang ekonomi biru. Salah satunya Bank Dunia yang menyebut ekonomi biru adalah pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatkan mata pencaharian, dan pekerjaan sambil menjaga kesehatan ekosistem laut.

baca juga : Akankah Indonesia Berdaulat di Laut pada 2045?

 

Aktivitas perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Tantangan Besar

Saat mengembangkan konsep ekonomi biru menjadi sebuah kebijakan, ada beragam tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Tantangan itu dikaitkan dengan kondisi sektor kelautan dan perikanan secara menyeluruh di Indonesia.

Kemudian, permasalahan subsektor perikanan tangkap yang sangat rumit dan kompleks. Tidak hanya persoalan overfishing di sebagian wilayah laut Indonesia saja, namun juga belum optimalnya pemanfaatan kawasan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI), di mana Indonesia punya hak berdaulat penuh di sana.

Ada juga, persoalan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tak sesuai regulasi (IUUF), menurunnya kualitas lingkungan perairan laut, lemahnya daya saing produk perikanan, serta sumber daya manusia, inovasi, dan teknologi maritim.

Tantangan lain yang juga tak kalah beratnya, adalah pelestarian ekosistem pesisir yang bisa menjadi pelindung dan benteng utama wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Persoalan tersebut, tergambar dari terus meningkatnya kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, atau pun terumbu karang.

“Setiap tahunnya, 52 ribu hektare hutan mangrove mengalami kerusakan. Mirisnya, 40 persen kerusakan tersebut disebabkan aktivitas perikanan budi daya yang dilaksanakan di pesisir,” ucap dia.

Ada dampak buruk yang terjadi saat hutan mangrove mengalami kerusakan, dan itu adalah pelepasan banyak karbon dioksida (CO2). Tak tanggung-tanggung, dalam setahun ada 190 juta ton emisi tahunan yang dilepaskan dari kerusakan mangrove di Indonesia.

“Itu sama saja dengan jumlah emisi yang dikeluarkan setiap mobil di Indonesia saat mengelilingi bumi dua kali,” tambah dia.

Tanpa ada intervensi dari semua pihak, maka kerusakan akan semakin memburuk dan dampak perubahan iklim semakin sulit untuk dicegah. Padahal, dengan menghentikan deforestasi pada mangrove, itu berarti pengurangan emisi akan berjalan lebih cepat.

baca juga : Tahun Politik, Desak Penguatan Perlindungan Ekosistem Mangrove

 

Perahu nelayan secara beriring-iringan menyusuri sungai yang ditumbuhi pohon mangrove untuk mengikuti kegiatan sedekah laut di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Demak, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lalu, apa yang membuat ekonomi biru menjadi penting dan mutlak untuk dilaksanakan di Indonesia? Arif Satria memiliki jawabannya. Kata dia, ekonomi biru bisa menjadi katalisator pertumbuhan biru, dampak sosial ke masyarakat, kualitas lingkungan, terhubung ke semua kawasan, dan pariwisata berkelanjutan.

Dia melanjutkan, jika Indonesia ingin sukses menerapkan ekonomi biru dan menjadi salah satu kontributor utama bagi ekonomi nasional pada 2045, maka harus memperhatikan empat poin di bawah ini.

Pertama, investasi untuk peningkatan/penguatan tata kelola yang berorientasi pada manfaat ekonomi nasional dan masyarakat lokal. Namun, tetap menjaga kelestarian sumber daya alam yang ada di laut dan pesisir.

Kedua, mengoptimalkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk mendukung setiap pengambilan keputusan. Ketiga, meningkatkan infrastruktur pasar, serta akses yang lebih baik bagi orang miskin

“Keempat, pembiayaan yang berkelanjutan untuk menjamin manfaat adil dan merata,” sebut dia.

Secara khusus, Arif Satria kemudian membeberkan pemikiran yang dibuat IPB University tentang agro maritim 4.0. Konsep tersebut menyatukan pengelolaan wilayah darat dan laut secara inklusif yang melibatkan sistem sosial, ekologi, dan ekonomi kompleks.

Transformasi agro maritim 4.0 mengarah kepada industri agro maritim dan perdagangan yang berdaya saing; penguatan infrastruktur konektivitas dan rantai nilai agro maritim; serta penguatan sumber daya manusia dan IPTEK.

baca juga : Ini Rekomendasi Perguruan Tinggi untuk Perbaikan Pengelolaan Perikanan Indonesia

 

Para nelayan menepikan perahunya di sungai Cilincing, Jakarta Utara, usai mencari ikan di laut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menyoal ekonomi biru, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan beberapa waktu lalu juga memberikan pandangannya. Menurut dia, Pemerintah memerlukan koridor pemanfaatan dan tata kelola sumber daya kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang transparan, adil, dan berkelanjutan.

Cara untuk mencapai tujuan tersebut, hanya bisa dilakukan jika Pemerintah mengikuti rambu-rambu kebijakan ekonomi biru. Pertama, bagaimana Pemerintah bisa mengutamakan subjek utama pelaku ekonomi biru adalah nelayan kecil, masyarakat lokal, dan masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kedua, bagaimana Pemerintah bisa mengimplementasikan konsep ekonomi biru yang transparan dan adil melalui kemudahan akses data yang mutakhir, dan terintegrasi dengan sistem informasi. Mengingat, saat ini sumber data yang ada terkesan tidak bermuara pada satu pintu dan terintegrasi antar kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan.

Dia mencontohkan, data jumlah nelayan di Indonesia sampai saat ini masih beragam, baik dari segi kualitas data maupun kuantitas detail data. Kemudian, pemutakhiran dan integrasi data juga harus berjalan dari Pemerintah hingga daerah dengan efektif dan tepat.

Ketiga, bagaimana Pemerintah bisa memastikan mekanisme pengawasan end to end yang partisipatif dan penegakan hukum dalam kebijakan ekonomi biru bisa berjalan baik. Rambu ini berjalan mulai dari pengawasan ketat terhadap pintu perizinan yang diberikan pada pelaku usaha dan investor dalam negeri maupun asing.

Kemudian, pengawasan terhadap prinsip ketertelusuran skema pajak yang adil bagi nelayan tradisional dan pelaku usaha skala besar, hingga proses evaluasi dan uji tuntas terhadap keberlanjutan tata kelola kelautan dan perikanan.

Keempat, bagaimana Pemerintah bisa mendorong tata kelola pemanfaatan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, sekaligus bisa mengakomodir kearifan lokal. Rambu ini merujuk pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan meminta Pemerintah untuk memastikan pembangunan ekonomi didasarkan pada asas pemerataan.

Itu berarti, pembangunan dilaksanakan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan kemakmuran rakyat. Bukan didasarkan pada kepentingan investasi dan prinsip pertumbuhan ekonomi yang eksploitatif saja, lalu berujung munculnya perampasan ruang dan hak kearifan lokal.

Oleh karena itu, Suhufan menyebutkan, implementasi ekonomi biru yang transparan perlu diterapkan melalui berbagai arah kebijakan pembangunan. Kemudian, ekonomi biru juga perlu berpihak pada keberlanjutan ekosistem, serta sumber daya kelautan dan perikanan tangkap maupun budi daya yang ada dengan prioritas kesejahteraan dan kearifan lokal. (***)

 

 

Exit mobile version