- Perlindungan terhadap ekosistem mangrove sangat penting. Mangrove jadi pelindung alami pesisir dari ancaman abrasi dan lain-lain. Memasuki tahun politik 2024, berbagai kalangan mendesak hendaknya jadi momentum tepat meningkatkan perlindungan bagi ekosistem mangrove antara lain lewat penguatan kebijakan.
- Nur Chayati, perempuan pemulia mangrove dari pesisir Mangunharjo, Semarang mendesak, calon presiden maupun predisen mendatang harus menempatkan kepentingan perlindungan masyarakat pesisir sebagai prioritas dalam program pemerintahan.
- Melva Harahap, Manajer Kajian Bencana Walhi Nasional menyebut, ekosistem mangrove di banyak tempat di Indonesia terbukti menjadi benteng alami dari ancaman bencana, seperti tsunami dan banjir rob di pesisir Indonesia.
- Muhammad Karim, dosen Universitas Trilogi dan penulis buku-buku kelautan dan perikanan, menyampaikan kritik terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun masyarakat belum terlihat dalam rancangan kebijakan ini.
Perlindungan terhadap ekosistem mangrove sangat penting. Mangrove jadi pelindung alami pesisir dari ancaman abrasi dan lain-lain. Memasuki tahun politik, 2024, hendaknya jadi momentum tepat meningkatkan perlindungan bagi ekosistem mangrove antara lain lewat penguatan kebijakan.
“Tahun ini, isu mengenai perlindungan masyarakat pesisir dan ekosistem mangrove penting untuk dikemukakan guna mengarusutamakan keadilan iklim dan wilayah kelola masyarakat,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional dalam diskusi daring 26 Juli lalu tepat di Hari Mangrove Sedunia.
Nur Chayati, perempuan pemulia mangrove dari pesisir Mangunharjo, Semarang mendesak, calon presiden harus maupun presiden mendatang menempatkan kepentingan perlindungan masyarakat pesisir sebagai prioritas dalam program pemerintahan.
Ekosistem mangrove di pesisir Sumatera, seperti di area pertambakan udang Dipasena, Lampung, juga rusak.
Di sini, ekosistem mangrove 200 hektar hilang karena abrasi, dan 400 hektar rusak karena alih fungsi jadi tambak liar.
Lebih dari 5.000 keluarga pembudidaya udang menggantungkan hidup pada sektor budidaya udang ini.
Dia menceritakan, upaya memulihkan mangrove sejak 2005 di area yang telah mengalami abrasi seluas 160 hektar.
Secara umum, katanya, pantai utara Kota Semarang mengalami abrasi karena beban industri yang mengakibatkan penurunan muka tanah signifikan, antara 15-25 cm setiap tahun. Pada saat sama, terjadi percepatan dampak buruk krisis iklim yang menyebabkan kenaikan air laut.
Nur bersama komunitasnya bekerja menjaga ekosistem pesisir dengan terus menerus menanam dan memuliakan mangrove. Hasilnya, wilayah yang terdampak abrasi seluas 160 hektar sudah pulih. Mangrove yang tumbuh sudah dimanfaatkan masyarakat untuk memproduksi pangan dan minuman olahan.
“Saat ini, banyak pihak tertarik bergabung menjaga kawasan pesisir di tempat kami. Mereka datang dari kalangan pelajar, mahasiswa, aparatur sipil negara, pegawai swasta, dan berbagai kelompok lain,” katanya.
Mereka ingin membuktikan kepada masyarakat luas bahwa kelompok perempuan pesisir merupakan aktor utama penjaga pesisir serta memuliakan mangrove.
Tak jauh beda dikatakan Sutikno Widodo, pembudidaya udang sekaligus pemulia mangrove Dipasena, Lampung.
Menurut Sutikno, presiden mendatang wajib memperhatikan keberlanjutan dan keselamatan ekosistem mangrove yang jadi penopang penting perikanan budidaya di Dipasena.
“Sektor perikanan budidaya terbukti menjadi pendorong utama perekonomian Lampung dibandingkan sektor lain. Karena itu presiden ke depan harus menempatkan budidaya udang yang dikelola masyarakat sebagai sektor strategis.”
Dia mengatakan, sekitar 50 keluarga pembudidaya udang direlokasi ke tempat lebih aman. Kemudian, sekitar 25 hektar tambak udang jebol dan tidak bisa dikelola budidaya udang.
“Akibat hilangnya ekosistem mangrove ancaman abrasi terus terjadi serta laju sedimentasi tak terkendali,” katanya.
Sutikno mengatakan, hilangnya ekosistem mangrove seluas 600 hektar memicu penurunan dratis hasil produksi budidaya udang di Dipasena. Saat ekosistem mangrove masih terjaga, pembudidaya udang dapat memanen udang 60-70 ton per hari.
“Hari ini, setelah mangrove rusak, produksi kami hanya 13 ton per hari. Ini kehilangan sangat besar,” katanya.
Dalam situasi demikian, dia menyayangkan tidak ada penegakan hukum terhadap perusakan ekosistem mangrove meski ada UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 yang tegas melarang perusakan mangrove dan ada sanksi tegas bagi perusaknya.
Melva Harahap, Manajer Kajian Bencana Walhi Nasional menyebut, ekosistem mangrove di banyak tempat di Indonesia terbukti menjadi benteng alami dari ancaman bencana, seperti tsunami dan banjir rob di pesisir Indonesia.
Keberadaan ekosistem mangrove itu, katanya, terjaga karena ada pengetahuan masyarakat yang hidup dan mereka terus menjaganya.
“Pada titik ini, perlindungan mangrove dalam konteks mitigasi bencana harus melibatkan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman, bukan hanya akademisi yang pendekatan selalu teknokratis,” katanya.
Kuatkan kebijakan, bukan sebaliknya
Sejalan dengan desakan perlindungan ekosistem mangrove, pemerintah juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Namun, Muhammad Karim, dosen Universitas Trilogi dan penulis buku-buku kelautan dan perikanan, menyampaikan kritik terhadap rancangan ini.
Menurut dia, RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun masyarakat belum terlihat dalam rancangan kebijakan ini.
“Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara,” katanya.
Dalam catatan Karim, ekosistem mangrove di Indonesia sangat terancam oleh sejumlah hal. Pertama, banyak regulasi tidak melindungi ekosistem mangrove, atau melegalkan konversi untuk kepentingan lain.
Dia sebutkan, UU No. 3/2020 tentang Mineral dan Batubara, Undang-undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Ada juga PP No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, yang melegalkan pertambangan pasir laut.
Kedua, keberadaan ekosistem mangrove terancam proyek-proyek pembangunan pemerintah, antara lain, reklamasi pantai, pertambangan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Juga, infrastruktur skala besar seperti pelabuhan, liquefied natural gas (LNG), dan lain-lain.
Ketiga, pencemaran laut, baik bentuk limbah cair maupun seperti plastik dari daratan. Akumulasi sampah plastik, menyebabkan kualitas ekosistem mangrove mengalami penurunan serius karena telah menghancurkan siklus reproduksi ekosistem ini di pesisir Indonesia.
Keempat, ekspansi tambang udang skala besar di kawasan pesisir terbukti menurunkan luasan mangrove di Indonesia. Kondisi ini, katanya, diperparah ambisi pemerintah ingin membangun shrimp estate di sejumlah wilayah di Indonesia.
RPP ini, katanya, tidak memiliki posisi jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai ancaman itu.
“Sebaliknya, terdapat sejumlah pasal, justru melegalkan konversi ekosistem mangrove untuk kawasan lain,” kata Karim.
Memasuki tahun politik ini, dia mendesak, presiden harus memiliki keberanian mengevaluasi sejumlah regulasi sekaligus proyek-proyek pembangunan yang melanggengkan krisis di kawasan pesisir, laut, dan pulau kecil.
“Presiden terpilih nanti, melalui RPP ini dan regulasi lain, wajib memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan bagi kelembagaan di tingkat lokal yang terbukti berhasil menjaga ekosistem pesisir, utamanya mangrove.”
Senada dengan Karim, Rignolda Djamaluddin, dosen ilmu kelautan Universitas Sam Ratulangi, mengatakan, RPP ini sangat terlambat kalau melihat UU induk, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Dengan kata lain, setelah UU itu disahkan 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove,” katanya.
Rignolda juga bilang, RPP ini memiliki kelemahan serius dalam pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. Menurut dia, rancangan ini seharusnya gunakan sanksi pidana kalau merujuk UU 32/2009.
Sayangnya, RPP malah gunakan sanksi administratif sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove.
“Dari sini ini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32/2009, tetapi merujuk UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi.”
Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum Walhi Nasional, menegaskan, dalam tahun-tahun politik elektoral seperti saat ini, RPP berisiko disusun tidak benar-benar melindungi ekosistem mangrove dan masyarakat pesisir.
“RPP ini memperlihatkan pemerintah ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan mendapatkan pendanaan iklim,” katanya.
**********