Mongabay.co.id

Kajian Sebut Polusi Udara Jabodetabek Tingkatkan Penyakit Pernapasan, Kata Kemenkes?

 

 

 

 

 

 

 

Polusi udara  di Jakarta, dan sekitar masih terjadi. Nafas Indonesia dan Halodoc berkolaborasi merilis laporan dampak polusi udara terhadap risiko kesehatan masyarakat. Mereka menemukan ada peningkatan keluhan penyakit pernapasan tiap kali konsentrasi PM2,5 naik sebesar 10 mg/m3, dari batas bawah (baseline) 31 mg/m3.

Studi ini mengkaji keterkaitan polusi PM2,5 dengan telekonsultasi kasus penyakit pernapasan di aplikasi Halodoc. Informasi dikumpulkan sepanjang Juni-Agustus 2023, yang disebut sebagai bulan dengan kejadian polusi tertinggi.

Berdasarkan data yang dihimpun dari 73 kecamatan di Jabodetabek, tercatat 20 kecamatan dengan persentase kenaikan keluhan masalah pernapasan tertinggi. Pada cakupan kota, keluhan masalah pernapasan tertinggi terjadi di Bogor (33,9%), Depok (33,8%) dan Jakarta Utara (33,6%).

Piotr Jakubowski, Co-founder & Chief Growth Officer Nafas mengatakan, sepanjang 2023, terjadi peningkatan konsentrasi PM2,5 melebihi baseline pada Juni, Juli dan Agustus. Dalam kurun itu, keluhan penyakit pernapasan rata-rata meningkat pada Juni sebesar 34% dan 32% di Juli-Agustus.

 

Dokumen: Kajian Nafas dan Halodoc

Polusi udara Jakarta, masyarakat perlu berhati-hati kalau terpaksa keluar rumah. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Bahkan, konsentrasi PM2,5 di atas 55 mg/m3 berisiko menimbulkan keluhan pernapasan hanya dalam rentang waktu 12 jam. Temuan itu dinilai memberi bukti bahwa dampak polusi udara tidak hanya terjadi pada jangka menengah dan panjang, juga kurun waktu singkat.

Secara rata-rata, kata Piotr, semua jenis keluhan penyakit pernapasan yang dikaji mengalami peningkatan 17% dalam kurun 1-2 hari setelah polusi tinggi. Sinusitis rentang 3-12 jam meningkat sampai 300%, asma dan bronkitis dalam 48 jam naik 500%.

“Ini memang membuktikan ada korelasi PM2,5 dan tingginya polusi udara dengan kasus penyakit pernafasan akut dalam kurun waktu di bawah 48 jam,” kata Piotr saat meluncurkan laporan berjudul “Udara Buruk Jabodetabek Berpotensi Tingkatkan Kasus Penyakit Pernapasan hingga 34%, ”26 September lalu.

Temuan lain dari riset Nafas dan Halodoc adalah risiko masalah pernapasan tertinggi dialami kelompok sensitif, dengan pengingkatan tertinggi terjadi pada kelompok lansia berusia di atas 55 tahun (48%), disusul kelompok usia 0-17 tahun (32%).

 

Baca juga: Udara Jabodetabek Buruk, Pemerintah Bentuk Satgas Pengendalian Pencemaran

Kabut polusi udara menyelimuti gedung-gedung di Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Piotr menilai, temuan-temuan riset itu dapat memberi gambaran tentang dampak polusi pada masyarakat. Juga, pentingnya memaksimalkan penggunaan teknologi dalam membangun ekosistem preventif untuk melindungi warga dari risiko kesehatan.

Dia meyakini, transparansi data kualitas udara dapat memberi pilihan bagi masyarakat untuk menyesuaikan aktivitas harian. “Jadi di waktu seperti sekarang, perubahan iklim lebih besar, pemantauan udara sama dengan pemantauan cuaca untuk kita beraktivitas,” kata Piotr.

Dokter Irwan Heriyanto, Chief of Medical Halodoc membenarkan peningkatan konsultasi masalah pernapasan sepanjang kurun waktu penelitian. Umumnya, pasien-pasien pengguna layanan Halodoc menyanyakan gejala awal penyakit pernapasan seperti batuk-pilek, bersin, masalah tenggorokan, mulut kering, nyeri menelan hingga asma kambuh.

Dia menilai, meningkatnya tren konsultasi gangguan pernapasan juga menjadi bukti ada kesadaran masyarakat menjaga kesehatan di tengah kondisi udara saat ini. Berdasarkan kategori usia, konsultasi masalah pernapasan didominasi lansia dan anak-anak.

“Ini memang punya risiko, daya tahan tubuh belum baik, ditambah faktor usia. Itu yang banyak ditanyakan juga dokter umum, dokter paru, dokter THT, bahkan dokter anak.”

 

Baca juga: Kala Udara Sehat Langka di Jabodetabek, Kesehatan Warga Terganggu

Periode Udara Tidak Sehat Meningkat di Bulan Agustus. Sumber: Nafas

 

Layanan telemedisin seperti Halodoc, sebagai satu cara masyarakat berkonsultasi dengan dokter terpercaya, terutama untuk deteksi awal gejala gangguan pernapasan sebelum berkembang menjadi penyakit serius.

“Kolaborasi Nafas dan Halodoc juga diharapkan makin meningkatkan literasi kesehatan, dari yang semula hanya kuratif, menjadi preventif,” kata Irwan.

Riset kedua lembaga ini merekomendasikan, pertama, selalu pantau kualitas udara secara rutin seperti lewat aplikasi Nafas, kedua, beraktivitas di rumah saat polusi tinggi. Ketiga, gunakan masker jika terpaksa ke luar ruangan, keempat, asupan vitamin dan olahraga rutin untuk jaga imunitas. Kelima, tanyakan Halodoc bila mengalami gejala keluhan pernapasan.

Masyarakat juga dianjurkan melakukan irigasi atau pencucian hidung untuk membersihkan rongga hidung dengan larutan fisiologis, seperti larutan Natrium Klorida.

 

Kabut polusi udara Jakarta, sore 1 Oktober lalu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Kemenkes terus pantau?

Anas Ma’ruf, Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan menjelaskan, tren sinyal ISPA dan pneumonia memang terjadi peningkatan dari 2021-2022, pada kisaran 10-15%. Tren di beberapa bulan belakangan relatif serupa dengan kondisi 2019, sebelum COVID-19.

“Jadi ini (hasil riset Nafas dan Halodoc) perlu kami cek kembali. Perlu kami pantau terus-menerus, tren seperti apa,” katanya sembari mengeapresiasi dan menyebut riset itu sebagai masukan dan bentuk kepedulian pada isu polusi udara.

Kemenkes terus memantau sinyal penyakit akut yang muncul akibat polusi, seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), pneumonia, dan asma. Pemantauan juga dilakukan pada paru-paru obstruktif kronis (PPOK), yang dampaknya dikategorikan bersifat jangka panjang.

Dia bilang, upaya pengendalian dampak kesehatan Kemenkes melalui sejumlah strategi, seperti memantau kualitas udara harian, bulanan dan tahunan, serta pencegahan maupun deteksi dini kepada kelompok berisiko terdampak masalah kesehatan dari polusi udara.

Strategi penurunan risiko kesehatan dengan promosi kesehatan melalui rekomendasi pencegahan atau pembatasan aktivitas luar ruangan melalui aplikasi Satu Sehat. Strategi lain, katanya, adaptasi lewat menyediakan layanan kesehatan atas penyakit akibat polusi udara di fasilitas pelayanan kesehatan primer dan rujukan.

“Kami cek semua fasilitas kesehatan baik dari sisi infrastruktur, sarana prasarana, sumber daya manusia dan lain-lain. Saat ini,  relatif, dengan angka yang kami pantau setiap hari, masih mampu menangani berbagai penyakit, baik itu ISPA, pnemonia dan lain-lain.”

Dia juga mendorong masyarakat mencegah dampak polusi udara dengan memakai masker medis terutama bila beraktivitas di luar ruangan. Juga, segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan bila mengalami gangguan pernapasan.

 

Kebut pekat polusi udara di atas langit Jakarta, sore 1 Oktober lalu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

*******

 

 

Exit mobile version