Mongabay.co.id

Rajungan: Populer di Luar Negeri, Terancam di Dalam Negeri

 

Perairan Laut Jawa adalah salah satu perairan di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya ikan (SDI) dengan komoditas spesifik rajungan (Portunus spp.). Selama bertahun-tahun, perairan yang masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 712 itu dikenal sebagai pemasok Rajungan, baik untuk pasar domestik ataupun internasional.

Pemanfaatan yang terus menerus tanpa henti tersebut, membuat stok rajungan di WPPNRI 712 mengalami penurunan signifikan. Bahkan, menurut laporan Indonesia Blue Swimming Crab (BSC) Consortium, saat ini statusnya sudah dalam kondisi over exploited.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim yang terlibat dalam Indonesia BSC Consortium menjelaskan, menurunnya stok rajungan di WPPNRI 712 diketahui setelah dilakukan penelitian selama 2019 hingga 2022.

Stok rajungan yang ada di WPPNRI 712 diketahui over exploited karena ada petunjuk dari nilai rasio potensi pemijahan (Spawning Potential Ratio/SPR) yang menurun di sejumlah perairan yang dijadikan sebagai sampel penelitian.

Salah satu sebab kenapa penurunan populasi terjadi pada rajungan, adalah karena ada permintaan ekspor yang sangat tinggi ke berbagai negara seperti tujuan Amerika Serikat. Selain itu, faktor penggunaan alat penangkapan ikan (API) ikut memberi dampak besar.

Kondisi tersebut terjadi di Lampung, di mana rasio SPR turun dari 27 persen pada 2019 menjadi 19 persen pada 2022. Kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi di Jawa Barat, di mana rasio SPR turun dari 19 persen pada 2021 menjadi 14 persen pada 2022.

baca : Menjaga Kelestarian Rajungan, Kakap, dan Kerapu

 

Jenis rajungan karang menyukai substrat berpasir hingga berpasir-berlumpur, pada kedalaman 30-60 meter. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Melansir eksekutif ringkasan laporan tersebut, dia mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi perikanan rajungan saat ini adalah tata kelola yang belum mencapai konsep keberlanjutan yang diharapkan.

Di mana, metode penangkapan tidak lagi menggunakan API yang merusak, eksploitasi berganti dari tak terkendali menjadi terkendali, dan praktik-praktik tidak pandang bulu yang memicu penurunan drastis populasi rajungan sampai di bawah titik acuan batas bisa segera dihentikan.

Saat kondisi tersebut berjalan, ada upaya dari Pemerintah dan para pihak terkait untuk mengendalikan eksploitasi dan menghentikan penurunan populasi. Upaya itu dilakukan melalui penerapan aturan yang ketat.

Misalnya, pemberlakuan persyaratan ukuran minimum yang sah dan pembatasan penangkapan rajungan bertelur, juga sejumlah indikator utama seperti rasio potensi pemijahan (SPR) dan tangkapan per unit usaha (CPUE).

Akan tetapi, semua usaha tersebut masih belum menunjukkan perbaikan dibandingkan dengan kondisi serupa pada tahun sebelumnya. Kondisi tersebut memaksa diberlakukan langkah-langkah pengelolaan yang komprehensif dan efektif untuk menghentikan penurunan dan mendorong berkembangnya tata kelola perikanan rajungan berkelanjutan.

Pun demikian dengan upaya yang diperlihatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan memulai pengenalan strategi panen raya atau harvest strategy (HS) pada 2021, bertujuan untuk memajukan praktik pengelolaan perikanan lebih baik.

Pada perikanan rajungan, HS dijalankan dengan usaha kolaboratif seperti penetapan standar ukuran dan berat minimum yang sah. Cara tersebut menjadi penanda, sekaligus tonggak penting pada perikanan rajungan, bahwa menjaga stok di atas target dan titik acuan batas adalah sangat penting.

Akan tetapi, Abdul Halim menyebut kalau upaya tersebut tetap tidak membuat stok rajungan di wilayah sasaran menjadi lebih baik. Sebaliknya, stok rajungan justru terus mengalami penurunan. Itu berarti, diperlukan intervensi yang komprehensif untuk menghentikan penurunan populasi.

Strategi HS menetapkan tujuan yang spesifik, dengan titik acuan target sebesar 30 persen dan batas bawah sebesar 20 persen, dengan stok tidak boleh lebih rendah dari titik batas. Pendekatan paralel seperti itu juga sedang diadopsi di Filipina untuk Rencana Pengelolaan Perikanan BSC di sana.

baca juga : Prinsip Keberlanjutan untuk Penyelamatan Kepiting dan Rajungan, Seperti Apa?

 

Salah seorang nelayan di Lampung Timur menarik jaring dan memanen rajungan di lautan lepas. Nelayan rajungan terimbas dampak perubahan iklim, biaya produksi melonjak sedangkan hasil tangkapan tidak sepadan. Foto: Forum Komunikasi Nelayan Rajungan.

 

Perlindungan Pekerja

Terus menurunnya stok rajungan di alam, ternyata berpengaruh banyak pada kondisi nelayan kecil yang berprofesi sebagai penangkap rajungan. Selain itu, tenaga kerja yang terlibat dalam usaha pengolahan rajungan juga terkena dampaknya secara langsung ataupun tidak.

“Perlindungan mereka juga masih diabaikan,” ungkap dia.

Untuk mengetahui lebih lanjut, Pusat Kajian Kemaritiman untuk Kemanusiaan menggelar survei tentang perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan ketenagakerjaan di sembilan desa yang tersebar di tiga kabupaten di Provinsi Lampung, yaitu Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Tulang Bawah.

Berikut rincian temuannya:

  1. Tidak ada perjanjian kerja tertulis

Beberapa nelayan bekerja tanpa perjanjian kerja tertulis. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah apabila salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya atau muncul situasi yang tidak terduga.

  1. Tidak adanya persyaratan dan catatan pinjaman permodalan usaha

Tingginya peredaran uang di perikanan rajungan yang melibatkan nelayan kecil, perantara, dan pemilik miniplant berpotensi menghadirkan ketidakpastian dan perselisihan akibat tidak tersedianya persyaratan dan catatan pinjaman tertulis.  Terlebih lagi, stok rajungan mengalami tren penurunan dalam empat tahun terakhir.

  1. Tidak adanya perlindungan tenaga kerja dan asuransi kesehatan

Nelayan skala kecil di Lampung tidak memiliki jaminan tenaga kerja dan kesehatan yang memadai, membuat mereka rentan jika terjadi kecelakaan atau masalah kesehatan.

  1. Tidak diterapkannya standar keselamatan kerja di laut

Mayoritas nelayan kecil tidak dibekali perlengkapan standar keselamatan kerja di laut. Kondisi ketidakpatuhan terhadap penerapan standar keselamatan kerja ini menimbulkan risiko besar bagi nelayan kecil di laut, termasuk kehilangan jiwa.

baca juga : Perubahan Iklim Memukul Nelayan Rajungan Lampung Timur

 

Nelayan rajungan menghadapi beragam permasalahan namun selama ini kurang didengarkan aspirasinya. Foto: Irham Rapy

 

Abdul Halim menilai, hasil dari survei tersebut harus menjadi perhatian dari Pemerintah bersama pemangku kepentingan lainya. Terutama, bagaimana para pihak terkait melaksanakan perbaikan dengan segera, agar pemulihan stok rajungan di WPPNRI 712 bisa berjalan baik.

“Juga, mencegah kian memburuknya perlindungan HAM bagi nelayan kecil dan tenaga kerja yang terlibat di sektor perikanan rajungan,” ungkap dia.

Upaya yang bisa dilakukan, adalah dengan cara melakukan pembatasan kegiatan penangkapan dan mengimplementasikan program perlindungan dan pemberdayaan kepada nelayan kecil dan tenaga kerja yang terlibat. Tujuannya, agar bisa terbentuk perikanan rajungan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di Indonesia.

Perlunya dilakukan perlindungan kepada para pekerja, karena perputaran uang pada perikanan rajungan sangat tinggi. Fakta tersebut menjelaskan bahwa tekanan pekerjaan menjadi sangat berat karena ada permintaan yang terus meningkat dari pasar internasional.

“Sekali pun rajungan menjadi produk unggulan ekspor, perlindungan terhadap hak-hak pekerja, khususnya tenaga kerja pengupas rajungan, belum menjadi perhatian utama,” tegas dia.

Abdul Halim menambahkan, kondisi penurunan stok rajungan di WPPNRI 712 bisa menjadi gambaran bahwa saat ini sedang terjadi kondisi serupa di perairan lainnya di Indonesia. Tanpa ada intervensi dari Negara untuk melindunginya, maka ancaman kepunahan stok akan segera terjadi.

“Untuk itu, pengelolaan berbasis data saintifik perlu digalakkan,” tambah dia.

Oleh karena itu, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan merekomendasikan kepada Pemerintah Pudat dan Daerah untuk:

Abdul Halim menggarisbawahi jika poin ketiga menjadi penting untuk dilakukan, karena bisa mencegah terjadinya praktik pelanggaran HAM, sekaligus meningkatkan performa usaha perikanan di dalam negeri.

baca juga : Mengenal Rajungan, Si Kepiting yang Pandai Berenang

 

Nelayan di Desa Betahwalang, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah membawa rajungan untuk dimasak, sebelum dikirim ke pabrik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Koordinator Indonesia Blue Green Advisors Imam Syuhada kepada Mongabay secara khusus menyampaikan bahwa pemilihan WPPNRI 712 sebagai pusat survei dan penelitian, adalah karena kawasan perairan laut Jawa tersebut sudah menjadi hotspot rajungan nasional sejak lama.

Latar belakang pemilihan kawasan tersebut, karena belum pernah ada instansi yang mendampingi masyarakat nelayan di sana dengan fokus pada kesejahteraan. Mereka yang terlibat dalam produksi, adalah nelayan, perempuan nelayan, dan juga masyarakat biasa.

“Belum lihat orang di balik, dan melihat kesejahteraan nelayan atau pekerjanya,” ucap dia.

Dia menyebutkan alasan kenapa para pekerja menjadi fokus, adalah karena ada potensi resiko yang tidak dipahami mereka saat menjalani pekerjaan sebagai nelayan rajungan. Resiko itu muncul karena potensi tangkapan semakin hari semakin menurun, namun justru biaya melaut semakin tinggi.

Ringkasnya, para nelayan harus memakan waktu lebih lama dan jarak lebih jauh untuk bisa mendapatkan rajungan. Itu pun, tidak menjamin jumlah tangkapan banyak. Akibatnya, ada potensi pendapatan mengalami penurunan, berbanding terbalik dengan biaya melaut semakin naik.

 

Pengepul mengecek rajungan yang sudah dimasak. Sekelompok kepiting dari marga suku Portunidae itu kemudian dikirim ke pabrik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebenarnya, jauh sebelum Indonesia BSC Consortium menerbitkan laporan tentang keberlanjutan tata kelola perikanan rajungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah berupaya keras untuk mengatasi persoalan penurunan stok di alam.

Pada 2017 misalnya, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, Sulawesi Selatan berhasil melakukan produksi benih rajungan secara massal. Keberhasilan tersebut bisa terjadi berkat intervensi teknologi.

Kemudian, pada 2022 KKP juga mencuri perhatian publik karena berhasil membuat teknologi bernama Budi daya Rajungan Wadah Tunggal yang dikembangkan untuk meningkatkan kelulushidupan atau survival rate (SR) rajungan dari 45 persen menjadi 95 persen.

Teknologi tersebut kemudian diuji coba di BPBAP Takalar dan kemudian didapatkan hasil bahwa itu bisa mengurangi risiko kematian pada rajungan akibat kanibalisme. Penggunaan teknologi itu memang bertujuan untuk menekan tingkat kanibalisme pada budi daya rajungan.

Hal itu diungkapkan Kepala BPBAP Takalar Nur Muflich Juniyanto. Ia menilai, jika budi daya rajungan masih dilakukan secara konvensional dengan memelihara di dalam wadah yang sama, maka potensi terjadi kanibalisme masih sangat tinggi.

Keunggulan dari teknologi tersebut, adalah penggunaan air yang berlebih bisa dikurangi dengan signifikan. Itu terjadi, karena pemanfaatan sistem resirkulasi, parameter kualitas air yang terkontrol, serta wadah yang digunakan terbuat dari pipa paralon yang mudah dikerjakan dan tidak mengeluarkan banyak biaya investasi.

“Jadi, teknologi ini bisa menyediakan benih yang siap dipelihara untuk pembesaran di tambak,” tegas dia. (***)

 

 

Exit mobile version