Mongabay.co.id

Jaring Nusa Serukan agar KTT AIS Berikan Solusi Konkret Atasi Dampak Perubahan Iklim

 

Para pemimpin 51 negara kepulauan yang tergabung dalam Archipelagic and Island States (AIS)  telah bertemu di Bali menggelar pertemuan KTT AIS atau AIS Forum pada 10-11 Oktober 2023.

AIS Forum ini dibentuk untuk mendorong kolaborasi antar negara pulau dan kepulauan di seluruh dunia untuk bersama-sama mengatasi tantangan dan permasalahan global yang dihadapi, khususnya pada sektor pembangunan kelautan dan mitigasi perubahan iklim,  penanggulangan pencemaran di laut serta tata kelola maritim.

Jaring Nusa, yang di dalamnya tergabung 18 organisasi dan 1 komunitas yang tersebar di pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Maluku Utara dan Maluku, menyerukan kepada para pimpinan negara-negara kepulauan untuk sungguh-sungguh mengantisipasi dampak perubahan iklim dalam jangka panjang.

“Ancaman perpindahan penduduk secara paksa akibat dampak perubahan iklim berpotensi semakin meluas,” ungkap Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa, Senin (9/10/2023).

Asmar mengatakan bahwa tujuan utama AIS Forum memperkuat kolaborasi dalam mengatasi permasalahan global khususnya dampak perubahan iklim tentunya diapresiasi.

Namun pertemuan ini tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya upaya konkret memastikan negara-negara anggotanya melindungi masyarakat beserta wilayah pesisir, laut dan pulau kecil dari berbagai ancaman nyata saat ini dan ke depan.

“Tidak hanya mengatasi dampak perubahan iklim tapi juga mengoreksi kebijakan pembangunan dan menghentikan tekanan dinamis proyek-proyek yang mengancam secara langsung ruang hidup masyarakat serta ekosistem pesisir, laut dan pulau kecil,” terangnya.

baca : Janji Indonesia di KTT AIS di Tengah Banyak Persoalan Pesisir dan Pulau Kecil

 

Presiden Joko Widodo berfoto bersama para pemimpin negara-negara pulau dan kepulauan di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pada Rabu, 11 Oktober 2023. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

 

Lebih lanjut Asmar menegaskan bahwa jika secara khusus sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia  harus memastikan pembangunan wilayah yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk segera merampungkan undang-undang kepulauan serta undang-undang keadilan iklim,” tambahnya.

Parid Ridwanuddin, Pengampanye Pesisir dan Pulau Kecil WALHI, menegaskan bahwa KTT AIS ini tidak akan memiliki dampak apa-apa jika pemerintah Indonesia tidak mengevaluasi.

Selain itu juga ia menyerukan untuk menghentikan berbagai proyek yang mempercepat kerusakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, seperti pertambangan nikel, pertambangan pasir laut, dan proyek reklamasi di berbagai wilayah di Indonesia.

“KTT AIS hanya akan menjadi pertemuan seremonial semata jika pemerintah Indonesia tidak mengevaluasi dan menghentikan proyek predatoris yang menghancurkan pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Parid.

Parid mendesak pemerintah Indonesia menjadikan perlindungan pesisir dan pulau kecil sebagai agenda utama dalam Pembangunan jangka Indonesia mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Tanpa ini, sekali lagi, KTT AIS adalah pertemuan yang tidak bermakna sama sekali.

baca juga : Negara Kepulauan Semakin Terancam Hadapi Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Masyarakat Pulau Lae-lae Kota Makassar menggelar aksi teatrikal sebagai upaya menolak reklamasi. Jaring Nusa menuntut pemerintah menghentikan proyek-proyek yang menyengsarakan rakyat dan mendorong pembangunan yang berkeadilan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kerentanan Pesisir dan Pulau Kecil

Menurut Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah wilayah yang paling rentan terhadap ancaman nyata dari dampak perubahan iklim.

Dampaknya kini telah dirasakan di berbagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Bahkan tak sedikit negara-negara kepulauan di dunia turut merasakan.

“Perubahan iklim dan laut memiliki keterkaitan yang sangat besar, ini adalah tantangan global yang harus dihadapi secara bersama-sama. Negara-negara kepulauan dan negara-negara pulau kecil harus berkolaborasi menghadirkan solusi bersama,” jelasnya.

Hasil studi Climate Central bertajuk “365 Days on a Warming Planet” yang dirilis Oktober 2022 lalu menunjukkan tren dan peringkat global berdasarkan peristiwa suhu penting pada 2021-2022, menggunakan alat berbasis peta visualisasi skor Indeks Pergeseran Iklim harian untuk 1.021 kota di seluruh dunia.

“Ini kabar yang memprihatinkan bahwa dalam laporan tersebut berbagai wilayah di Indonesia mengalami pergeseran iklim tinggi. Contohnya, Kota Makassar yang tertinggi di Indonesia yang bahkan masuk 14 besar dunia dengan jumlah 279 hari pergeseran iklim,”  ungkap Nirwan.

Indeks pergeseran iklim harian di Kota Makassar tercatat sebesar 3,8, yang berarti anomali suhu pada hari tersebut setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi karena dampak perubahan iklim yang disebabkan manusia.

“Ini harus mendapat perhatian yang serius,” tambahnya.

 

Masyarakat nelayan gurita di Pulau Lanjukang Kota Makassar menunjukkan hasil tangkapan. Perubahan iklim telah menyebabkan hasil tangkapan gurita dan ikan berkurang, sehingga masyarakat di Pulau Langkai dan Lanjukang melakukan buka-tutup kawasan untuk keberlanjutan, sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Nirwan berharap para pemimpin dunia negara kepulauan untuk mendorong pembelajaran local to global dan global to local. Mekanisme lokal dan tradisional untuk menghadapi perubahan sejak lama dilakukan oleh masyarakat pesisir dan pulau kecil sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan.

“Cara-cara tradisional ini terbukti ampuh membangun resiliensi masyarakat seiring perubahan dan gangguan dari beberapa dekade, walau mulai tereduksi oleh banyak sebab,” tambahnya.

 

Mengancam Kehidupan Masyarakat

Muhammad Yusuf Sangaji, Direktur Jala Ina, Maluku, menjelaskan jika masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kelompok paling terdampak krisis iklim.

“Mereka kehilangan ruang penghidupan karena krisis iklim yang kian buruk. Nelayan kesulitan menangkap ikan. Meningkatnya suhu air laut membuat ikan-ikan mencari tempat yang lebih dingin di laut dalam,” ungkapnya.

Lebih lanjut terkait penghidupan masyarakat pulau, Yusuf mengungkap petani pala, cengkeh di kepulauan Maluku kebingungan karena iklim yang tak menentu dan hasil panen yang tak seberapa. Padahal, komoditi ini adalah sumber penghidupan utama masyarakat.

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia dan pemerintah negara-negara kepulauan untuk mengembalikan ruang penghidupan masyarakat pesisir dan pulau kecil dengan membuat regulasi yang berbasis kepulauan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version